Siang itu, akhir November 2018, Eli Suwardaningsih sedianya hanya kami minta menyertai menemui Wahono Elman, adiknya. Eli dan Wahono adalah kakak beradik anak Endro Wilis –dari tujuh bersaudara, yang tetap tinggal di tanah kelahirannya, kota yang berjuluk The Sunrise of Java. Untuk menggali sejarah hidup Endro Wilis, terutama sebagian lagu-lagu karangannya yang dicap bersimpati pada ideologi kiri, Wahono adalah pilihan paling tepat. Demikian saran Suhalik.
Suhalik tak ingin sendirian bertemu Wahono, dia minta Eli untuk mengantarkannya. Jam dua siang kami sudah tiba di rumah Suhalik. Selang lima belas menit kemudian Eli datang. Rumahnya hanya beda blok di perumahan yang sama dengan Suhalik. Rambutnya memutih, dicukur sangat pendek. Eli langsung menyapa dan menyalami kami. Sengaja datang lebih awal, katanya, karena ia pun ingin berbagi cerita tentang sang bapak: Endro Wilis. “Saya lebih tahu kehidupan bapak karena saya anak tertua dan ikut mengalami masa-masa sulit ketika bapak dipenjarakan,” akunya setelah kami saling memperkenalkan diri.
Dia pun berkisah. Nada bicaranya meledak-ledak, ekspresif, emosional -seolah ingin memuntahkan seluruh ingatan tentang bapaknya, juga penderitaannya, sebagai anak tertua yang, bersama sang ibu, harus mengurus adik-adiknya ketika bapaknya dipenjarakan rezim Orde Baru selama sembilan tahun (1969-1978).
“Bapak seorang TNI, Busairi namanya. Tahun 1966 mendapat bintang gerilya dari Sukarno. Ia pernah bertugas di Sumatera, Sulawesi, dan terakhir di Kalimantan. Sepulang dari Kalimantan inilah bapak difitnah oleh saudaranya sendiri, akibat konflik keluarga. Bapak dituduh eks, padahal bapak tidak berpolitik. Awalnya, ada radiogram dari Kodim Lumajang yang mengatakan Peltu Busairi, nama asli Endro Wilis, akan diperpanjang masa dinasnya. Kami gembira mendengarnya. Waktu itu saya masih SMP kelas tiga. Saya antar bapak ke terminal Banyuwangi. Bapak hendak ke Lumajang, memakai seragam dinas, lengkap dengan pistol dipinggangnya. Namun, bapak tak kembali lagi. Setelah beberapa hari, ibu hendak menjenguknya, namun tidak diperbolehkan. Malah, kami mendapat kabar bapak dijebloskan ke Lowokwaru Malang. Itu terjadi pada tahun 1969.”
Sembari bercerita, Eli menunjukkan berkas-berkas kedinasan sang bapak, seakan mentaukidi setiap episode narasinya. Dia menolak stigma kebanyakan orang ke bapaknya: bapak saya tidak berpolitik! Hingga akhir hayatnya, tak ada surat pemecatan terhadap bapaknya dari kedinasan. Ia malah balik bertanya: “Kemana gaji bapak selama ini? Entah apa salah bapak saya. Dia bukan koruptor, penjahat, atau pembunuh, kecuali mungkin tentara kolonial Belanda. Bapak dituduh eks: tanpa bukti, tanpa pengadilan, tanpa surat pemecatan, tanpa pemberian gaji, tanpa pensiun.”
“Ekonomi keluarga kami ambruk. Tapi semua ada hikmahnya. Ibu saya yang dari keluarga ningrat, yang sebelumnya hanya beraktivitas di dalam rumah, sejak bapak dipenjarakan, demi hidup, harus berdagang beras melintas selat bali, menumpang kapal Ketapang-Gilimanuk. Saya sendiri kemudian memutuskan berhenti dari SPG yang baru saya masuki. Saya kerja menjahit buku pesanan teman-teman sekolah untuk bisa menjenguk bapak.
Pernah, suatu ketika, setelah saya punya uang, saya menjenguk bapak di Malang. Saya ajak adik saya yang paling bungsu, naik bis Adam (Banyuwangi-Malang). Saya duduk di belakang sopir. Di bangku sebelah, dua tentara memandangi saya. Mereka menanyakan kemana saya akan pergi. Ternyata, mereka berdinas di Lowokwaru. Kami hendak ke lokasi yang sama. Sebelum turun, salah seorang dari mereka memberikan sebungkus kripik ke saya: titip ini buat bapakmu. Entah apa maksudnya, yang jelas bapak berpesan kepada saya agar berhati-hati. Sampai sekarang, saya masih bertanya-tanya apa maksud dua tentara itu memberikan roti untuk bapak saya.”
“Di Lowokwaru, oleh petugas CPM, secara berkala ada pengumuman bahwa nama-nama yang disebutkan sudah dipindahkan ke Nusakambangan atau ke Pulau Buru. Saya, jika mendengar pengumuman itu, gelisah dan khawatir jika bapak saya menjadi salah satu dari daftar orang yang dibuang. Tapi untungnya tidak. Dan tidak sedikit yang menangis demi mendengar suaminya atau bapaknya telah dibuang ke Nusakambangan atau Buru. Namun, dengan kasar petugas menghardik: “Jangan menangis, di sini bukan tempatnya orang menangis!” Menjenguk pun, hanya dikasih kesempatan bertemu hanya beberapa menit. Tidak boleh ada koran masuk –bahkan untuk sekedar koran pembungkus. Di Lowokwaru, bapak membuat berbagai kerajinan untuk bertahan hidup.”
“Sekeluar dari penjara, tahun 1978, seminggu sekali bapak dikenai wajib lapor ke kodim Banyuwangi. Hidupnya diabdikan untuk gereja, juga menciptakan lagu-lagu. Kalau toh keluar mencari hiburan, sukanya mancing di laut. Itu dijalaninya selama puluhan tahun. Di tahun-tahun terakhir hidupnya, bapak sakit-sakitan. Pada tahun 2006, bapak meninggal setelah menjalani operasi hernia.”
“Bapak dulunya seorang muslim, lahir dari keluarga muslim Kejawen, dan saat kecil sekolah di lembaga milik Sarekat Islam. Beralih ke Kristen saat mendekam di Lowokwaru. Kami sekeluarga juga akhirnya pindah ke Kristen. Itu pun pilihan masing-masing, tidak ada yang memaksa. Usia dua puluh dua saya masuk Kristen. Itu sudah menjadi panggilan jiwa. Hanya adik saya yang nomor tiga yang Muhammadiyah.”
Entah apa yang Eli maksudkan dengan panggilan jiwa. Benarkah panggilan jiwa ataukah suatu keterpaksaan, saya tidak tahu. Tak mudah menyelami dimensi keimanan seseorang, memang. Namun, dari catatan sejarah, peralihan iman itu, terutama di kalangan muslim kejawen, terjadi terutama akibat dipaksa undang-undang Orde Baru yang mengharuskan setiap warga negara menganut salah satu dari lima agama yang diakui pemerintah, di mana Islam Kejawen tidak menjadi bagian darinya. Kenapa Kristen, tak pernah jelas benar.
“Bapak dan ibu saya menguasai bahasa Arab, Belanda, Inggris, Madura, Jawa dan Using. Bapak saya kutu buku, jarang keluar rumah dan lebih suka sendiri. Karenanya, bapak, setahu saya, tidak pernah terlibat dalam politik. Dalam kesendiriannya itulah bapak menciptakan lagu. Saya sendiri tidak pernah tahu kapan dan bagaimana proses kreatif bapak dalam menciptakan lagu. Hubungan saya dengan bapak dan ibu sangat terbatas. Orang tua saya, khususnya bapak, sangat keras. Bahkan, saat bapak tidur siang di kamar, hanya untuk melewati pintu kamarnya saja saya harus menjinjitkan kaki agar tidak membangunkannya. Bisa jadi bapak mewarisi darah seni dari kakeknya, Darji, pendiri kelompok tari Janger pertama di Banyuwangi. Istrinya, Sisik Melik, merupakan wanita tercantik di Tumenggungan, kampung batik di Banyuwangi.”
“Bapak mencipta banyak lagu, ratusan. Di antaranya Wulan Andung-andung. Saat itu saya kelas 1 SMP. Tahu-tahu, lagu bapak saya saat itu populer di Jepang, dinyanyikan oleh Emilia Contessa. Pada ’90-an, Wulan Andung-andung dipopulerkan lagi oleh Nini Karlina. Lagu-lagu bapak banyak yang bertemakan kritik sosial, dan memberi semangat rakyat untuk bergerak melakukan perubahan. Ada satu lagu yang saya ingat diciptakan bapak, berjudul ‘Tikus’. Lagu itu untuk mengkritik praktik korupsi di birokrasi pemerintahan saat itu. Tapi lagu itu belum sempat atau memang sengaja tidak masuk dapur rekaman. Beberapa lagu bapak yang saya ingat dan suka di antaranya Wulan Andung-andung, Selendang Sutro, Manuk Kepodang, Perawan Cungking, Lambe.”
“Saya anak pertama. Anak kedua perempuan, jadi guru, tinggal di Semarang. Adik nomor dua inilah yang paling akrab dan disayang bapak-ibu. Dia anak yang paling kaya. Suaminya berasal dari Nusa Penida Bali, seorang kontraktor yang memiliki beberapa CV dan kini tinggal Semarang. Dia masuk Golkar di jaman Suharto, setelah sebelumnya aktif di PNI. Ketiga, Harjoni jadi pendeta tinggal di Singojuruh. Keempat di Kupang wiraswasta. Kelima Wahono, wiraswasta. Keenam Nugroho, jadi pendeta, tinggal di Nganjuk. Dia telah wafat tertabrak bis Sumber Kencono. Yang ketujuh berprofesi sebagai guru, tinggal di Karangrejo. Saya lahir tahun 1952, bapak ibu saya menikah tahun 1951.“
Penuturan Eli terhenti saat Suhalik mengingatkan sudah waktunya menemui Wahono. Kami pun berangkat. Tiba di rumah Wahono, Eli memperkenalkan dan mengatakan bahwa kami ingin mendengar kisah sang bapak.
Wahono tinggal di kota, di pinggir jalan besar. Di rumah itu, Wahono berdagang peralatan elektronik, warung makan, dan studio musik MCB. Kisah sang bapak pun mengalir. Empat map besar berisi lembaran-lembaran lagu-lagu Endro Wilis ditunjukkannya. Ada empat ratus lebih judul lagu Endro Wilis, ditulis tangan, lirik dan partiturnya. Luar biasa, betapa seorang tentara mampu menulis lagu sebanyak itu, dan beberapa di antara menjadi hits. Lembaran-lembaran itu kini sudah mirip manuskrip. Saya mendigitalisasikannya.
Sore menjelang senja kami beranjak pulang. Namun, di batas sore itu, Eli dengan setengah memaksa mengajak kami menikmati suasana kota. Kami menuju Pantai Marina Boom, pantai bekas pelabuhan di kelurahan Kampung Mandar –kampung yang penduduknya dulunya berasal dari suku Mandar Sulawesi Barat- di pinggir kota Banyuwangi. Setiap tahunnya, pantai ini digunakan sebagai ajang Festival Gandrung Sewu, sebuah pertunjukkan drama dan tari kolosal yang melibatkan ribuan penari gandrung di hamparan pasir pantai.
Kami tiba saat senja. Pantai begitu sunyi. Angin berhembus cukup kencang. Kami berjalan menuju bibir pantai, ke arah tumpukan bebatuan besar penahan ombak. Langit mendung, matahari sembunyi di balik awan. Eli berdiri di bibir pantai, di atas bongkahan batu, di batas senja. Matanya menatap jauh ke lautan, ke perahu nelayan yang sedang berlabuh. Tak lama kami di sana, lalu pulang, saat senja berganti malam.
Dalam perjalanan pulang, Eli mengajak kami singgah sebentar melihat-lihat rumah Endro Wilis. Rumah itu terkunci, dan kuncinya dipegang Wahono, sebagai pewaris rumah sang bapak. Namun, dari jendela yang terbuka, kami bisa melihat-lihat beberapa bagian isi rumah. Selain foto Endro Wilis dan istrinya yang mengenakan pakaian adat Jawa, terpampang lukisan Sukarno berukuran besar di dinding. Persis di depannya, hanya tiga langkah dari pintu rumah Endro Wilis, sebuah langgar kecil tua berada. Langgar itu, konon, menjadi tempat beribadah keluarga besar Endro Wilis sebelum memutuskan beralih agama.
Ketika tiba kembali di rumah Suhalik, kami tak langsung pulang. Eli memaksa saya duduk sejenak, sekedar memijat punggung saya. Kebetulan suara saya serak, bahkan teramat lirih. “Itu penanda bahwa sampean sangat kelelahan,” kata Eli. Dia memang sering diminta jasanya untuk memijat. Sambil memijat, saya bertanya tentang suaminya. “Suami saya dulu pernah mengikuti pendidikan ketentaraan, namun tidak kuat dan kabur dari masa pendidikan. Mertua saya tentara, CPM. Kini, suami saya bekerja sebagai sopir, mengirim udang milik bosnya di Muncar ke berbagai kota di Jawa, bahkan terkadang ke luar Jawa. Satu kakinya pincang, akibat kecelakaan mobil,” tutur Eli menceritakan sosok suaminya yang hari itu kebetulan sedang mengirim udang ke luar kota.
Tak cukup hanya memijat, dia menyibukkan diri membuatkan saya ramuan jahe, madu dan kunir untuk diminum. Bahkan, saat kami pamit pulang, dia memberi kami oleh-oleh beberapa botol minyak 1001. Saya biasa menyebutnya minyak pak pung. Dia berharap kami berkunjung lagi ke rumahnya. Sungguh merupakan perjumpaan yang indah untuk dikenang.
Namun, itu yang pertama sekaligus yang terakhir kalinya saya bertemu Eli. Sering terbersit keinginan mengunjunginya lagi, sebenarnya. Namun, keinginan itu tak pernah terwujud. Hingga pada suatu sore, 10 Mei 2019, seorang kawan, Dwi Pranoto, mengabarkan Eli wafat. Sore itu juga kami berangkat ke kota pantai di Ujung Timur Pulau Jawa itu. Jam sembilan malam kami tiba di rumah duka, rumah Endro Wilis. Para kerabat dan handai taulan datang dan pergi. Kami bertemu Wahono dan Hari, suami Eli, bersalaman dan sekedar saling bertanya kabar, lalu menuju peti jenazah. Eli tampak cantik sekali malam itu, telentang di dalam peti kayu. Wajahnya kelihatan segar dan sumringah, dengan lipstik tipis di bibirnya.
Kami lalu keluar, duduk-duduk di pelataran rumah, bersandar ke dinding langgar Al-Munawwaroh. Rumah Endro Wilis memang persis bersebelahan dengan langgar, hanya berjarak tiga langkah. Sebuah nisan salib bercat putih bertengger di dinding langgar milik keluarga Endro Wilis itu. Sepupunyalah yang menjadi imam langgar. Endro Wilis, memang, dulunya seorang muslim hingga pasca enam lima dia beralih agama menjadi seorang Kristiani, juga anak-anaknya.
Kami bercakap dan banyak mendengar kesan Wahono tentang sosok adiknya, Eli. Selang beberapa waktu kemudian, hadir sosok pria berbadan tinggi dan tegap, berkulit putih, berpakaian necis. Dari Pranoto, saya tahu namanya: Slamet Gajah. Dan, obrolan malam itu, di lingkaran kami, didominasi cerita tutur Slamet Gajah. Dia berkisah tentang pembuangannya selama sekitar 11 tahun ke Pulau Buru, juga kisah persahabatannya dengan Endro Wilis hingga akhir hayatnya. Beda rasanya ketika membaca Nyanyi Sunyi Seorang Bisu karya Pram dengan mendengar kisah orang-orang yang dibuang di Pulau Buru langsung dari Slamet Gajah. Hingga sebelas malam, kami pamit pulang. Selamat jalan Mbak Eli, bersama pertanyaan yang tak terjawab, dan mungkin tak pernah terjawab.
Penulis: M. Ardiansyah
Posting Komentar