Beberapa hari
sebelumnya Bisri Effendy mengabarkan akan ada perhelatan tradisi Tumpeng Sewu
di Kemiren, Banyuwangi. Pada hari yang ditentukan (4/7/19), subuh,
kami berangkat dari Jember. Sarapan pecel di Garahan, setengah sepuluh pagi
tiba di Kemiren. Kami tidak langsung ke Kang Pur, melainkan ke pasar jajanan,
ngopi dan makan kucur di warung Mbok Untung. Lalu gesah dengan Kang
Takim, suami Mbok Untung, seputar ritual bersih desa di Kemiren. Ada dua ritual
bersih desa, kata Kang Takim, tiap tahunnya: barikan di malam tanggal 15 bulan
Sapar dan tumpengan di awal bulan Dzulhijjah. Menu sajian untuk barikan
dibedakan menurut arah rumah. Jika rumah menghadap ke utara, menu selamatan
berupa pisang goreng dan kucur. Jika rumah menghadap ke barat harus ada pecel
pitik sebagai menu utama. Jika menghadap ke timur, tumpeng serakat
(hanya berupa sayur-sayuran), untuk yang menghadap ke selatan menyuguhkan
jajanan sumping dan bugis.
Di bulan Dzulhijjah,
ritual tumpengan dulunya berupa makan bersama di depan rumah warga di tiap-tiap
lingkungan. Tak ada saling tukar tumpeng, setiap keluarga harus menyantap
tumpeng yang dibuatnya sendiri, tak boleh ikut makan tumpeng tetangga. Tak boleh
saling berebut. Tumpengan dilaksanakan malam hari, selepas maghrib. Seluruh
lampu rumah dimatikan dan hanya diterangi lampu obor, dengan ritual tertentu.
Namun, sejak dikemas
menjadi festival Tumpeng Sewu, ritual ini dipusatkan di sepanjang jalan utama
desa. Awalnya, lampu rumah di seluruh kampung dimatikan. Namun, karena
pertimbangan keamaan, lampu-lampu tetap dinyalakan, hanya saja obor tetap
dinyalakan di sepanjang jalan. Dan, kini, tumpengan tidak hanya untuk keluarga
sendiri, tetapi juga menyediakan bagi kerabat atau pengunjung dari luar desa.
Untuk ritual tumpeng sewu, dari sekitar 1700 KK di Kemiren, maka dibutuhkan
ribuan ayam kampung sebagai sajian utama tumpeng: pecel pitik. Jumlah ayam
untuk tumpeng juga disesuikan dengan jumlah keluarga, kerabat, atau teman dari
uar desa yang ingin berpartisipasi. Dulu, sebagian besar kelapa yang digunakan
sebagai bumbu pecelnya -krawu- menggunakan kelapa hijau. Konon, dari segi rasa,
kelapa hijau lebih nikmat ketimbang kelapa biasa.
Menjelang duhur kami menuju
rumah Rumah Budaya Osing. Kang Pur menemani gesah, dari yang santai
hingga yang serius. Ia mengungkap keresahannya tentang campur tangan pemerintah
terkait pelestarian budaya, khususnya di Kemiren. Keresahan Kang Pur boleh jadi
tidak mewakili pelaku budaya Osing secara keseluruhan. Osing dan kebudayaannya
tak pernah tunggal, dan karenanya tak bisa direpesentasikan oleh seorang Kang
Pur semata. Bahkan, sejauh amatan Bisri Effendy, peneliti kebudayaan yang cukup
intim dengan tradisi masyarakat Osing, tiap-tiap desa di kawasan berbahasa
Osing memiliki garis batas magis –bahkan dengan keunikan ritusnya
masing-masing- yang berpusat pada sosok sang “buyut”. Di Kemiren, spiritualitas
ritus desa berpusat pada Buyut Cili. Namun, apa yang diungkap Kang Pur menyiratkan
ada problem serius terkait upaya pelestarian tradisi Osing.
Sebagai pelaku budaya,
dalam banyak hal, Kang Pur sering berseberangan dan, dengan caranya sendiri,
melawan konsep pelestarian budaya versi kaum birokrat. Perlawanan khas Kang
Pur, tentu saja. Banyak cerita –dikemas dalam anekdot dengan bahasa satir, bahkan
sarkasme- tentang siasat, negosiasi, dan perlawanan terbuka terhadap berbagai
konsep pelestarian budaya versi pemerintah. Dia tidak anti komodifikasi,
sebenarnya, juga tak sepenuhnya menolak festivalisasi budaya Osing. Tapi, yang
disesalkannya, para pemangku kebijakan tak cukup memahami roh kebudayaan, seni tradisi.
Dalam mengelola satu ritual –yang dikomodifikasi untuk pariwisata, misalnya-
pemerintah hanya menghitung jumlah pengunjung, bukan partispasi masyarakat dalam
ritual tersebut. Mereka bicara soal materi, bukan tentang roh kebudayaan.
Kang Pur juga kerap menyoal
berbagai upaya konseptualisasi budaya Osing –betapa kebudayaan dibicarakan di
kantor-kantor dinas, bukan di desa-desa, di masyarakat. Tak hanya kantor-kantor
dinas, masyarakat pelaku “industri pariwisata” lokal pun gagal menumbuhkan
konsep pariwisata yang tak meninggalkan tradisi dan melibatkan sebanyak mungkin
partisipasi warga. Pernah ada ide, katanya, supaya ritual tahunan Tumpeng Sewu
lebih meriah dan bisa menarik banyak pengunjung, membuat tumpeng besar dan
diarak, kemudian menjadi rebutan masyarakat yang hadir, seperti ritual grebek
di Yogyakarta atau Surakarta. Ide itu ia tolak mentah-mentah: “malu, jika kami
harus berebut tumpeng. Juga bagi pembawa tumpeng, malu jika harus menjadi
tontonan, karena ini ritual. Hidup kami berkecukupan, dari hasil bumi. Kenapa
harus berebut?” ujarnya.
Contoh lain paradoks
konseptualisasi budaya versi pemerintah di Kemiren, kata Kang Pur, adalah
Festival Ngopi Sepuluh Ewu. Desa ini, kata Kang Pur, tak memiliki tradisi ngopi
bersama, bahkan Kemiren bukan penghasil kopi. Bagaimana mungkin desa yang tak memiliki
tanaman kopi ini menjadi penyelenggara Festival Ngopi Sepuluh Ewu? Karena itu,
hampir pada setiap perhelatan Festival Ngopi, Kang Pur tak ada di rumah, keluar
pergi entah kemana. Dia menolak tunduk, alih-alih melibatkan diri dalam gawe
massal tahunan itu.
Menjelang asar Kang Hasan
Basri datang. Materi gesah pun
bergeser ke soal pertanian, keresahan berkenaan semakin tingginya
ketergantungan petani terhadap pupuk kimia dan bibit pabrikan. Yang pasti,
semua itu mengancam kelestarian ekologi pertanian. Padahal, berbagai ragam
ritual Osing sangat bergantung pada kelestarian ekologi dan keanekaragaman
hayati. Pasar jajanan dan makanan tradisional di Kemiren, Boyolangu, Olesari,
dan desa-desa lainnya bertumpu pada hasil pertanian di Bumi Blambangan.
Berbagai jenis jajanan dan makanan tradisional Osing merefleksikan kelestarian
alam dan keanekaragaman hayati di sana. Dari bahan bakar kayu untuk memasak
hingga bahan baku makanan, semuanya merupakan hasil bumi masyarakat Osing. Tak
mungkin para perempuan desa bisa membuat pecel pitik -ayam bakar tidak dengan
cara dipanggang di atas api, melainkan didekatkan dengan bara api di tepi
tungku sehingga butuh waktu berjam-jam lamanya- dan berbagai jenis makanan dan
jajanan jika tak punya waktu luang berlama-lama di dapur, di depan tungku. Waktu
luang itu milik orang-orang di desa, dalam ekologi pertanian. Orang-orang
Kemiren sejauh ini cukup berdaulat dalam hal pangan –dari makanan pokok hingga
jajanan.Di sini, jarang dijumpai sampah-sampah plastik di dapur rumah warga.
Mereka juga meminimalisir mengonsumsi air minum kemasan. Cukup air putih dari
kendi dari tanah liat, rasanya pun lebih segar dibandingkan air kemasan.
Bahkan, untuk pemanis makanan, mereka lebih suka menggunakan gula aren
ketimbang gula pasir. Kelestarian lingkungan, karenanya, identik dengan
keletarian seni tradisi dan ritual masyarakat Osing.
Petang menjelang. Kang
Pur mengemasi kasur yang dijemur seharian sebagai bagian dari ritual Tumpeng
Sewu: mepe kasur. Kami berjalan-jalan di sepanjang RBO- Kemangi. Bisri
Effendy mengamati hiruk pikuk lalu-lalang orang tanpa ekspresi. Saya mengira
dia tak cukup menikmati keadaan. Sudah sejak pertengahan ’90an Bisri Effendy
mengakrabi tradisi dan budaya Osing. Kehadirannya di acara Tumpeng Sewu sebagai
amatan terhadap gerak kebudayaan Banyuwangi. Seperti kisah Geertz, Hefner,
Woodward, dan lain-lain yang “mewajibkan diri” merekam dinamika komunitas yang
pernah ditelitinya.
Menjelang magrib,
tikar-tikar digelar di sepanjang jalan, di depan tiap-tiap rumah warga. Tiap
rumah tak menggelar hanya satu tikar, bisa dua, tiga, atau lebih tergantung
siapa saja kerabat atau teman yang diundang dari luar desa. Kang Pur sendiri
menyiapkan lebih dari delapan tikar. Tumpeng dan sajian pelengkap lainnya
dihidangkan, di tiap-tiap. Orang hilir-mudik dari dapur ke jalan. Obor pun di
pasang berjajar. Ritual Tumpeng Sewu akan dimulai selepas magrib.
Kami duduk di atas tikar,
di halaman depan rumah Kang Pur, sambil menunggu ritual dimulai. Anas dari
pegiat Mocoan Lontar Yusuf Milenial datang bergabung. Gesah pun
berlanjut, dengan topik seputar pernaskahan. Beberapa waktu sebeumnya, Komunitas
Mocoan Lontar Yusuf Milenial, Komunitas Pegon, dan Universitas PGRI Banyuwangi
menginisiasi seminar pernaskahan dengan menghadirkan Dick Van Der Meij. Tak
hanya seminar, tapi juga digitalisasi naskah-naskah Banyuwangi oleh tim PPIM
UIN Jakarta atas sponsor Digital Repository of Endangered and Affected
Manuscript in Southeast Asia (Dreamsea). Dua puluh dua naskah kuno yang
didigitalisasi, sebagian berupa catatan milik Kyai Saleh Lateng yang
pesantrennya pernah ketempatan Muktamar NU ke IX pada 1934. Sisanya beberapa
lontar Yusuf, Lontar Ahmad, dan naskah Ahmad Kiamat, dan naskah dari komunitas
mamacah di Songgon, komunitas Madura. Tak semua naskah Lontar Yusuf yang
beredar di masyarakat terdigitalisasi. Anas menemukan keragaman pembacaan
Lontar Yusuf khususnya di Kemiren, pembacaan yang di masyarakat populer dengan
istilah mocoan. Ritual mocoan di Kemiren masih hidup di segelintir kaum tua,
namun mulai berkembang lagi melalui proses pewarisan ke generasi muda dengan
membentuk komunitas Mocoan Lontar Yusuf milenial.
Saat langit benar-benar gelap, sekitaran isya’, iring-iringan Barong bergerak dari arah utara. Seorang lelaki yang berjalan mendahului Barong, dengan menggenggam obor, menghidupkan obor-obor di sepanjang jalan yang dilalui. Iring-irirngan itu terus bergerak ke selatan dan berakhir di Balai Desa. Di arah selatan, dari balai desa, terdengar suara pemandu acara yang dari tempat kami duduk tak terdengar jelas. Setelah barong melewati kami, tak begitu jelas apa acara berikutnya. Di tikar di sisi utara kami, tikar yang diduduki oleh satu keluarga warga asli Kemiren, tumpeng dibagi-bagikan di antara mereka. Yang lain masih belum menyentuh tumpeng. Tapi tak lama kemudian, satu persatu, tanpa komando, tumpeng pecel pitik mulai disantap. Kami pun ikut menyantapnya. Usai makan, kami masih bertahan di atas tikar. Orang-orang mulai bergerak, lalu lalang, dan sebagian pulang.
Tak jelas, kapan saat
orang boleh menikmati sajian tumpeng sewu. Dari sejak petang tadi, yang
berlangsung adalah menggelar tikar, menghidangkan tumpeng -bukan berbentuk
tumpeng, sebenarnya, melainkan nasi di wakul dengan pecel pitik di suwir-suwir
di tempat yang terpisah dengan nasi- menunggu barong, lalu tanpa aba-aba
menyantap sajian tumpeng. Tak pula jelas, kapan ritual berakhir. “Ini sudah
bukan lagi peristiwa kebudayaan, tapi peristiwa makan bersama. Sudah tak ada
lagi ritus,” kata Pak Bisri, tiba-tiba. Penat, kami pun beranjak menuju RBO.
Tak lama lalu kami
pamitan. Pak Suhalik datang, saat kami berkemas pulang. Wiwin, Anas, Kang Pur,
dan beberapa lainnya menembang, membaca Lontar Yusuf di sanggar RBO. Kami
pulang. Di kepala, terbit pertanyaan: “Di mana kebudayaan?”
Penulis: M. Ardiansyah
Posting Komentar