“Bila orang
tidak mau kembali seperti anak-anak (spontan, merdeka, tanpa pamrih, tanpa
muslihat politik alias bermain dalam arti sangat luas), dia tidak akan masuk ke
dalam kerajaan surga.”
(Y.B.
Mangunwijaya)
Kemiren
Malam itu tiga
puluh orang akan datang untuk sebuah wisata adat Using. Rombongan wisatawan
domestik asal Flores memesan paket wisata budaya: makan malam dengan menu
tradisional, pementasan musik gandrung Banyuwangi dan gedhogan – musik
tradisional di kalangan petani Using Banyuwangi.
Jam lima
sore enam perempuan tua dengan memakai klambi Jowo dan tapih, dengan make
up seadanya, dan bibir yang bergincu merah, berkumpul di emperan rumah
salah seorang yang paling tua di antara mereka: Mbah Marwah yang telah berusia
lebih delapan puluh tahun. Mereka akan tampil menghibur para tamu dengan menyanyikan
lagu-lagu Blambangan diiringi musik gedhogan. Lazimnya, tamu datang
setelah magrib.
Mendung
menggelayut. Langit berangsur gelap. Lalu menghitam. Azan melantun dari corong
masjid yang hanya berjarak seratus lima puluh meter dari tempat para perempuan
tua itu berkumpul. Penanda magrib telah tiba. Namun mereka tak bergeming. Usai
azan, mereka melangkah ke sanggar budaya milik salah satu tokoh adat di desa
Kemiren. Sanggar itu berbentuk balai terbuka, dengan lantai sekitar tiga puluh
senti di atas permukaan tanah. Tanpa penyekat dan dinding, ia mampu menampung
lima puluh orang lebih. Tata ruang sanggar terbagi dua. Satu bagian sedikit
lebih tinggi berfungsi sebagai panggung, yang biasanya jika ada pertunjukan
diperuntukkan bagi para panjak, sinden dan penari gandrung. Satu bagian lagi,
lantai yang lebih rendah dan lebih luas, untuk para penonton atau pemaju. Sanggar
itu juga memiliki halaman yang cukup luas yang biasa digunakan untuk atraksi
barong. Namun tamu malam itu tidak memesan barong, hanya paket makan malam dan
suguhan tarian gandrung dan gedhogan.
Enam
perempuan itu bukan menuju sanggar, tapi melangkahkan kaki ke sebuah pondok
bambu berukuran 3 x 3 meter yang berada di satu sudut kebun pisang,
bersebelahan dengan sanggar. Pondok berbentuk persegi empat itu beratap welit,
ditopang empat tiang bambu, dengan lantai tanah yang sedikit lebih tinggi dari
tanah sekitarnya. Pondok itu dibiarkan terbuka, kecuali bagian belakang yang ditutup
welit yang berfungsi sebagai latar belakang panggung. Hanya ada satu lampu
penerangan yang menggantung di tengah. Ada empat lesung di situ, enam alu, dan
sebuah angklung.
Berenam, mereka
duduk di atas lesung. Dua perempuan tua lalu mengeluarkan wanci dari tas
plastik berisi gambir, jambe, njet, daun sirih dan tembakau. Mereka akan
memulai nginang. Diambilnya selembar daun sirih, dilipat, dan di bagian
atasnya diolesi njet, lalu di atas olesan tersebut ditaruh secuil gambir dan
jambe, kemudian dilipat lagi, lalu dikunyah-kunyah. Agar inang tak meleleh
keluar mulut, segumpal tembakau hitam digunakan sebagai ganjal di ujung gigi,
sekaligus berfungsi memutar dan memainkan lidah.
Hingga azan
isya’, belum ada tanda-tanda tamu datang. Hujan mulai turun. Wajah-wajah
perempuan tua itu tampak resah. Sesaat kemudian mereka menghibur diri dengan
memainkan gedhogan. Baru memulai satu lagu ketika hujan tiba-tiba
menderas disertai angin kencang. Hempasan air hujan menerpa mereka. Panik,
mereka menghentikan permainan. Tergesa mereka saling merapatkan tubuh,
mengumpul di tengah-tengah pondok, duduk berhimpitan, saling berhadapan,
membelakangi hempasan angin dan hujan. Angin semakin kencang, seolah tak
bersahabat. Klambi Jowo dan tapih yang mereka kenakan pun mulai basah.
Semakin
malam, sang tamu tak juga datang. Rasa kantuk dan bosan menggurat wajah-wajah
yang mulai gelisah. Tapi mereka harus bertahan, tetap di sana, hingga saat tamu
datang dan kembali pulang. Dan, di saat tamu tiba nanti, mereka harus
menunjukkan sikap ramah, wajah yang tampak sumringah, dan memainkan musik gedhogan
yang rancak yang menampilkan suasana kegembiraan. Toh, nanti, saat jamuan makan
malam usai, setelah tamu-tamu “kebudayaan” itu pergi, ketika malam semakin malam,
mereka juga akan menikmati jamuan makan, dan, tentu saja, upah untuk penampilan
mereka.
Sementara
itu di sanggar yang sebelah menyebelah dengan tempat mereka, seorang sinden dan
para panjak bercengkrama sambil merokok dan menyeruput kopi. Mereka akan
memainkan seni musik gandrung, sajian utama paket wisata. Sang sinden,
perempuan usia empat puluh lima tahun, duduk di atas kursi, memakai kebaya
dengan rambut disanggul. Kulitnya putih bersih, dengan wajah berbalut bedak
tebal. Para panjak duduk bersila di lantai keramik.
Di lantai
yang lebih rendah, tempat para tamu, sajian makan malam dengan menu masakan
tradisional - uyah asem dan pecel pitik - sudah disiapkan sejak magrib
tadi. Seorang perempuan dengan pakaian adat dengan kaki dilipat duduk bersandar
di sebuah tiang di ujung paling depan sanggar. Nanti, jika tamu datang, dialah
yang bertugas meracik makanan dan melayani tamu. Ada banyak lampu di sanggar,
semuanya dinyalakan sehingga menjadi terang-benderang. Sanggar memang menjadi
pusat dan berfungsi sebagai panggung utama. Dua gadis muda penari gandrung, dua
gadis muda yang masih menempuh kuliah di salah satu perguruan tinggi di
Banyuwangi, masih berdandan di kamar ganti. Butuh paling tidak dua jam untuk
berdandan bagi penari gandrung, Mereka membawa perlengkapan make up
sendiri, dan mendandani diri sendiri.
Jam menunjuk
angka delapan saat rombongan tamu dari Flores datang. Tiga jam lebih para
perempuan itu baru bisa manggung. Masing-masing bergegas mengambil bebek,
tongkat kayu pemukul lumpang, dan memainkan lagu-lagu Banyuwangi. Mbah Marwa ngendang,
Mbah Sini ngegong, Mbah Suwana dan Mbah Baiyah ngeples, Mbah
Untung dan Mbah Sumi ngempul. Dan, hujan masih menderas, namun mereka
tak peduli. Lumpang-lumpang basah oleh terpaan air hujan. Bunyi yang dihasilkan
kurang nyaring, seperti tertahan. Suara nyanyian Mbah Sini terdengar sayup,
datar. Demikian pula suara angklung yang dimainkan oleh seorang lelaki tua,
Mbah Sapari, yang berada di posisi kanan pemain gedhogan. Buah-buah
angklung basah oleh air hujan. Permainan gedhogan menjadi penanda
kehadiran tamu, sebagai musik sambutan sekaligus pembuka untuk sajian musik
utama: gandrung.
Mengingat
jam makan malam sudah lewat, para tamu tidak singgah dulu ke pondok, melainkan langsung
menuju sanggar. Lazimnya para tamu foto bersama para pemain gedhogan
sebelum ke sanggar. Tapi agaknya mereka menahan lapar. Setelah semua memasuki
sanggar, musik gedhogan berhenti. Kang Pur berdiri di tengah-tengah
sanggar sambil memegang mikrofon menyampaikan ucapan selamat datang dan
menyilakan para tamu menikmati sajian makanan tradisional khas Kemiren. Dengan
cekatan, perempuan peladen meracik makanan di daun pisang yang dipincuk. Ada
empat puluh orang yang harus dilayani malam itu. Namun sebagian tamu meracik
sendiri makanan yang mereka inginkan. Selesai makan, Kang Pur mulai memandu
acara dan berinteraksi dengan para tamu, lalu sebentar kemudian minta para
pemain gandrung untuk tampil.
Musik
gandrung dimainkan. Dua penari memasuki sanggar, menari, berlenggak-lenggok.
Padang Ulan dipilih sebagai lagu pembuka. Tak jelas siapa pencipta lagu ini.
Liriknya bercerita tentang keindahan malam bulan purnama di pantai Banyuwangi,
tempat muda-mudi bertemu memadu kasih. Dan, seperti lagu wajib, Padang Ulan
selalu dimainkan dalam setiap pementasan.
Setelah
dua-tiga buah lagu dinyanyikan sinden, diiringi tarian dua penari gandrung,
babak berikutnya adalah saweran dengan melibatkan penonton sebagai pemaju yang
akan menari berpasangan sekaligus nyawer. Lamanya pementasan gandrung tergantung
jumlah pemaju. Selagi ada yang tampil sebagai pemaju, selama itu pula musik gandrung
dimainkan. Dan selama itu pula enam perempuan pemain gedhogan dan
seorang pemain angklung diam, nginang, menunggu pementasan gandrung usai. Hanya
sesekali mereka menoleh ke sanggar, turut menonton para pemaju yang sedang menari
berpasangan dengan sang penari. Setelah pementasan gandrung berakhir, dan tamu
berpamitan sambil berfoto bersama penari gandrung, pemain gedhogan
tampil lagi menyanyikan satu-dua lagu penutup untuk mengantar kepergian para
tamu.
Meski malam
itu Kang Pur menyilakan para tamu berfoto bersama para pemain gedhogan,
tampaknya tak satu pun yang melangkahkan kaki menuju pondok, mengingat hujan
masih cukup deras dan tanah yang becek. Selepas tamu pulang, para pemain gedhogan,
para panjak, sinden, dan penari gandrung menyantap makanan bersama-sama.
Setelah itu, Kang Pur akan memberikan upah kepada masing-masing orang yang
besarannya tergantung pada peran yang dimainkan.
Banjarsari
Di desa Banjarsari yang hanya berjarak empat
kilometer arah selatan Kemiren, di sanggar seni yang diapit persawahan dan
hutan kecil, sekelompok laki-laki paruh baya sedang sibuk menyiapkan peralatan
musik angklung -mengatur tata letak alat musik, cek sound system, dan memperbaiki
alat musik yang rusak. Sekelompok lelaki paruh baya itu dengan teliti memeriksa
satu demi satu seluruh alat musik, demi memastikan semuanya siap pakai. Semua kerangka alat
musik yang terbuat dari kayu berwarna merah menyala. Di sudut sanggar, dua
orang tua tampak sedang menali kembali buah-buah angklung, setelah mengganti
beberapa buah angklung yang pecah. Seorang lainnya menata dan menghidupkan
sound system. Sebagian menata penempatan alat musik: alat musik apa ditempatkan
di mana. Corong speaker ditambatkan di dahan pohon di pekarangan samping sanggar.
Alat musik terdiri dari dua kendang, dua
kenong, tiga set angklung, satu gong, satu kempul, dan enam gambang. Tiap alat
musik dimainkan seorang pemain. Semua alat musik dan pemainnya menempati separo
ruangan sanggar. Separo ruangan lainnya diperuntukkan untuk para penari,
laiknya berfungsi sebagai panggung. Namun hari itu tak ada penari yang hadir
kecuali si pemilik sanggar: Slamet Menur.
Mereka datang dari berbagai desa sekitar,
bahkan ada yang menempuh jarak lebih dari dua puluh lima kilometer. Pagi itu mereka
akan bermain musik angklung, kegiatan rutin mingguan. Mereka merupakan mantan
pemain angklung yang sudah sekian lama tak lagi bernyayi dan menari, setelah
peristiwa enam lima. Belakangan mereka mulai bermain musik lagi. Masing-masing pemain
membawa alat musik dari rumah – mic, speaker, kendang dan
lain-lain, kecuali angklung, klenong dan gong yang memang sudah ada di
sanggar.
“Sanggar Angklung Soren” -nama sanggar itu-
dibangun atas biaya sendiri oleh Slamet Menur alias Slamet Abdul Rajat. Di
sanggar yang berlantai sepertiga paving dan dua pertiganya tatakan batu-bata
itu, saban minggu pagi mereka berlatih musik angklung yang dikombinasikan
dengan beberapa alat musik tradisional lainnya. Mereka akan memainkan musik dan
menyanyikan lagu-lagu tradisional Blambangan. Dalam komunitas itu, Slamet Menur
akan berperan pengaba-aba, laiknya seorang konduktor dalam pertunjukan musik
orkestra. Dia berdiri di hadapan para pemain: memberi kode, menyanyi dan
menari. Slamet sekaligus juga menari. Dia dikenal sebagai koreografer tari
legendaris Banyuwangi: Genjer-genjer.
Setelah semua peralatan siap, mereka memainkan
nada-nada lagu Banyuwangi lama, seperti Podho Nginang, Padang
Bulan, Wulan Andung-andung, dan Genjer-genjer. Kecuali Slamet Menur, semua
memainkan alat musik, sambil bernyanyi, dengan gembira. Lagu demi lagu
dinyanyikan. Iramanya kadang menghentak, kadang melandai, mengikuti nada lagu. Tak
ada formasi resmi, mereka mengambil tempat sesuai dengan keinginannya. Tak ada
wisatawan yang datang menonton, kecuali orang yang pulang dari sawah yang
singgah sekedar ingin menghibur diri menikmati alunan musik angklung.
Tidak ada makanan yang dihidangkan, kecuali
air putih di kendi di sela-sela anyaman bambu yang berfungsi sebagai dinding
sanggar. Namun, ekspresi keceriaan tampak jelas di wajah-wajah mereka. Ada
kegembiraan dan totalitas dalam bermain musik. Penabuh kendang, pria berkulit
sawo matang dan kekar dengan rambu cepak, tak hanya menggerakkan tangannya,
tapi juga tubuh dan kepalanya: mengangguk, menggeleng, memutar setengah
lingkaran. Dia duduk bersila di atas lantai batu bata, di atas dingklik kecil, bersandar di tiang
penyangga kayu. Beberapa pemain yang lain juga duduk bersila di lantai, beralas
banner bekas. Mereka bermain dengan
seksama, serius. Semua pemain larut dalam notasi musik dan irama lagu yang
dimainkan.
Suara musik cukup membahana, disalurkan lewat speaker.
Namun, karena sanggar itu diapit areal persawahan dan tegalan, tidak mengundang
minat orang untuk menonton. Hanya tampak seorang laki-laki tua kurus-keriput
yang memikul blarak (dahan pohon
kelapa yang kering) dan pelepah pohon jambe, meletakkan pikulannya di tepi
jalan, lalu duduk di buk (pagar beton
pembatas sungai) dan mulai melinting rokok, kemudian mengarahkan pandangannya ke
sanggar menikmati alunan musik angklung. Lama laki-laki tua itu di situ, hingga
matahari berada tepat di atas kepala, saat mereka yang di sanggar mengakhiri permainan
musik angklung hari itu.
Dua Sanggar, Dua Suasana
Suasana pementasan sanggar di Kemiren dan di sanggar
Banjarsari tampak berbeda. Di Kemiren, pemain malam itu datang dengan sedikit
keceriaan dan kegembiraan. Kegelisahan dan kebosanan bahkan tampak saat
menunggu tamu datang. Saat pementasan, mereka agaknya tidak sedang bermain musik
dalam arti yang sebenarnya, seperti beberapa tahun silam, ketika bermain musik gedhogan
menjadi hiburan sambil menumbuk beras untuk acara hajatan warga. Lumpang, alat
utama musik gedhogan, kini, tak tersentuh kecuali bila ada pesanan paket
wisata yang meminta mereka tampil.
Di Banjarsari, tampak ada kegembiraan dalam
bermain angklung, sambil bernyanyi dan menari. Para pemain datang dengan alat
musik masing-masing, membersihkan dan memperbaiki sendiri alat musik yang
rusak. Tak perlu menunggu tamu atau penonton untuk memulai, dan akan menyudahi
permainan jika memang mereka ingin mengakhirinya.
Di Kemiren ada beberapa sanggar yang serupa,
menyajikan paket wisata seni budaya Banyuwangi. Desa ini memang sudah sejak 1992
ditabalkan sebagai Desa Wisata Using (DWU). Penabalan DWU menandai perubahan
kebudayaan di Kemiren, juga Banyuwangi secara umum. Di Banyuwangi, gerak perubahan
kebudayaan begitu cepat seiring hadirnya negara dan pasar dalam ruang
berkebudayaan. Kesenian tradisi, dalam beberapa dekade terakhir, dikemas,
dipanggungkan, dipertontonkan –dipromosikan sebagai bagian dari paket wisata budaya
Banyuwangi. Pertunjukan seni budaya Banyuwangi kini hampir menjadi tontonan
sehari-hari, dan sebab itu ia menyandang predikat ‘kota seribu festival’. Di
Kemiren sendiri ada Festival Ngopi Sewu, Festival Tumpeng Sewu, Tradisi Barong Ider
Bumi, Festival Jajanan Pasar.
Meski berdekatan dengan Kemiren, Banjarsari
tidak disemati sebagai desa wisata. Namun, sebagaimana umumnya kawasan
desa-desa berbahasa Using, tradisi –kesenian, ritual adat, dan berbagai
ekspresi tradisi Using lainnya tumbuh berkembang di Banjarsari. Tradisi, dengan
segala dinamikanya, berjalan dalam alur sewajarnya. Sanggar Angklung Soren yang
didirikan Slamet Menur tidak dimaksudkan sebagai destinasi wisata, melainkan
upaya melestarikan kesenian angklung dan tari Banyuwangi. Sanggar ini terbuka
bagi siapa saja yang ingin belajar angklung, dan terutama menari.
Pemain Gedhogan: Yang Tersudut, Teralienasi
Mbah Marwa,
Mbah Sini, Mbah Suwana, Mbah Baiyah (Byak), Mbah Untung, Mbah Sumi -enam
perempuan penginang dan pemain musik gedhogan, dan Mbah Sapari -laki-laki
tua pemain angklung- pondok bambu, merupakan penanda-penanda budaya yang harus
ditempatkan dalam ruang tersendiri dalam paket wisata malam itu. Mereka berada
di pinggir panggung, di sudut kebun pisang, belasan langkah dari sanggar yang
menjadi “pusat”. Tak ada gemerlap lampu, pernak-pernik aksesoris sebagaimana
yang dikenakan oleh sinden dan penari gandrung. Di depan kamera, jikalau meladeni
para wisatawan berfoto, mereka kadang saja tersenyum, tertawa. Namun, kedua
bibir mereka hampir selalu rapat, mengesankan kebekuan. Kalau toh mulut mereka
terbuka, yang tampak adalah warna merah kehitaman, dan segumpal tembakau yang
basah oleh ludah.
Pemain musik gedhogan menampikan
gambaran manusia yang teralienasi.[i] Mungkin
demikian pula yang dialami oleh para pemain gandrung. Situasi alienasi bisa
saja dialami oleh seseorang tanpa disadari. Ia bermain bukan karena
keinginannya sendiri, tetapi digerakkan oleh satu otoritas pemilik sanggar,
yang pemilik juga digerakkan oleh suatu otoritas lain di luar dirinya yang
lebih abstrak: industri pariwisata.
Dalam beberapa fragmen saat pementasan gedhogan,
sebagaimana saya lihat dalam beberapa pementasan, kadangkala para pemain memang
mengulas senyum, bahkan tertawa, sepintas menampilkan kesan menikmati permainan
gedhogan, bernyanyi riang mengikuti irama musik gedhogan, namun
bisa jadi mereka mengalami kebosanan. Pementasan demi pementasan dilakukan
untuk menghibur tamu, dan itu berlangsung dengan ritme dan pola yang sama,
monoton. Mereka menjadi objek tontonan, bidikan kamera, dan ditampilkan dalam
citra eksotisme. Di sudut kebun, malam itu, mereka menempati ruang yang
terisolasi, dan kecemasan. Kalau toh mereka berinteraksi dengan para tamu,
interaksi itu impersonal, tidak mempribadi. Mereka sendiri sesungguhnya telah
sekian lama tidak main gedhogan, dan sebenarnya tradisi gedhogan
sudah hilang di masyarakat. Gedhogan dipaksa hadir kembali, untuk
melayani perburuan eksotisme orang kota.[ii]
Permainan, Kebudayaan, dan Komodifikasi
Siapa yang tak suka bermain? Bisa dipastikan:
tidak ada. Bahkan binatang pun bermain. Pastilah kita sering melihat anak-anak
kucing yang berkejaran, saling menggigit, atau jumpalitan. Bermain, bagi
binatang, bagian dari naluri untuk bertahan hidup. Karena itu permainan lebih
tua daripada kebudayaan, sejauh istilah yang terakhir merujuk pada manifestasi
laku hidup manusia. Binatang tak perlu belajar kepada manusia, sang pemilik
kebudayaan, untuk bisa bermain.[iii]
Permainan ada di jantung kebudayaan dan
masyarakat. Dengan bermain, warga masyarakat menciptakan ruang pengungkapan
diri secara bebas dan otonom. Dari sinilah lahir kebudayaan, kesenian.
Kebermainan merupakan ekspresi spontanitas,
autentisitas, dan aktualisasi diri yang murni. Karenanya, bermain itu
membebaskan, bukan memasung. Tidak ada paksaan untuk terlibat dalam permainan -
bermain bersifat sukarela, tidak terikat dengan kepentingan materil. Unsur
penting permainan adalah keisengannya (fun)
dan totalitas (totality),[iv] suatu
sifat yang tak dapat direduksi lebih lanjut. Melalui keisengan dan totalitas
ini permainan menciptakan kegembiraan, kerelaan, kenikmatan, dan kepuasan.
Namun, unsur bermain dalam hubungannya dengan kebudayaan kini menjadi berubah,
bahkan problematik. Pertanyaan masihkah ada seniman – seniman dan budayawan
yang otonom, yang bermain dengan segala totalitasnya? Dengan kata lain, masih
adakah kebebasan dalam berkesenian?
Di Kemiren, intervensi negara dan penetrasi
pasar mengubah permainan (seni dan budaya) secara intensif menjadi komoditas.
Gerak budaya di Kemiren, dan Banyuwangi,
mengarah ke industri budaya. Seni musik dan tari gandrung, misalnya, sudah
sejak 2002 Pemerintah Banyuwangi mendirikan Sekolah Gandrung, dan tiap tahun
lahir penari-penari gandrung baru. Kini, ribuan penari gandrung telah
‘diproduksi’. Karena itu, tak sulit mengumpulkan seribu penari gandrung dalam
festival tahunan Banyuwangi: Gandrung Sewu. Tapi, apakah mereka benar-benar
penari gandrung? Dan apakah kesenian gandrung dalam Gandrung Sewu benar-benar
gandrung? Bandingkan, misalnya, dengan kesaksian seorang budayawan Banyuwangi,
Fatrah Abal: “Pada tahun 1937 saya telah acapkali nonton kesenian gandrung.
Yang menarik menonton gandrung waktu itu, pada babak ketiga yang disebut
seblang-seblang, sewaktu gandrung melantunkan dan mendendangkan gending-gending
tertentu yang harus dibawa, banyak orang tua yang menyaksikan tidak dapat
menahan isak tangis dan melelehkan air mata.”[v] Lewat
pertunjukan gandrung, orang-orang tua itu mengenang perjuangan rakyat
Blambangan. Lalu, ketika menonton Gandrung Sewu, orang-orang mengenang apa?
Gandrung Sewu tak lain ialah komodifikasi. Sebagai semata performance art,
ia mengabaikan asal-usul atau terciptanya kesenian gandrung. Karena itu,
mungkin tak satu pun bisa ditemukan orang yang menangis saat menonton
pertunjukan Gandrung Sewu.
Di sanggar Angklung Soren, di Banjarsari, unsur
bermain mencapai pemenuhannya. Tampak ada kegembiraan dalam bermain musik
angklung, kebebasan berekspresi, pun kapan memulai dan menyudahi permainan.
Slamet Menur, sang pemilik sanggar, memang mendedikasikan hidupnya untuk
kesenian angklung dan tari. Ya, angklung dan tari menjadi jalan hidup Slamet
Menur. Dalam beberapa kali kunjungan saya ke rumahnya, dia berharap bisa
mendokumentasikan seluruh lagu dan karya tarinya secara visual. Sayangnya,
hingga kini, harapannya belum sepenuhnya terwujud. Slamet dengan biaya sendiri
pernah mendokumentasikan lagu-lagu para seniman Srimuda, kelompok seniman yang
terafiliasi dengan Lekra era ’60-an dalam kaset pita untuk dipasarkan. Namun,
apa lacur, ribuan kaset itu tak sempat terjual karena teknologi pita kaset tergantikan
oleh compact disc.
Slamet
merugi. Meski demikian, dia mencoba terus bertahan. Bersama bekas yuniornya di
Srimuda, Slamet masih bermain musik angklung, bernyanyi dan menari. 2018, saya
masih bisa menyaksikan mereka bermain. Namun, pada kunjungan terakhir saya pada
awal Mei 2024, sanggar itu sudah seperti museum. Huruf-huruf Angklung Soren
yang menempel di papan nama terbuat dari bambu kini hanya tersisa beberapa
huruf: “an.klu.. dan s…n”. Saya tak kuasa untuk bertanya: “apakah mereka masih
bermain?”
Penulis: M. Ardiansyah
[i]
Erich Fromm, dengan memperluas cakupan konsep alienasi Karl Marx, mendefiniskan
alienasi sebagai cara mengalami hidup di mana seseorang mengalami dirinya
sebagai sosok yang terasing, perasaan terkucil dari dirinya sendiri dan
lingkungannya. Keterasingan ini terbit seseorang tidak lagi melakukan sesuatu
seturut keinginannya sendiri, melainkan dikendalikan oleh suatu otoritas di
luar dirinya. Paparan ringkas tentang konsep alienasi Fromm, lihat Richard
Schacht, Alienation (New York, Anchor Book, 1971), hal.123-148. [ii]
Kisah menarik dan ironi mengenai perburuan eksotisme dilukiskan dengan baik
dalam catatannya mengenai pergelaran ritual Mamat Bali Akang di kalangan
masyarakat Dayak Kenyah di Desa Data Bilang Ulu, Long Hubung, Kutai Barat,
Kalimantan Timur. Lihat Bisri Effendy, “Dua Catatan Lapangan”, dalam Kitab
Kkehidupan (: Yogyakarta: IRCiSoD bekerjasama dengan Yayasan Desantara, 2022).
[iii] Y.
B. Mangunwijaya, dalam Johan Huizinga, Homo Ludens: Fungsi dan Hakikat
Permainan dalam Budaya, terj, Hasan Basari, (Jakarta: LP3ES, 1990), hal.
xxi.=
[iv]
Johan Huizinga, Ibid., hal. 4.
[v]
Dikutip oleh Novi Anoegrajekti dan Bisri Effendy, “Penari Gandrung dan Gerak
Sosial Budaya Banyuwangi”, dalam Jurnal Srintil, Media Perempuan
Multikultural, Nomor 012 Tahun 2007, hal. 21
Saya terharu
BalasHapusPosting Komentar