Yang Gelisah dan Yang Gembira

https://www.ngenger.co/2024/09/yang-gelisah-dan-yang-gembira.html



“Bila orang tidak mau kembali seperti anak-anak (spontan, merdeka, tanpa pamrih, tanpa muslihat politik alias bermain dalam arti sangat luas), dia tidak akan masuk ke dalam kerajaan surga.”

(Y.B. Mangunwijaya)

 

Kemiren
Malam itu tiga puluh orang akan datang untuk sebuah wisata adat Using. Rombongan wisatawan domestik asal Flores memesan paket wisata budaya: makan malam dengan menu tradisional, pementasan musik gandrung Banyuwangi dan gedhogan – musik tradisional di kalangan petani Using Banyuwangi.

Jam lima sore enam perempuan tua dengan memakai klambi Jowo dan tapih, dengan make up seadanya, dan bibir yang bergincu merah, berkumpul di emperan rumah salah seorang yang paling tua di antara mereka: Mbah Marwah yang telah berusia lebih delapan puluh tahun. Mereka akan tampil menghibur para tamu dengan menyanyikan lagu-lagu Blambangan diiringi musik gedhogan. Lazimnya, tamu datang setelah magrib.

Mendung menggelayut. Langit berangsur gelap. Lalu menghitam. Azan melantun dari corong masjid yang hanya berjarak seratus lima puluh meter dari tempat para perempuan tua itu berkumpul. Penanda magrib telah tiba. Namun mereka tak bergeming. Usai azan, mereka melangkah ke sanggar budaya milik salah satu tokoh adat di desa Kemiren. Sanggar itu berbentuk balai terbuka, dengan lantai sekitar tiga puluh senti di atas permukaan tanah. Tanpa penyekat dan dinding, ia mampu menampung lima puluh orang lebih. Tata ruang sanggar terbagi dua. Satu bagian sedikit lebih tinggi berfungsi sebagai panggung, yang biasanya jika ada pertunjukan diperuntukkan bagi para panjak, sinden dan penari gandrung. Satu bagian lagi, lantai yang lebih rendah dan lebih luas, untuk para penonton atau pemaju. Sanggar itu juga memiliki halaman yang cukup luas yang biasa digunakan untuk atraksi barong. Namun tamu malam itu tidak memesan barong, hanya paket makan malam dan suguhan tarian gandrung dan gedhogan.
 
Enam perempuan itu bukan menuju sanggar, tapi melangkahkan kaki ke sebuah pondok bambu berukuran 3 x 3 meter yang berada di satu sudut kebun pisang, bersebelahan dengan sanggar. Pondok berbentuk persegi empat itu beratap welit, ditopang empat tiang bambu, dengan lantai tanah yang sedikit lebih tinggi dari tanah sekitarnya. Pondok itu dibiarkan terbuka, kecuali bagian belakang yang ditutup welit yang berfungsi sebagai latar belakang panggung. Hanya ada satu lampu penerangan yang menggantung di tengah. Ada empat lesung di situ, enam alu, dan sebuah angklung.
Berenam, mereka duduk di atas lesung. Dua perempuan tua lalu mengeluarkan wanci dari tas plastik berisi gambir, jambe, njet, daun sirih dan tembakau. Mereka akan memulai nginang. Diambilnya selembar daun sirih, dilipat, dan di bagian atasnya diolesi njet, lalu di atas olesan tersebut ditaruh secuil gambir dan jambe, kemudian dilipat lagi, lalu dikunyah-kunyah. Agar inang tak meleleh keluar mulut, segumpal tembakau hitam digunakan sebagai ganjal di ujung gigi, sekaligus berfungsi memutar dan memainkan lidah.
 
Hingga azan isya’, belum ada tanda-tanda tamu datang. Hujan mulai turun. Wajah-wajah perempuan tua itu tampak resah. Sesaat kemudian mereka menghibur diri dengan memainkan gedhogan. Baru memulai satu lagu ketika hujan tiba-tiba menderas disertai angin kencang. Hempasan air hujan menerpa mereka. Panik, mereka menghentikan permainan. Tergesa mereka saling merapatkan tubuh, mengumpul di tengah-tengah pondok, duduk berhimpitan, saling berhadapan, membelakangi hempasan angin dan hujan. Angin semakin kencang, seolah tak bersahabat. Klambi Jowo dan tapih yang mereka kenakan pun mulai basah.
 
Semakin malam, sang tamu tak juga datang. Rasa kantuk dan bosan menggurat wajah-wajah yang mulai gelisah. Tapi mereka harus bertahan, tetap di sana, hingga saat tamu datang dan kembali pulang. Dan, di saat tamu tiba nanti, mereka harus menunjukkan sikap ramah, wajah yang tampak sumringah, dan memainkan musik gedhogan yang rancak yang menampilkan suasana kegembiraan. Toh, nanti, saat jamuan makan malam usai, setelah tamu-tamu “kebudayaan” itu pergi, ketika malam semakin malam, mereka juga akan menikmati jamuan makan, dan, tentu saja, upah untuk penampilan mereka.
 
Sementara itu di sanggar yang sebelah menyebelah dengan tempat mereka, seorang sinden dan para panjak bercengkrama sambil merokok dan menyeruput kopi. Mereka akan memainkan seni musik gandrung, sajian utama paket wisata. Sang sinden, perempuan usia empat puluh lima tahun, duduk di atas kursi, memakai kebaya dengan rambut disanggul. Kulitnya putih bersih, dengan wajah berbalut bedak tebal. Para panjak duduk bersila di lantai keramik.
 
Di lantai yang lebih rendah, tempat para tamu, sajian makan malam dengan menu masakan tradisional - uyah asem dan pecel pitik - sudah disiapkan sejak magrib tadi. Seorang perempuan dengan pakaian adat dengan kaki dilipat duduk bersandar di sebuah tiang di ujung paling depan sanggar. Nanti, jika tamu datang, dialah yang bertugas meracik makanan dan melayani tamu. Ada banyak lampu di sanggar, semuanya dinyalakan sehingga menjadi terang-benderang. Sanggar memang menjadi pusat dan berfungsi sebagai panggung utama. Dua gadis muda penari gandrung, dua gadis muda yang masih menempuh kuliah di salah satu perguruan tinggi di Banyuwangi, masih berdandan di kamar ganti. Butuh paling tidak dua jam untuk berdandan bagi penari gandrung, Mereka membawa perlengkapan make up sendiri, dan mendandani diri sendiri.
 
Jam menunjuk angka delapan saat rombongan tamu dari Flores datang. Tiga jam lebih para perempuan itu baru bisa manggung. Masing-masing bergegas mengambil bebek, tongkat kayu pemukul lumpang, dan memainkan lagu-lagu Banyuwangi. Mbah Marwa ngendang, Mbah Sini ngegong, Mbah Suwana dan Mbah Baiyah ngeples, Mbah Untung dan Mbah Sumi ngempul. Dan, hujan masih menderas, namun mereka tak peduli. Lumpang-lumpang basah oleh terpaan air hujan. Bunyi yang dihasilkan kurang nyaring, seperti tertahan. Suara nyanyian Mbah Sini terdengar sayup, datar. Demikian pula suara angklung yang dimainkan oleh seorang lelaki tua, Mbah Sapari, yang berada di posisi kanan pemain gedhogan. Buah-buah angklung basah oleh air hujan. Permainan gedhogan menjadi penanda kehadiran tamu, sebagai musik sambutan sekaligus pembuka untuk sajian musik utama: gandrung.
 
Mengingat jam makan malam sudah lewat, para tamu tidak singgah dulu ke pondok, melainkan langsung menuju sanggar. Lazimnya para tamu foto bersama para pemain gedhogan sebelum ke sanggar. Tapi agaknya mereka menahan lapar. Setelah semua memasuki sanggar, musik gedhogan berhenti. Kang Pur berdiri di tengah-tengah sanggar sambil memegang mikrofon menyampaikan ucapan selamat datang dan menyilakan para tamu menikmati sajian makanan tradisional khas Kemiren. Dengan cekatan, perempuan peladen meracik makanan di daun pisang yang dipincuk. Ada empat puluh orang yang harus dilayani malam itu. Namun sebagian tamu meracik sendiri makanan yang mereka inginkan. Selesai makan, Kang Pur mulai memandu acara dan berinteraksi dengan para tamu, lalu sebentar kemudian minta para pemain gandrung untuk tampil.
 
Musik gandrung dimainkan. Dua penari memasuki sanggar, menari, berlenggak-lenggok. Padang Ulan dipilih sebagai lagu pembuka. Tak jelas siapa pencipta lagu ini. Liriknya bercerita tentang keindahan malam bulan purnama di pantai Banyuwangi, tempat muda-mudi bertemu memadu kasih. Dan, seperti lagu wajib, Padang Ulan selalu dimainkan dalam setiap pementasan.
 
Setelah dua-tiga buah lagu dinyanyikan sinden, diiringi tarian dua penari gandrung, babak berikutnya adalah saweran dengan melibatkan penonton sebagai pemaju yang akan menari berpasangan sekaligus nyawer. Lamanya pementasan gandrung tergantung jumlah pemaju. Selagi ada yang tampil sebagai pemaju, selama itu pula musik gandrung dimainkan. Dan selama itu pula enam perempuan pemain gedhogan dan seorang pemain angklung diam, nginang,  menunggu pementasan gandrung usai. Hanya sesekali mereka menoleh ke sanggar, turut menonton para pemaju yang sedang menari berpasangan dengan sang penari. Setelah pementasan gandrung berakhir, dan tamu berpamitan sambil berfoto bersama penari gandrung, pemain gedhogan tampil lagi menyanyikan satu-dua lagu penutup untuk mengantar kepergian para tamu.
 
Meski malam itu Kang Pur menyilakan para tamu berfoto bersama para pemain gedhogan, tampaknya tak satu pun yang melangkahkan kaki menuju pondok, mengingat hujan masih cukup deras dan tanah yang becek. Selepas tamu pulang, para pemain gedhogan, para panjak, sinden, dan penari gandrung menyantap makanan bersama-sama. Setelah itu, Kang Pur akan memberikan upah kepada masing-masing orang yang besarannya tergantung pada peran yang dimainkan.
 
Banjarsari
Di desa Banjarsari yang hanya berjarak empat kilometer arah selatan Kemiren, di sanggar seni yang diapit persawahan dan hutan kecil, sekelompok laki-laki paruh baya sedang sibuk menyiapkan peralatan musik angklung -mengatur tata letak alat musik, cek sound system, dan memperbaiki alat musik yang rusak. Sekelompok lelaki paruh baya itu dengan teliti memeriksa satu demi satu seluruh alat musik, demi memastikan  semuanya siap pakai. Semua kerangka alat musik yang terbuat dari kayu berwarna merah menyala. Di sudut sanggar, dua orang tua tampak sedang menali kembali buah-buah angklung, setelah mengganti beberapa buah angklung yang pecah. Seorang lainnya menata dan menghidupkan sound system. Sebagian menata penempatan alat musik: alat musik apa ditempatkan di mana. Corong speaker ditambatkan di dahan pohon di pekarangan samping sanggar.
 
Alat musik terdiri dari dua kendang, dua kenong, tiga set angklung, satu gong, satu kempul, dan enam gambang. Tiap alat musik dimainkan seorang pemain. Semua alat musik dan pemainnya menempati separo ruangan sanggar. Separo ruangan lainnya diperuntukkan untuk para penari, laiknya berfungsi sebagai panggung. Namun hari itu tak ada penari yang hadir kecuali si pemilik sanggar: Slamet Menur.
 
Mereka datang dari berbagai desa sekitar, bahkan ada yang menempuh jarak lebih dari dua puluh lima kilometer. Pagi itu mereka akan bermain musik angklung, kegiatan rutin mingguan. Mereka merupakan mantan pemain angklung yang sudah sekian lama tak lagi bernyayi dan menari, setelah peristiwa enam lima. Belakangan mereka mulai bermain musik lagi. Masing-masing pemain membawa alat musik dari rumah – mic, speaker, kendang dan lain-lain, kecuali angklung, klenong dan gong yang memang sudah ada di sanggar.
 
“Sanggar Angklung Soren” -nama sanggar itu- dibangun atas biaya sendiri oleh Slamet Menur alias Slamet Abdul Rajat. Di sanggar yang berlantai sepertiga paving dan dua pertiganya tatakan batu-bata itu, saban minggu pagi mereka berlatih musik angklung yang dikombinasikan dengan beberapa alat musik tradisional lainnya. Mereka akan memainkan musik dan menyanyikan lagu-lagu tradisional Blambangan. Dalam komunitas itu, Slamet Menur akan berperan pengaba-aba, laiknya seorang konduktor dalam pertunjukan musik orkestra. Dia berdiri di hadapan para pemain: memberi kode, menyanyi dan menari. Slamet sekaligus juga menari. Dia dikenal sebagai koreografer tari legendaris Banyuwangi: Genjer-genjer.   
 
Setelah semua peralatan siap, mereka memainkan nada-nada lagu Banyuwangi lama, seperti Podho Nginang, Padang Bulan, Wulan Andung-andung, dan Genjer-genjer. Kecuali Slamet Menur, semua memainkan alat musik, sambil bernyanyi, dengan gembira. Lagu demi lagu dinyanyikan. Iramanya kadang menghentak, kadang melandai, mengikuti nada lagu. Tak ada formasi resmi, mereka mengambil tempat sesuai dengan keinginannya. Tak ada wisatawan yang datang menonton, kecuali orang yang pulang dari sawah yang singgah sekedar ingin menghibur diri menikmati alunan musik angklung.
 
Tidak ada makanan yang dihidangkan, kecuali air putih di kendi di sela-sela anyaman bambu yang berfungsi sebagai dinding sanggar. Namun, ekspresi keceriaan tampak jelas di wajah-wajah mereka. Ada kegembiraan dan totalitas dalam bermain musik. Penabuh kendang, pria berkulit sawo matang dan kekar dengan rambu cepak, tak hanya menggerakkan tangannya, tapi juga tubuh dan kepalanya: mengangguk, menggeleng, memutar setengah lingkaran. Dia duduk bersila di atas lantai batu bata, di atas dingklik kecil, bersandar di tiang penyangga kayu. Beberapa pemain yang lain juga duduk bersila di lantai, beralas banner bekas. Mereka bermain dengan seksama, serius. Semua pemain larut dalam notasi musik dan irama lagu yang dimainkan.
 
Suara musik cukup membahana, disalurkan lewat speaker. Namun, karena sanggar itu diapit areal persawahan dan tegalan, tidak mengundang minat orang untuk menonton. Hanya tampak seorang laki-laki tua kurus-keriput yang memikul blarak (dahan pohon kelapa yang kering) dan pelepah pohon jambe, meletakkan pikulannya di tepi jalan, lalu duduk di buk (pagar beton pembatas sungai) dan mulai melinting rokok, kemudian mengarahkan pandangannya ke sanggar menikmati alunan musik angklung. Lama laki-laki tua itu di situ, hingga matahari berada tepat di atas kepala, saat mereka yang di sanggar mengakhiri permainan musik angklung hari itu.
 
Dua Sanggar, Dua Suasana
Suasana pementasan sanggar di Kemiren dan di sanggar Banjarsari tampak berbeda. Di Kemiren, pemain malam itu datang dengan sedikit keceriaan dan kegembiraan. Kegelisahan dan kebosanan bahkan tampak saat menunggu tamu datang. Saat pementasan, mereka agaknya tidak sedang bermain musik dalam arti yang sebenarnya, seperti beberapa tahun silam, ketika bermain musik gedhogan menjadi hiburan sambil menumbuk beras untuk acara hajatan warga. Lumpang, alat utama musik gedhogan, kini, tak tersentuh kecuali bila ada pesanan paket wisata yang meminta mereka tampil.
 
Di Banjarsari, tampak ada kegembiraan dalam bermain angklung, sambil bernyanyi dan menari. Para pemain datang dengan alat musik masing-masing, membersihkan dan memperbaiki sendiri alat musik yang rusak. Tak perlu menunggu tamu atau penonton untuk memulai, dan akan menyudahi permainan jika memang mereka ingin mengakhirinya.
 
Di Kemiren ada beberapa sanggar yang serupa, menyajikan paket wisata seni budaya Banyuwangi. Desa ini memang sudah sejak 1992 ditabalkan sebagai Desa Wisata Using (DWU). Penabalan DWU menandai perubahan kebudayaan di Kemiren, juga Banyuwangi secara umum. Di Banyuwangi, gerak perubahan kebudayaan begitu cepat seiring hadirnya negara dan pasar dalam ruang berkebudayaan. Kesenian tradisi, dalam beberapa dekade terakhir, dikemas, dipanggungkan, dipertontonkan –dipromosikan sebagai bagian dari paket wisata budaya Banyuwangi. Pertunjukan seni budaya Banyuwangi kini hampir menjadi tontonan sehari-hari, dan sebab itu ia menyandang predikat ‘kota seribu festival’. Di Kemiren sendiri ada Festival Ngopi Sewu, Festival Tumpeng Sewu, Tradisi Barong Ider Bumi, Festival Jajanan Pasar.
 
Meski berdekatan dengan Kemiren, Banjarsari tidak disemati sebagai desa wisata. Namun, sebagaimana umumnya kawasan desa-desa berbahasa Using, tradisi –kesenian, ritual adat, dan berbagai ekspresi tradisi Using lainnya tumbuh berkembang di Banjarsari. Tradisi, dengan segala dinamikanya, berjalan dalam alur sewajarnya. Sanggar Angklung Soren yang didirikan Slamet Menur tidak dimaksudkan sebagai destinasi wisata, melainkan upaya melestarikan kesenian angklung dan tari Banyuwangi. Sanggar ini terbuka bagi siapa saja yang ingin belajar angklung, dan terutama menari.
 
Pemain Gedhogan: Yang Tersudut, Teralienasi
Mbah Marwa, Mbah Sini, Mbah Suwana, Mbah Baiyah (Byak), Mbah Untung, Mbah Sumi -enam perempuan penginang dan pemain musik gedhogan, dan Mbah Sapari -laki-laki tua pemain angklung- pondok bambu, merupakan penanda-penanda budaya yang harus ditempatkan dalam ruang tersendiri dalam paket wisata malam itu. Mereka berada di pinggir panggung, di sudut kebun pisang, belasan langkah dari sanggar yang menjadi “pusat”. Tak ada gemerlap lampu, pernak-pernik aksesoris sebagaimana yang dikenakan oleh sinden dan penari gandrung. Di depan kamera, jikalau meladeni para wisatawan berfoto, mereka kadang saja tersenyum, tertawa. Namun, kedua bibir mereka hampir selalu rapat, mengesankan kebekuan. Kalau toh mulut mereka terbuka, yang tampak adalah warna merah kehitaman, dan segumpal tembakau yang basah oleh ludah.
 
 
Pemain musik gedhogan menampikan gambaran manusia yang teralienasi.[i] Mungkin demikian pula yang dialami oleh para pemain gandrung. Situasi alienasi bisa saja dialami oleh seseorang tanpa disadari. Ia bermain bukan karena keinginannya sendiri, tetapi digerakkan oleh satu otoritas pemilik sanggar, yang pemilik juga digerakkan oleh suatu otoritas lain di luar dirinya yang lebih abstrak: industri pariwisata. 
 
Dalam beberapa fragmen saat pementasan gedhogan, sebagaimana saya lihat dalam beberapa pementasan, kadangkala para pemain memang mengulas senyum, bahkan tertawa, sepintas menampilkan kesan menikmati permainan gedhogan, bernyanyi riang mengikuti irama musik gedhogan, namun bisa jadi mereka mengalami kebosanan. Pementasan demi pementasan dilakukan untuk menghibur tamu, dan itu berlangsung dengan ritme dan pola yang sama, monoton. Mereka menjadi objek tontonan, bidikan kamera, dan ditampilkan dalam citra eksotisme. Di sudut kebun, malam itu, mereka menempati ruang yang terisolasi, dan kecemasan. Kalau toh mereka berinteraksi dengan para tamu, interaksi itu impersonal, tidak mempribadi. Mereka sendiri sesungguhnya telah sekian lama tidak main gedhogan, dan sebenarnya tradisi gedhogan sudah hilang di masyarakat. Gedhogan dipaksa hadir kembali, untuk melayani perburuan eksotisme orang kota.[ii]  
 
Permainan, Kebudayaan, dan Komodifikasi
Siapa yang tak suka bermain? Bisa dipastikan: tidak ada. Bahkan binatang pun bermain. Pastilah kita sering melihat anak-anak kucing yang berkejaran, saling menggigit, atau jumpalitan. Bermain, bagi binatang, bagian dari naluri untuk bertahan hidup. Karena itu permainan lebih tua daripada kebudayaan, sejauh istilah yang terakhir merujuk pada manifestasi laku hidup manusia. Binatang tak perlu belajar kepada manusia, sang pemilik kebudayaan, untuk bisa bermain.[iii] 
 
 
Permainan ada di jantung kebudayaan dan masyarakat. Dengan bermain, warga masyarakat menciptakan ruang pengungkapan diri secara bebas dan otonom. Dari sinilah lahir kebudayaan, kesenian. Kebermainan merupakan ekspresi spontanitas, autentisitas, dan aktualisasi diri yang murni. Karenanya, bermain itu membebaskan, bukan memasung. Tidak ada paksaan untuk terlibat dalam permainan - bermain bersifat sukarela, tidak terikat dengan kepentingan materil. Unsur penting permainan adalah keisengannya (fun) dan totalitas (totality),[iv] suatu sifat yang tak dapat direduksi lebih lanjut. Melalui keisengan dan totalitas ini permainan menciptakan kegembiraan, kerelaan, kenikmatan, dan kepuasan. Namun, unsur bermain dalam hubungannya dengan kebudayaan kini menjadi berubah, bahkan problematik. Pertanyaan masihkah ada seniman – seniman dan budayawan yang otonom, yang bermain dengan segala totalitasnya? Dengan kata lain, masih adakah kebebasan dalam berkesenian?
 
Di Kemiren, intervensi negara dan penetrasi pasar mengubah permainan (seni dan budaya) secara intensif menjadi komoditas. Gerak budaya  di Kemiren, dan Banyuwangi, mengarah ke industri budaya. Seni musik dan tari gandrung, misalnya, sudah sejak 2002 Pemerintah Banyuwangi mendirikan Sekolah Gandrung, dan tiap tahun lahir penari-penari gandrung baru. Kini, ribuan penari gandrung telah ‘diproduksi’. Karena itu, tak sulit mengumpulkan seribu penari gandrung dalam festival tahunan Banyuwangi: Gandrung Sewu. Tapi, apakah mereka benar-benar penari gandrung? Dan apakah kesenian gandrung dalam Gandrung Sewu benar-benar gandrung? Bandingkan, misalnya, dengan kesaksian seorang budayawan Banyuwangi, Fatrah Abal: “Pada tahun 1937 saya telah acapkali nonton kesenian gandrung. Yang menarik menonton gandrung waktu itu, pada babak ketiga yang disebut seblang-seblang, sewaktu gandrung melantunkan dan mendendangkan gending-gending tertentu yang harus dibawa, banyak orang tua yang menyaksikan tidak dapat menahan isak tangis dan melelehkan air mata.”[v] Lewat pertunjukan gandrung, orang-orang tua itu mengenang perjuangan rakyat Blambangan. Lalu, ketika menonton Gandrung Sewu, orang-orang mengenang apa? Gandrung Sewu tak lain ialah komodifikasi. Sebagai semata performance art, ia mengabaikan asal-usul atau terciptanya kesenian gandrung. Karena itu, mungkin tak satu pun bisa ditemukan orang yang menangis saat menonton pertunjukan Gandrung Sewu. 
 
Di sanggar Angklung Soren, di Banjarsari, unsur bermain mencapai pemenuhannya. Tampak ada kegembiraan dalam bermain musik angklung, kebebasan berekspresi, pun kapan memulai dan menyudahi permainan. Slamet Menur, sang pemilik sanggar, memang mendedikasikan hidupnya untuk kesenian angklung dan tari. Ya, angklung dan tari menjadi jalan hidup Slamet Menur. Dalam beberapa kali kunjungan saya ke rumahnya, dia berharap bisa mendokumentasikan seluruh lagu dan karya tarinya secara visual. Sayangnya, hingga kini, harapannya belum sepenuhnya terwujud. Slamet dengan biaya sendiri pernah mendokumentasikan lagu-lagu para seniman Srimuda, kelompok seniman yang terafiliasi dengan Lekra era ’60-an dalam kaset pita untuk dipasarkan. Namun, apa lacur, ribuan kaset itu tak sempat terjual karena teknologi pita kaset tergantikan oleh compact disc.
 
Slamet merugi. Meski demikian, dia mencoba terus bertahan. Bersama bekas yuniornya di Srimuda, Slamet masih bermain musik angklung, bernyanyi dan menari. 2018, saya masih bisa menyaksikan mereka bermain. Namun, pada kunjungan terakhir saya pada awal Mei 2024, sanggar itu sudah seperti museum. Huruf-huruf Angklung Soren yang menempel di papan nama terbuat dari bambu kini hanya tersisa beberapa huruf: “an.klu.. dan s…n”. Saya tak kuasa untuk bertanya: “apakah mereka masih bermain?”


Penulis: M. Ardiansyah


[i] Erich Fromm, dengan memperluas cakupan konsep alienasi Karl Marx, mendefiniskan alienasi sebagai cara mengalami hidup di mana seseorang mengalami dirinya sebagai sosok yang terasing, perasaan terkucil dari dirinya sendiri dan lingkungannya. Keterasingan ini terbit seseorang tidak lagi melakukan sesuatu seturut keinginannya sendiri, melainkan dikendalikan oleh suatu otoritas di luar dirinya. Paparan ringkas tentang konsep alienasi Fromm, lihat Richard Schacht, Alienation (New York, Anchor Book, 1971), hal.123-148.
[ii] Kisah menarik dan ironi mengenai perburuan eksotisme dilukiskan dengan baik dalam catatannya mengenai pergelaran ritual Mamat Bali Akang di kalangan masyarakat Dayak Kenyah di Desa Data Bilang Ulu, Long Hubung, Kutai Barat, Kalimantan Timur. Lihat Bisri Effendy, “Dua Catatan Lapangan”, dalam Kitab Kkehidupan (: Yogyakarta: IRCiSoD bekerjasama dengan Yayasan Desantara, 2022).
[iii] Y. B. Mangunwijaya, dalam Johan Huizinga, Homo Ludens: Fungsi dan Hakikat Permainan dalam Budaya, terj, Hasan Basari, (Jakarta: LP3ES, 1990), hal. xxi.=

[iv] Johan Huizinga, Ibid., hal. 4.

[v] Dikutip oleh Novi Anoegrajekti dan Bisri Effendy, “Penari Gandrung dan Gerak Sosial Budaya Banyuwangi”, dalam Jurnal Srintil, Media Perempuan Multikultural, Nomor 012 Tahun 2007, hal. 21


1 Komentar

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama