Gunung Watu Pecah: Ruang Geografi Bersama*

Sumber Foto: Adib

Tahun-tahun belakangan serbuan wabah nostalgia membuat banyak orang keranjingan untuk berburu masa lalu. Mereka mencermati dan membalik benda-benda yang diperkirakan menyimpan jejak kehidupan masa lalu, menelusuri dan membongkar tumpukan arsip yang menyimpan wacana kehidupan masa lalu. Pada dasarnya mereka tidak sedang merindukan masa lalu seperti ingin menatap foto kenang-kenangan keluarga yang ia berada di dalamnya. Perburuan masa lalu ini bukan untuk membangkitkan kenangan yang tersimpan dalam tubuh biologis, bukan untuk merasakan kembali momen intim dalam suatu jarak waktu. Wabah nostalgia di sini didorong oleh dua hal: pertama didorong keinginan untuk memaknai kembali geo-history dan ethno-history yang menjadi ruang bagi kehidupan bersama, kedua didorong oleh upaya untuk menemukan sumber-sumber baru informasi untuk melayani hasrat mengkonsumsi informasi yang tak terpuaskan pada era media digital sekarang ini. Pembagian dua faktor pendorong tersebut hanya pemisahan teknis, kedua faktor tersebut nyatanya dapat saling berkelindan. Dorongan untuk memaknai geo-history dan ethno-history secara simultan juga dorongan untuk menyediakan informasi baru pada pasar informasi dalam media digital. Namun, tulisan ini akan lebih menitikberatkan pada faktor pendorong pertama dalam hubungannya dengan Gunung Watu Pecah di dusun Langon, Ambulu, Kabupaten Jember, sebagai landmark atau tetenger dalam ruang kehidupan bersama yang dapat membentuk cara hidup dan ekspresi kebudayaan tertentu.


Memaknai ruang kehidupan bersama dalam medan gravitasi tetenger Gunung Watu Pecah berarti harus menentukan pusat; menemukan pondasi yang kokoh sebagai landasan untuk mengkonstruksi makna. Sebentuk artefak atau arsip harus diidentifikasi material pembentuk dan ciri spesifiknya untuk dapat dikonfirmasi hubungannya dengan suatu zaman atau periode di mana suatu pertistiwa yang pernah terjadi dapat dijamin faktualitasnya oleh hadirnya kekuasaan ganda: raja dan sains, politik dan ilmu pengetahuan, muthos dan logos. Artefak dan arsip maupun cerita lisan yang merupakan jejak bisu peristiwa yang tak lagi hadir sebagai kekasat-mataan (visibilitas) tidak mungkin dibangkitkan dari kematiannya untuk bercerita tanpa narasi mode diagesis mimetik yang merupakan suatu cara untuk berbicara atas nama yang tak hadir atau yang telah mati, sedangkan yang tak hadir tak mungkin “diketahui” kehadirannya tanpa rangkaian logis (berurutan dan kausal) peristiwa dalam ruang dan waktu tertentu. Namun demikian, ini adalah pemaknaan yang bersifat “primordial”, pemaknaan yang memiliki perangkapnya sendiri dengan melupakan keberadaan tubuh dan pengalaman tubuh aktual. Oleh karena itu Gunung Watu Pecah sesungguhnya menyimpan cara pemaknaan lain yang berlandas pada pengalaman sensible dalam berinteraksi langsung dengannya yang setiap orang dapat memilikinya. Suatu cara pemaknaan yang membuat setiap orang dapat terhubung dengan orang lain sekaligus dapat tercerai dengan orang lain dengan kedudukan setara. Namun, sebagaimana cara pemaknaan primordial, pemaknaan sensible ini juga punya perangkapnya sendiri yang dapat menimbulkan ledakan noise (derau) hingga kekacauan.


Lantas, bagaimanakah Gunung Watu Pecah dimaknai dalam kaitan Festival Kaki Gunung Watu Pecah? Dalam konteks pertanyaan ini, saya tidak hendak merelasikan pemaknaan Gunung Watu Pecah dan Festival Kaki Gunung Watu Pecah yang penyelenggaraannya masih belum dilaksanakan saat tulisan ini dibuat. Namun lebih merupakan upaya untuk membuka ruang pemaknaan yang memungkinkan Festival Kaki Gunung Watu Pecah nanti akan tempati atau ditempatkan sebagai suatu praktik material.


Mencari Gunung Watu Pecah

Pada awalnya saya kira akan bertualang seperti Victor Berard yang mencari ruang geografis petualangan Odysseus karya Homer pada ruang geografis Mediterania dalam Les Phéniciens et l'Odyssée (Orang-orang Punisia dan The Odyssey atau Geography of the Odyssey/Geografi Odyssey; 1901). Tentu saja, saya melakukan petualangan secara terbalik, mencari Gunung Watu Pecah sebagai ruang geografi yang “tak dikenal” pada ruang geografi teks atau arsip tertulis. Berhari-hari saya menjelajahi berbagai teks sejarah – terutama arsip masa kolonial –, baik digital atau cetak, berkali-kali pula saya bertemu Victor Berard dalam rupa para sarjana Belanda, seperti Brandes, Kromm, dan Kern, yang mencari ruang geografis Pararaton dan Negarakertagama pada ruang geografis Jawa Timur. Saya menemukan Kota Krandjingan, Kota Bara, Sadeng, dan nama-nama yang mengisari Gunung Watu Pecah seperti Gunung Pontang, Sabrang, dan Kotta Blater. Namun Gunung Watu Pecah tetap ruang geografi yang bisu pada teks-teks itu. Saat saya putuskan untuk mencari nama yang saya duga lebih tua, Gunung Kuntul, tetap saja ruang geografi itu bisu.


Dari arsip tulisan, saya beralih ke arsip foto. Saat menjelajah laman Het Nationaal Archief [i]saya menemukan  dua dokumen foto pelatihan pasukan calon Apris (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) di Ambulu berlatar belakang bukit dengan puncak bermahkota semirip batu hampir berbentuk kubus dengan celah retakan di tengah tampak ditumbuhi sebatang pohon. Meskipun latar bukit pada foto bertarikh September 1949 tersebut terlihat gersang, namun saya menduga latar bukit pada foto itu adalah Gunung Watu Pecah yang baik dalam sejumlah foto tahun-tahun terakhir maupun dalam penglihatan langsung tampak menghijau dengan pohon, perdu, dan semak. Keterangan dua foto tersebut ditulis dalam bahasa Belanda yang jika diterjemahkan kira-kira dapat dibaca, “Kamp rehabilitasi eks anggota TNI "Ambulu" terletak di dekat Djember (Jawa Timur). Di bawah bimbingan ahli dari beberapa instruktur KNIL, para rekrutan, yang terdiri dari mantan tawanan perang dan mantan anggota TNI, dilatih untuk tugas mereka yang akan datang guna menjamin ketertiban dan perdamaian di Negara Indonesia Serikat di masa depan. Para rekrutan dilatih untuk memperoleh keterampilan medan, terutama kamuflase. Sama sekali tidak disebut Gunung Watu Pecah atau Gunung Kuntul dalam dua foto tersebut. Kita mungkin dapat menghubungkan foto pelatihan pasukan tersebut dengan sejarah Agresi Militer Belanda II atau Operasi Gagak yang memicu banyak pertempuran, termasuk di Jember, dan dua perjanjian penting, Roem-Royen dan Konfrensi Meja Bundar. Jika sekitaran Gunung Watu Pecah, yang sekarang Dusun Langon, pada masa itu adalah zona militer atau kamp rehabilitasi militer, lantas bagaimana interaksi masyarakat sekitar dengan Gunung Watu Pecah yang mungkin berfungsi sebagai instalasi militer pada waktu itu?

Sumber Foto: Nationaal Archief

Kekosongan narasi masa lalu Gunung Watu Pecah dalam arsip tulisan dan kekurangjelasan narasi Gunung Watu Pecah yang dapat ditarik dari dua dokumen foto pelatihan militer dan keterangannya dari tahun 1949 membawa saya untuk menemui beberapa warga Langon untuk menyibakkannya. Saya berharap mendapatkan narasi berkait Gunung Watu pecah melalui cerita lisan. Pada kenyataannya saya benar-benar tidak dapat memperoleh cerita lisan Gunung Watu Pecah dalam arti penuh – narasi yang berurutan, kausal, dan memiliki intensi atau tujuan, baik tersirat maupun tersurat. Dua orang yang saya temui secara khusus sama-sama mengisahkan keberadaan Gunung Watu Pecah berkait dengan perkelahian dua gunung, Gunung Manggar vs Gunung Bajing atau Gunung Manggar vs Gunung Kidul. Sedangkan seorang kawan yang warga Langon memberikan rekaman wawancara kisah Gunung Watu Pecah yang dituturkan oleh seorang sumber. Rekaman tersebut selain mengisahkan keberadaan Gunung Watu Pecah berkait dengan perkelahian dua gunung juga berkait dengan perkelahian antara Arya Pontang dan Arya Blater.[ii] Namun demikian, semua kisah yang dituturkan tersebut betul-betul hanya cerita yang rumpang. Sama halnya dengan cerita keberadaan makam Mbah Lepet di atas Gunung Watu Pecah yang tidak jelas. Sementara, cerita berkait dengan keberadaan Gunung Watu Pecah sebagai zona militer tampaknya tidak menjadi ingatan kolektif warga di kisaran kaki Gunung Watu Pecah. Dusun Langon. Barangkali, keberadaan zona militer dalam wilayah Gunung Watu Pecah pada masa lalu dalam hubungannya dengan warga Dusun Langon dapat digali lebih jauh melalui penelusuran penguasaan sejumlah bidang tanah di kaki Gunung Watu Pecah yang berkait dengan kekerabatan atau relasi militer.


Saya kira cerita paling menonjol di Langon dan mungkin menjadi ingatan kolektif generasi tertentu di kisaran kaki Gunung Watu Pecah adalah pembukaan kawasan Dusun Langon menjadi kawasan hunian dan pertanian yang sebelumnya merupakan daerah rawa-rawa. Pembukaan kawasan Langon dengan mengeringkan rawa-rawa, menurut cerita, mungkin terjadi pada awal abad 20 atau akhir abad 19.[iii] Saya kira, berdasarkan cerita yang saya dapat, luasnya daerah rawa-rawa yang menggenangi kaki Gunung Watu Pecah membuat pengerjaan pengeringan terjadi dalam beberapa tahap dan dilakukan oleh beberapa kelompok kecil orang yang berbeda. Cerita pengerjaan pengeringan rawa-rawa tersebut memberikan dampak yang nyaris sama dengan pembabatan hutan sebagai kawasan hunian, atau, bahkan dengan penaklukan singa Nemea oleh Hercules/Herakles. Para pionir hebat tidak hanya mewariskan cerita kosong. Cerita penaklukan alam tersebut memberikan legitimasi naratif bagi para keturunannya untuk menguasai tanah dan privelese sosial.

Sumber Foto: Nationaal Archief

Sebelum kita beranjak ke bahasan berikutnya, saya harus memberikan permakluman bahwa hasil dari semua upaya mencari Gunung Watu Pecah dengan menjelajahi arsip tulisan, arsip foto, dan arsip hidup (cerita lisan) sangat bergantung pada kecakapan saya menavigasi penjelajahan dan keterbatasan ruang-waktu yang saya miliki. Artinya, penjelajahan dalam pencarian Gunung Watu Pecah yang saya lakukan sangat mungkin banyak melewatkan relung-relung dan hamparan tegalan yang sesungguhnya menyediakan sumber informasi melimpah tentang Gunung Watu Pecah. Sempitnya relasi sosial yang mungkin saya bangun, kurang luas dan beragamnya arsip-arsip tulisan dan foto yang saya geledah, dan kurang tepatnya metode pencarian yang saya gunakan sangat menentukan hasil pencarian yang saya dapatkan. Namun demikian, saya harus memberanikan diri untuk melangkah lebih jauh, berangkat dari apa yang ada digenggaman tangan.


Hubungan Gunung Watu Pecah dan Masyarakat di Sekitarnya

Dari hasil penjelajahan dan penggeledahan yang saya dapatkan kemudian timbul pertanyaan; Mengapa masyarakat di sekitar Gunung Watu Pecah tidak memiliki hubungan khusus dengan Gunung Watu Pecah? Pertanyaan ini muncul didasarkan pada makna kultural yang menyebar luas bahwa gunung merupakan pusat kehidupan dan tempat sakral yang menghubungkan manusia dengan kekuatan gaib – dewa-dewa atau ruh nenek moyang – yang dianggap dapat mempengaruhi kesejahteraan hidup manusia. Oleh karena itu gunung biasanya menjadi titik orientasi dalam ritual atau bahkan menjadi tempat bangunan-bangunan suci didirikan. Lazimnya, pemaknaan gunung secara kultural tersebut tersimpan di dalam narasi yang dimiliki oleh masyarakat sekitar yang berfungsi menjadi semacam sumber peta kosmologis dan sumber kaidah-kaidah sosial yang memandu perbuatan individual maupun kolektif. Sebagai contoh, artikel Geger Riyanto (2023) menyingkapkan fungsi mitos siluman ular bagi orang-orang Seram di daerah pegunungan Masihulan dan bagi pendatang Buton yang mendiami daerah pantai.[iv] Ibu siluman ular, bagi orang-orang Masihulan adalah leluhur mereka, ia adalah seorang perempuan yang lahir dari buah kelapa yang lari ke Buton karena akan dibunuh oleh saudara laki-lakinya. Di Buton, leluhur perempuan orang Masihulan tersebut kawin dengan sultan Buton dan melahirkan seorang pangeran yang bertubuh setengah manusia dan setengah ular bernama La Ode Wuna. Pangeran siluman ular tersebut kemudian terusir dan pergi ke Pulau Seram dan menurunkan keturunan orang-orang Buton di Seram. Narasi tersebut mendasari hubungan basaudara antara masyarakat Buton sebagai warga pendatang dan penduduk asli Seram sebagai hubungan kekerabatan sekaligus juga menghubungkan masyarakat Buton di pulau Seram dengan kampung halamannya di mana mitos siluman perempuan ular tersebut juga hidup. Di Seram, narasi siluman ular di kalangan penduduk, baik orang Seram dan Buton, menjadi daging dan tulang yang hidup dalam hubungan relasi sosial mereka. Mitos (muthos/kebisuan/ketakhadiran) memiliki relasi dengan logos (kehadiran). Sama halnya dengan pernyataan Fernand Braudel dalam bagian akhir magnum opus history long duree yang terkenal Mediterranean (1949) yang mengatakan: “Ulysses (Odysseus) hanya mungkin dapat disahkan menjadi sosok sejarah melalui nelayan yang duduk main kartu dan menunggu angin berubah di kedai minuman The Dragon yang penuh asap”[v]. Suatu momentum ketemunya antara ruang material yang kasat mata dengan ruang naratif.


Tidak ada narasi Gunung Watu Pecah yang hidup dan menjadi daging dan tulang di Langon. Namun demikian, bukan berarti dapat dipastikan tidak pernah ada narasi Gunung Watu Pecah. Bukan hanya karena beredar kisah rumpang tentang perkelahian dua gunung dan kisah berkait makam Mbah Lepet di puncak Gunung Watu Pecah. Namun, juga karena, berdasarkan informasi yang didapat, sejumlah orang dari jauh – Banyuwangi dan Bali – pada waktu-waktu tertentu dengan berombongan mendatangi Gunung Watu Pecah untuk melakukan nyadran. Di samping itu juga masih ada sisa-sisa anggapan sejumlah orang yang menganggap Gunung Watu Pecah sebagai tempat untuk ritual atau bertapa. Lantas, jika narasi Gunung Watu Pecah pernah hidup, mengapa narasi itu hari ini nyaris tidak dikenali? Jika narasi Gunung Watu Pecah memang pernah ada, “lenyapnya” narasi Gunung Watu Pecah saya kira dapat dicari penyebabnya pada narasi pembukaan atau pengeringan rawa-rawa daerah Langon pada awal abad 20 atau akhir abad 19. Hadirnya narasi pengeringan rawa-rawa seibarat kapak yang diayunkan untuk menumbangkan pohon (E)Lo keramat yang menjaga sisa-sisa lahan berawa yang angker.[vi] Narasi Gunung Watu pecah yang melandasi hubungan masyarakat sekitar sebelumnya dengan Gunung Watu Pecah (jika diasumsikan pernah ada narasi Gunung Watu Pecah tentu ada masyarakat pemilik narasi tersebut) digantikan dengan narasi yang menghubungkan pendatang dengan kampung halamannya dan melegitimasi pendatang untuk menguasai tanah bekas rawa-rawa.


Tampaknya, sebagaimana narasi Gunung Watu Pecah yang tingggal kerlip menjauh, cerita epik pengeringan rawa-rawa semakin surut di tangan generasi warga Langon berikutnya. Bergesernya pemaknaan tanah dari nilai kultural ke pemaknaan nilai ekonomi yang dominan hari ini dan banyaknya para pendatang baru yang menghuni Langon barangkali ikut menentukan nasib kedua narasi tersebut. Berangsur pudarnya kedua narasi tersebut memberikan jenis hubungan lain antara masyarakat dengan Gunung Watu Pecah dan lingkungan sekitarnya. Jenis hubungan yang sebenarnya ada dalam mode dorman di tengah masyarakat sejak lama. Jenis hubungan yang didasari oleh pelupaan narasi masa lalu dan bangkitnya kepekaan sensible yang mendorong penghayatan inderawi atas pengalaman langsung dengan Gunung Watu Pecah.


Tanpa narasi masa lalu, Gunung Watu Pecah ibarat tanah perawan, tempat di mana segala peristiwa adalah suatu konjungtur; tidak ada apa-apa yang dipahatkan pada awal mulanya, institusi-institusi (seperti masyarakat), kewilayahan, kegiatan-kegiatan rekreasi dan olahraga, serta pemanfaatan tanahnya disituasikan pada saat semuanya itu sedang terjadi. Semua kegiatan dan perbuatan manusia tersebut seperti memberikan sosok manusiawi pada narasi sains yang meriwayatkan lanskap Gunung Watu Pecah dalam pembentukan formasi geologis Merubetiri sejak masa miosen sampai holosen tanpa kehadiran manusia. Kekosongan manusia dalam proses geologis yang pada cerita masa lalu mungkin diatasi dengan personifikasi dua gunung yang berkelahi. Proses geologis yang pada masa Antroposen pada saat ini diam-diam masih berlangsung yang ditandai dengan bertambah lebarnya rekahan mahkota batu Gunung Watu Pecah.


Gunung Watu Pecah hari ini melupakan narasi masa lalunya, entah dengan cara yang sublim atau tidak. Pada kenyataannya, lembah di sekeliling bawahnya telah tumbuh lembaga-lembaga pendidikan, penginapan, taman makam pahlawan, puskesmas, toko-toko, tempat kremasi, ladang-ladang dan sawah, ruas-ruas jalan raya dan jalan desa, serta perumahan, yang semuanya menjadi ruang bagi setiap dan segenap warga untuk melakukan perbuatan sejarah (menciptakan sejarah dengan perbuatan) bersama denyut proses geologis yang menyertainya dalam diam.


Festival Kaki Gunung Watu Pecah, saya kira sebaiknya dimaknai dalam konteks penciptaan sejarah daripada penulisan sejarah: diletakkan dalam konteks pelupaan narasi masa lalu yang bersamanya teks dihentikan kecerewetannya, dihentikan untuk terus berbicara – teks di dalam teks di dalam teks . . . seperti wabah nostalgia yang terperangkap dalam belukar teks tanpa ujung atau teks yang menjelma tubuh quixotic yang delusional – dan menjadi daging serta tulang-belulang hidup yang mengalami situasi hari ini.  Seperti Odysseus yang hanya dapat menjadi sejarah kembali bersama tubuh nelayan yang duduk main kartu di kedai minuman penuh asap. Festival Kaki Gunung Watu Pecah hendaknya menjadi bentuk lain dari pemandangan lanskap Jember dari ketinggian yang dibatasi oleh cakrawala dan desir angin yang membelai kulit pipi dan memainkan rambut  yang dirasakan oleh para remaja yang mendaki hingga ke puncak Gunung Watu Pecah.

* * *

: Terima kasih kepada Rafi, Mbak Alfis, Ibunya Mbak Alfis, Adib, Pak Suratno, dan Pak Abu, yang memungkinkan saya dapat menulis makalah ini.



Penulis: Dwi Pranoto



* Makalah yang disajikan pada Seminar Festival Kaki Gunung Watu Pecah di Pari-Pari Resto & Café tanggal 29 Juni 2024.

[i] https://www.nationaalarchief.nl/en/research/photo-collection/af02efce-d0b4-102d-bcf8-003048976d84?searchKey=0acd20fe517899159452b49f70ace007

[ii] Rekaman cerita ini saya dapatkan dari seorang teman, Adib, generasi kesekian dari tokoh pengering rawa-rawa.

[iii] Cerita tentang pembukaan atau pengeringan rawa-rawa di kaki Gunung Watu Pecah dituturkan oleh (maaf saya lupa namanya) ibu dari Mbak Alfis yang merupakan keturunan dari tokoh yang mengeringkan rawa-rawa.

[iv] “Suspicion and Overlapping Orders of Precedence: Imagining Secret History in Founder-Focused Societies of Eastern Indonesia” dalam Ocenia Vol. 92, Tahun 2022. Artikel ini kemudian dikembangkan oleh Geger Riyanto menjadi desertasi berjudul  Being Strangers in Eastern Indonesia:Misunderstanding and Suspicion of Mythical Incorporation among the Butonese of North Seram.  

[v] terjemahan kutipan Jacques Ranciere atas Mediteranean dalam The Names of History: on the Poetics of Knowledge, terjemahan Hassan Melehy, hal. 85, (1994).

[vi] Cerita tentang sisa rawa-rawa yang angker dan penebangan pohon Lo besar yang menaunginya diceritakan oleh salah seorang warga Langon yang merupakan putra dari kepala dusun sebelumnya, yakni Pak Suratno. Menurut Pak Suratno, bapaknya adalah juga tokoh yang mengeringkan rawa-rawa.   

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama