B29, Tengger, dan Fotografi


“Suatu ketika dalam sebuah kunjungan menginap di kawasan Tengger Argosari, dini hari, saya dikagetkan oleh deru motor trail yang meraung-raung memecah kesunyian. Ternyata serombongan wong ngare hendak ke B 29. Untuk sebuah eksotisme: sunrise.”

Syahdan, Louis Jacques Mande Daguerre, seorang desainer panggung opera yang juga pelukis, awalnya hanya merancang diograma, yaitu barisan lukisan pemandangan yang dipertunjukkan secara mempesona dengan bantuan efek cahaya. Namun, dari sini Daguerre mengembangkan suatu mekanisme untuk melukiskan kembali sebuah pemandangan secara otomatis tanpa menggunakan cat dan kuas. Perkenalannya dengan  Joseph Nicéphore Niépce melempangkan obsesinya. Daguerre menemukan sistem pemotretan yang dikenal dengan daguerreotype. Dalam sebuah eksperimen, di atas pelat tembaga berlapis perak, bayangan sebuah jalan di Paris terekam. Ia memamerkan hasil karyanya itu di bulan Januari 1839. Pada bulan Agustus di tahun yang sama, Daguerre dinobatkan sebagi orang pertama yang berhasil membuat foto permanen. Awal dari sebuah dunia yang kita kenal sebagai fotografi.
 
Lewat fotografi, kita memandang realitas sekeliling sebagai objek. Sambil menenteng kamera, kita mencari objek, mengatur (baca: membuat) jarak dengannya, dan menentukan sudut pemotretan. Frame, fokus dan sudut kamera menentukan pesan dan makna apa yang hendak disampaikan melalui sebuah objek fotografi. Setiap jepretan fotografi tak lain merupakan tangkapan terhadap objek yang berada di luar “aku”. Sudut pandang “aku” terhadap objek adalah sebuah konstruksi terhadap realitas.
 
“Negeri di atas awan” adalah sebuah konstruksi tentang Tengger B 29, juga “bukit teletubbies”, pun “pasir berbisik”, dan “savana”. Dari puncak B 29 kita bisa melihat barisan pegunungan Mahameru dengan puncaknya Semeru dan kaldera lautan pasir Bromo dengan awan tebal yang bergerak berarak, juga bukit teletubbies. Tak jelas, dari mana sebutan “Negeri di atas awan” berasal. Kosa kata Tengger tak mengenali itu. Dataran tinggi Dieng Wonosobo, Penanggungan di Mojokerto, Cikuray di Garut, juga memiliki sebutan yang sama.  Salah satu lagu Katon Bagaskara juga berjudul “Negeri di Awan”. Dalam dunia lalu-lalang tanda, kita tak perlu mencari asal-usul. Kita hanya memerlukan ciri pembeda. Namun yang pasti,  “negeri di atas awan” lahir dari dunia fotografi. 
 
Orang Tengger tak melihat fenomena Bromo dan sekitarnya sebagai sebuah destinasi wisata: objek fotografi. Sekelompok manusia yang datang ke kawasan Bromo dan Semeru ratusan tahun yang lalu, yang kemudian mengklaim diri keturunan Joko Seger dan Roro Anteng –dari dua nama ini kata “Tengger” berasal- tidak untuk sebuah pleasure , melainkan sebuah pelarian politik -mereka yang tersingkir dari Majapahit seiring runtuhnya kerajaan Hindu-Budha itu pada abad XVI. Mereka tinggal dan menetap di sana, dalam ruang isolatif (enclave) dengan membangun sebuah konstruk teologis bahwa di puncak Bromo itulah bersemayam Dewa Brahma. Bromo bahkan lahir dari sebuah konstruk politik keagamaan, sebagai kawasan yang disucikan. Bagi orang Tengger, B29 adalah sebuah puncak, di mana mereka bisa menatap Bromo dan Semeru di kejauhan, tempat persemayaman Sang Dewa. Di situ berdiri Tri Padma Mandala, di titik puncak keheningan, jarak terdekat dengan kaki langit. Ia disakralkan, disucikan -tempat ritual dan doa-doa dipanjatkan.
 
Namun, wong ngare datang dengan menenteng kamera. Mereka memotretnya, gunung dan awan itu, dan menempatkannya dalam framing tertentu.  Foto-foto Tengger menampilkan citra tertentu yang disematkan: eksotisme. B 29 telah menjadi objek wisata, menyusul kawah Bromo, teletubbies, pasir berbisik. B 29 bukan lagi puncak keheningan. Ia tak lagi sakral. Kini, ia menjadi salah satu tempat paling berisik di kawasan Tengger.
 
Pun, karakter masyarakat Tengger berubah. Kegelisahan seorang petani Tengger Tosari pada tahun 1985, sebagaimana dikutip Hefner, menjadi kenyataan di Tengger Argosari kini:
“Zaman sekarang tidak seperti dulu. Dahulu, orang-orang di sini berbeda dengan orang-orang dataran rendah. Mereka tidak tertarik untuk mengenakan pakaian bagus yang menarik perhatian mereka sendiri, atau makan makaman tertentu seperti yang dapat Anda lihat sekarang. Sekalipun ada orang yang berlebihan dan ada yang kekurangan, tetapi pakaian dan makanan mereka sama saja. Di musim panen semua orang bekerja bersama-sama di sawah. Tidak ada orang yang malu mempunyai tangan yang kasar atau kaki kotor. Sekarang lain. Mereka yang kaya maunya memerintah dan menjaga agar tangan dan kakinya bersih dari lumpur. Mereka mengingat-ingat apa saja yang pernah mereka berikan pada orang lain dan apa saja yang mereka terima. Persis seperti orang-orang di dataran rendah. Segala sesuatu diperhitungkan dan dimiliki”. (Robert W. Hefner, 1999)
 
Si Karmin berbisik kepada saya: “hancurnya ekosistem budaya seringkali bermula dari fotografi.”


Penulis: M. Ardiansyah

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama