Usai penutupan Kongres Umat Islam II oleh
Komite Persiapan Penegakan Syariah Islam (KPPSI) Sulawesi Selatan di Bulukumba
tahun 2004 silam, bersama seorang kawan dari UGM, saya menghadiri diskusi
terbatas di hotel Delta Makassar, merespon Kongres yang baru saja digelar
selama tiga hari itu. Pesertanya beragam: akademisi, tokoh lintas agama, dan
aktivis NGO. Forum berlangsung mengalir, dinamis. Seorang laki-laki tua beralis
tebal duduk di posisi tengah, di meja yang berbentuk persegi panjang. Dia
memantik sekaligus mengatur jalannya diskusi. Di situlah kemudian saya tahu
namanya: Bisri Effendy (BE).
Bicaranya konstan, naratif, elaboratif. Meski
tak banyak gelak tawa, namun dia mampu membuat suasana menjadi rileks, tak ada
kesan menggurui, juga tak memotong pembicaraan. Setiap pendapat yang terlontar,
didengarkannya dengan seksama dan penuh perhatian. Nyaris semua yang hadir
berpartisipasi, urun pendapat dan respon soal KUI II. Saya duduk di luar
lingkaran, mengikutinya, menyimak, tak bicara.
Tiga tahun berlalu. Di kuartal pertama 2007, kami
bersua dalam kegiatan Workshop Penelitian Etnografi di STAIN Jember. BE fasilitatornya.
Sebagai orang baru yang belum begitu akrab dengan lingkungan kampus, saya cenderung
pasif, lebih banyak mendengar diskusi-diskusi, baik di dalam maupun di luar
forum. Tak mudah, saat itu, sekedar mengerti apa etnografi. Latar studi saya
filsafat, lebih akrab dengan buku-buku, dari teks ke teks. Penelitian lapangan
benar-benar asing, alih-alih antropologis. Melalui dua bahan bacaan yang
diberikan BE –Etnosains dan Etnometodologi: Sebuah Perbandingan tulisan
Heddy Shri Ahimsa Putra[i]
dan Alliance Romance tulisan Anna
Lowenhaupt Tsing[ii]-
saya berusaha menyelami etnografi kehidupan perempuan Dayak.
Tentu saja saya tak segera bisa memahami
diskursus ini. Kajian saya sejauh ini bergerak pada ranah pemikiran spekulatif.
Tapi saya pernah mencoba membawa teori-teori filsafat ke ranah empiris. Tahun
1999, saya mencoba menggunakan semiologi Roland Barthes, filsuf Prancis,
sebagai alat analisis ideologi iklan-iklan Marlboro. Lain waktu kembali lagi ke
ranah spekulatif, menyelami ‘pragmatik (semiotika) transendental’ Karl Otto
Apel, filsuf Jerman, dalam kaitannya dengan ‘teori tindakan komunikatif’
Habermas. Saya lebih terbiasa membaca teks-teks ‘mati’, dan kerap membacanya serampangan,
‘semau gue’, atas pemikiran kedua filsuf itu. Saya hanya butuh duduk
berjam-berjam, atau berhari-hari, di depan layar komputer.
Suatu ketika, dalam perjumpaan berikutnya, BE membawa
buku hasil riset Anna Tsing, antropolog perempuan Amerika, tentang masyarakat
Dayak di Pegunungan Meratus Kalimantan: Di Bawah Bayang-bayang Ratu Intan:
Proses Marjinalisasi pada Masyarakat Terasing.[iii]
Seolah ada pesan yang ingin beliau sampaikan: “bacalah ini, tentang marjinalitas
dan gender.” Isu marjinalitas memang menjadi salah satu perhatian utama BE, dan
itu dituangkannya, salah satunya, dalam sebuah tulisan pengantar diskusi mengenai
kasus-kasus marjinalisasi kelompok-kelompok minoritas di Indonesia (komunitas
Meratus, Kanekes, Tengger, Sedulur Sikep, Using, Sunda Wiwitan, Kajang, Bissu,
Bayan dan Budhe, dan lain-lain) dengan judul Marjinalitas, Marjinalisasi,
Kaum Marjinal.
Saya mulai tertarik dan berusaha menyelami
dunia pemikiran BE. Melalui diskusi-diskusi elaboratifnya, perlahan saya mulai
membuka diri terhadap cara pandangnya yang, bagi saya, tak cukup digemari,
bahkan cenderung dihindari, oleh kalangan akademisi: cara pandang kebudayaan.
Cara pandang ini diintrodusir dalam riset-risetnya. Selain soal cara pandang, dalam
beberapa diskusi mengenai orientasi penelitian ilmu sosial, misalnya, berulangkali
BE menyampaikan bahwa riset sosial mestinya diarahkan pada riset mikro. Sesungguhnya,
kata BE, hampir semua penelitian besar berangkat dari kasus mikro. Jika tidak
berangkat dari Calvin, Weber tidak bisa bicara soal kapitalisme. Levi Strauss
melakukan riset di pedalaman Brasil, Victor Turner tentang ritual orang Ndembu
di Zambia Afrika Tengah, Clifford Geertz juga melakukan penelitian di Pare Kediri
yang melahirkan buku yang kini telah menjadi klasik di bidang antropologi: Abangan,
Santri, Priyayi (Religion of Java). Penelitian Geertz lainnya di
antaranya Negara Teater,[iv]
yang merefleksikan riset mikro dalam konteks yang bersifat makro –tentang kontestasi
politik kebudayaan Jawa dan Bali.
Contoh penelitian makro mengenai Indonesia
ialah studi sejarah Dennys Lombart, Nusa Jawa Silang Budaya.[v]
Di Eropa sendiri buku ini kurang diminati. Itu karena studi Lombart, kata BE,
terlalu makro, lebih kaya imajinasi dan asumsi ketimbang dukungan data-data
mikro. Berbeda dengan Pierre Bourdieu, Michael Foucault dan Walter Benjamin
yang walaupun melakukan penelitian yang bersifat makro, tapi penelitian mereka
merupakan refleksi atas berbagai persolan yang bersifat mikro. Pengalaman/ pergulatan
individu mereka mendorong ruang refleksi kritis atas teori-teori besar.
Etnografi menawarkan seperangkat instrumen untuk
riset yang bersifat mikro –mengenali suatu komunitas dan dunia kehidupannya
secara intim dan mendalam- tidak hanya mengungkap simbolisme dan makna, tetapi
juga dunia imajinasi masyarakat. Konon, tiga perempat kehidupan nyata manusia
dibentuk oleh imajinasi. Dalam beberapa kesempatan, beliau kerap menyampaikan
contoh imajinasi warga yang tinggal di sepanjang Jalur Lintas Selatan (JLS) Pulau
Jawa: bahwa imajinasi orang-orang tentang proyek pembangunan Jalur Lintas
Selatan adalah mereka bisa turun dari bis tepat di depan rumah mereka. “Ya,
sesederhana itu mimpi orang-orang tentang Jalur Lintas Selatan. Sementara
imajinasi investor: mereka akan mendirikan hotel, pabrik, perusahaan
penambangan, mengeruk sumberdaya alam. Kenapa imajinasi masyarakat desa pendek?
Karena selama ini kita mengalami kolonisasi kesadaran, kolonisasi budaya,” ungkap
BE.
Di kuartal ketiga 2007, bersama beberapa kawan
dari Jember, saya menemui BE di sela kegiatan pelatihan Jurnalistik Perempuan
Multikultural berbasis Etnografi oleh Desantara di Kemiren, Banyuwangi. Kang
Pur, salah satu tokoh adat Kemiren, sebagai tuan rumah. Desa Kemiren kala itu
belum disibukkan oleh lalu lintas turisme. Dalam kunjungan sehari yang lebih
mirip plesir itu, saya sempat sekilas mendengar uraian Kirik Ertanto, lulusan
antropologi UGM, tentang relasi kuasa-pengetahuan filsuf pasca strukturalisme Michel
Foucault, juga kajian perempuan perspektif cultural
studies oleh Melani Budianta dari UI. Sayangnya, saya tak sempat mengikuti
diskusi tentang Mocoan Lontar Yusuf bersama Bernard Arps dari Universitas
Leiden, penulis Tembang in Two Traditions,[vi]
yang kebetulan juga sedang berkunjung ke Banyuwangi. Dari kegiatan selama satu
bulan penuh (2 Agustus - 1 September) itu terbit buku Etnografi Gandrung: Pertarungan Identitas -kumpulan tulisan hasil
riset peserta pelatihan yang, konon, BE sendiri yang melakukan proses editing.[vii]
Saya pulang dengan kegelisahan yang pekat.
Kesempatan riset lapangan amatlah langka, apalagi sambil mendiskusikan data
lapangan dan hampiran-hampiran teoritik bersama para mentor. Ingin sekali
bergabung dalam kegiatan itu. Namun, pesertanya terbatas, tak lebih dari dua belas
orang, dari berbagai wilayah Nusantara, dan itu melalui seleksi yang cukup
ketat.
Pilihan Kemiren sebagai lokasi riset pun bukan
tanpa dasar. Kemiren, dan juga desa-desa sekitar, merepresentasikan keragaman, multikultur,
sekaligus kekuatan tradisi yang menjadi roh bagi gerak kebudayaan Banyuwangi. Sekedar
deskripsi singkat, berikut saya kutipkan catatan Andrew Beatty mengenai ruang
kehidupan di desa Bayu (Kemiren):
“Di Banyuwangi pedesaan, perbedaan dibangun
dalam ruang yang sama, dan oleh karenanya dengan intensitas yang besar. Muslim
yang taat, ketika menggelar sajadah di depan umum, tahu benar tetangga dekatnya
yang duduk di depan pintu rumah tanpa menghiraukan panggilan shalat. Suatu
kelompok mistik yang berkumpul pada malam hari, berdiskusi dengan suara keras
tentang makna ini atau makna itu seolah-olah dirancang untuk mengganggu –meski
tidak berarti menyerang- penganut ortodok yang tinggal di sebelah rumah. Dan
pengunjung rumah ibadah pada bulan puasa yang dengan taat bolak-balik dari
rumah ke tempat ibadah sambil membawa sesajen, mengharapkan rahmat yang dicari
dan dosa yang dihindari.”[viii]
Memahami diversitas budaya bukan pekerjaan
mudah, malahan mungkin cenderung dihindari para peneliti. Hal itu menuntut
kemampuan tertentu, baik teoritis maupun praktis, dengan membangun empati dan keintiman
dan upaya yang tak mengenal lelah dalam melihat kompleksitas jalinan-jalinan
kehidupan sosial budaya. BE melakoninya, melakukan riset-riset kebudayaan, hingga
akhir hayatnya.
Riset di Kemiren itu memasuki ruang dialektika
budaya/ seni tradisi (desa) dan budaya/ seni pop (kota), dengan hampiran cultural studies. Di ruang inilah, dalam
amatan saya, diskursus “politik kebudayaan” BE menemukan lokusnya. Hanya
segelintir orang yang menaruh perhatian pada kebudayaan yang mau menyelami
secara seksama saling-silang dan irisan, misalnya, antara upacara-upacara
tradisi dan pelbagai bentuk komodifikasi budaya. Banyuwangi menjadi arena
kontestasi di antara keduanya. Karena itulah, mungkin, BE menjadikan Using
sebagai lokus kajian “politik kebudayaan”. Saya menyaksikan pergulatan BE
dengan kebudayaan Using, juga persahabatan intimnya dengan para tokoh adat dan
budayawan Using, menciptakan tidak saja suatu visi kebudayaan, melainkan lebih
dari itu, visi kemanusiaan. Perhatiannya tak hanya budaya dan seni tradisi,
tetapi juga isu-isu kemanusiaan di seputar ’65.
O, ya, kata “politik” oleh BE hampir selalu
disematkan dengan kata lain -membentuk sebuah frasa: politik kebudayaan,
politik ekologi, politik marjinalisasi, dan sebagainya. Tentu bukan tanpa
makna. Politik, kata Michel Faucault, bukan soal menang-kalah, tapi tentang
siapa dan apa yang menentukan aturan main. Mengutip Chris Barker, “semua bentuk
representasi kultural pada dasarnya bersifat “politis” mengingat mereka terikat
pada kekuasaan yang memampukan sejumlah pengetahuan dan identitas eksis
(diakui) sementara yang lain tidak (karena disangkal).”[ix]
Dengan “politik kebudayaan,” BE menempatkan kebudayaan sebagai sebuah proses
politik –arena kontestasi kuasa untuk menafsir, memberi makna, menerima suatu identitas
atau entitas kebudayaan, atau bahkan menyangkal entitas kebudayaan yang lain.
“Sebab itulah, identitas menjadi hal yang
rumit, tak pernah tunggal, dan goyah,” suatu ketika dalam sebuah perbincangan
di rumah kayu (joglo) milik BE di Langon, Jember. Identitas adalah culturally constructed. BE begitu menyebalkan bagi mereka yang terobsesi pada
pencarian kebenaran kanonik. Alih-alih mempertanyakan hubungan antara benda dan
hal, beliau lebih tertarik melihat bagaimana sebuah wacana dikonstruksi dan
tampil sebagai kebenaran. Itu yang saya cerna saat membincang fatwa MUI
Banyuwangi terkait pelarangan ritual endogan-endogan di Macan Putih Banyuwangi,
juga tentang keharusan penari gandrung memakai sarung tangan dan kaos kaki di
Festival Gandrung Sewu. BE -dalam nafas Foucaultian- melihatnya sebagai
sebentuk praktik diskursif, tentang pelbagai pengujaran yang mengungkapkan
pembenaran atau penyangkalan, bagaimana satu hal dapat diterima dan satu hal
lain tidak. BE memilih memasuki ranah pikir yang njelimet, cendekia,
ketimbang ranah pikir linear, dangkal.
Di tahun-tahun berikutnya, beberapa kali BE hadir
sebagai penelaah di forum seminar penelitian. Pernah juga bersama Anas Saidi,
sejawatnya di LIPI. Di luar forum, dalam lingkaran kecil, saya memanfaatkan
kehadirannya untuk sharing seputar
penelitian. Di forum-forum informal ini lalu beliau mengenali saya, paling
tidak sekedar menyebut nama. Namun begitu, saya sendiri belum mampu menyerap
dan menyelami secara baik pikiran-pikiran BE.
Interaksi saya dengan BE sempat terputus
seiring pergantian pucuk pimpinan di lembaga penelitian. Jika sebelumnya BE
kerap dihadirkan sebagai penelaah, kini tidak lagi. Pada tahun 2010, untuk awal
kalinya saya terlibat dalam kegiatan workshop Participatory Action Research di STAIN Jember, difasilitasi oleh
Rahadi dari LPTP Solo. Sesekali saya nimbrung dalam diskusi dan perdebatan soal
riset dan gerakan sosial. Entah kenapa kemudian saya tertarik pada dunia
gerakan sosial, sebagaimana saya lebih suka ekologi pemikiran Mazhab Frankfurt
ketimbang ekologi pemikiran filsafat Prancis kontemporer. Mengubah keadaan
sosial yang timpang lebih penting ketimbang merajut “makna” dalam kehidupan
sosial, begitu kira-kira. Karenanya,
saya memilih ke lapangan, bukan untuk kerja riset-riset etnografi, melainkan
kerja-kerja pengorganisasian, lebih ke ranah gerakan sosial ketimbang gerakan
kebudayaan. Untuk sekian waktu lamanya saya absen dari wacana kebudayaan,
bahkan saya hampir tak lagi bersentuhan dengan buku-buku. Hari-hari saya selanjutnya
lebih banyak bersama orang-orang di desa, ngobrolin persoalan di desa, dan
menjalankan kegiatan-kegiatan berskala kecil dengan mereka.
Pada tahun 2012, saat saya mengikuti Short Course Filologi di Jakarta, suatu ketika
saya menghubungi BE lewat telpon. Dengan hangat BE menawarkan saya main ke rumahnya
di Depok. Pada hari yang telah disepakati, saya berkunjung ke rumahnya.
Seharian kami ngobrol di beranda, beragam hal yang dibicarakan, termasuk filologi.
Beliau menyinggung tradisi kajian filologi Indonesia yang belum beranjak dari tradisi
filologi kolonial -tradisi kajian naskah yang sibuk dengan pelbagai perangkat
teknis-metodologis– dari kodikologi hingga paleografi- untuk menemukan teks
yang asli, yang autoritatif, yang murni. Sebagian kalangan filolog kita belum
terbebaskan dari konstruksi filologi Belanda yang berkembang sejak abad 19 -
terutama oleh pengaruh kuat kitab babon sastra Jawa karya Theodoore Gautier
Thomas Pigeaud: Literature of Java-
dalam pembacaan mereka, ambil contoh, terhadap relasi Islam dan Jawa.
“Filologi sudah seharusnya keluar dari frame
kolonial”, kata BE. Ada satu buku yang diberikan ke saya sebagai oleh-oleh,
karya G.L. Koster, Mengembara Di
Taman-taman Yang Menggoda: Pembacaan Naratif Melayu.[x]
Beliau juga menyarankan saya membaca buku karya Nancy K. Florida, Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang,[xi]
buku yang ditentengnya sendiri ke Jember. Untuk buku yang terakhir, ia
mendekonstruksi asumsi filolog kolonial tentang hubungan sastra Jawa dan Islam,
terutama Pigeaud, yang mengajukan tesis tentang “tercemarnya” sastra Jawa oleh
hadirnya sastra Islam –sastra pesisir, sastra pinggiran. Selain buku-buku
tersebut, kebetulan saya juga pernah membaca artikel BE di majalah Gatra
tentang sastra Melayu –saya lupa judulnya- yang menawarkan pembacaan kritis
(berbeda) atas Raja Ali Haji dan Gurindam Dua Belas, seorang pujangga Melayu
abad 19.
Setelah tiga bulan belajar filologi, dalam
perjalanan menuju Jember, saya singgah di Cigugur, Kuningan, selama tiga hari hadir
di kegiatan refleksi menjelang satu dasawarsa perjalanan riset transformatif di
lingkungan PTKI. Kebetulan di sana juga sedang berlangsung Short Course Participatory Action
Research oleh Diktis Kemenag RI bekerja sama dengan ISIF Cirebon. Saya bertemu
beberapa aktivis gerakan sosial, di antaranya Mahmudi, Roem Topatimasang, Noer
Fauzi Rahman, dan Dawam Rahardjo. Melalui mereka, ketertarikan saya pada
gerakan sosial menguat. Terngiang kegelisahan Karl Marx: “Para filsuf hanya
memberi interpretasi berbeda kepada dunia, yang penting adalah mengubahnya.”
Juga sebait puisi Rendra dalam Sajak
Sebatang Lisong: “Diktat-diktat hanya boleh memberi metode, tetapi kita
sendiri mesti merumuskan keadaan. Kita mesti keluar ke jalan raya, keluar ke
desa-desa, mencatat sendiri semua gejala, dan menghayati persoalan yang
nyata.”
Selang beberapa bulan kemudian, di tahun 2013, saya
diperkenalkan dengan Kang Hasan Basri, budayawan Using, yang bersama Kang Pur mengelola
Rumah Budaya Osing (RBO) di Desa Adat Kemiren Banyuwangi. Saat itu Kang Hasan
sedang menulis tesis yang menggunakan naskah Lontar Yusuf sebagai basis
kajiannya. Saya yang masih mentah soal filologi, tak bisa berbuat banyak ketika
Kang Hasan mengajak saya berbagi pengetahuan tentang metode filologi sebagai
instrumen penelitiannya.
Masih di tahun 2013, saya dan sejumlah teman
menginisiasi kegiatan riset dengan menghadirkan BE sebagai pendamping. Saya
berinteraksi kembali dengan BE setelah sekian lama terhenti. PDP Ketajek, Desa
Pakis, Kecamatan Panti Jember kami pilih sebagai lokasi riset. Kawasan
penghasil kopi di kaki gunung Argopuro ini punya kisah kelam, dan menjadi salah
satu basis konflik agraria di Jember. Seorang warga meninggal oleh terjangan peluru aparat, ratusan lainnya luka-luka ketika
warga bentrok fisik dengan pihak PDP bersama aparat Polres Jember pada 1999.
Konflik Ketajek sudah lama berlangsung, bermula ketika pada 1972, Bupati Jember
Abdul Hadi yang sekaligus merangkap komisaris Perusahaan Daerah Perkebunan
(PDP) Jember mengambil alih Kebun Ketajek I dan II yang telah digarap warga
Ketajek sejak tahun 1950-an, dan oleh pemerintah telah didistribusikan kepada
warga melalui kebijakan land reform
pada tahun 1964.
Ada sedikit cerita tentang pelatihan ini. Ijin kegiatan
penelitian dari PDP (Perusahaan Daerah Perkebunan) ditolak. Kami tidak
menyerah. Atas restu informal salah satu tokoh setempat, kegiatan akhirnya
tetap dilaksanakan di sana. Oleh karena tak bisa menempati kantor PDP, kami
membuat tenda darurat di pelataran rumah dari terpal milik warga yang biasa
digunakan menjemur kopi saat musim panen. Selama sepekan BE menjadi pendamping.
Beliau tidur di kursi salah satu rumah warga yang berlantai tanah. Peserta
sebagian tidur di tenda, lainnya di masjid. Memang, semua rumah warga di sana
berlantai tanah. Kecuali kantor dan rumah sinder kebun, tak satupun rumah warga
yang memiliki MCK, sehingga kami berbaur dengan warga mandi dan buang hajat di
sungai yang terbuka. Energi listrik menggunakan kincir air yang dipasang di
sungai. Untuk menambah daya, terutama untuk penggunaan lampu di malam hari dan proyektor,
kami menggunakan genset ukuran kecil milik salah satu warga. Suara genset
menjadi backsound dalam
diskusi-diskusi selama kegiatan berlangsung.
“Apa kesan anda saat pertama kali datang ke
sini? Bisakah anda menangkap simbol-simbol yang ada? Tadi misalnya, dalam
pertemuan perkenalan dengan warga, sambutan ketua RT –setelah mengucap salam-
tidak dimulai dengan alhamdulillah….,
tapi langsung assholatu wassalamu…. Bisakah
ini ditangkap sebagai gejala simbolik? Juga ketika Pak RT minta tandatangan
dari semua peserta sebagai laporan ke pihak perkebunan, bisakah kita menangkap
sebuah kontrol kekuasaan yang sedang bekerja di sini? Bisakah kita menangkap makna
di balik tata ruang pemukiman di perkebunan ini: kenapa rumah sinder terletak
paling tinggi? Sebagai peneliti, kita harus peka terhadap simbol-simbol, pada
pola relasi kuasa di sini” kata BE membuka sesi diskusi.
Tak sedikit konsep dan teori yang kami
diskusikan selama di Ketajek. Melalui BE, di antaranya, kami mengenal konsep enclave sebagai perspektif tentang komunitas
Ketajek. Betapa problematis dan dilematisnya kehidupan warga Ketajek dengan
status enclave. Kami juga belajar
tentang perspektif politik ruang untuk melihat mekanisme kontrol kekuasaan atas
warga melalui konsep panoptikon, konsep yang diadopsi Michel Foucault dari
Jeremy Bentham. Dengan menempatkan rumah sinder di dataran yang paling tinggi,
dengan atau tanpa keberadaan sinder pun di dalamnya, seluruh warga merasa
terawasi gerak-geriknya. Dengan begitu, kontrol kekuasaan di perkebunan bisa
berjalan efektif.
Di hari ketiga, di tengah diskusi, tiba-tiba
datang seorang laki-laki paruh baya. Dia memasuki tenda dan mengikuti jalannya
diskusi. Tak lama kemudian dia minta waktu untuk bicara. BE mengiyakan. Dia memperkenalkan
diri: Saleh, warga sebuah desa di pulau Maluku yang kebetulan sedang pulang kampung
menjenguk ibunya yang renta. Sudah seminggu dia di Ketajek, dan sore itu juga
dia akan kembali pulang ke Maluku. Dia lalu berkisah tentang peristiwa yang
terjadi puluhan tahun silam, tepatnya 1973, ketika seluruh warga Ketajek
dikumpulkan di Gudang Tengah oleh pejabat PDP, diajak makan-makan, lalu dikasih
amplop dan diminta membubuhkan cap jempol. Ingatannya masih sangat baik, mengisahkan
bagaimana pada tahun itu dia terusir, lalu memutuskan untuk transmigrasi ke
Maluku, sementara ibunya yang sudah tua tetap tinggal di Ketajek, bekerja
sebagai buruh perkebunan kopi milik PDP. Cukup panjang dia berkisah, dengan
linangan air mata. Kami mendengarnya penuh hikmat, larut dalam semacam elegi.
Malam setelah penutupan kegiatan pada siang
harinya, kami menuju kota Probolinggo, sekedar ingin menikmati ramuan beras
kencur. Hingga pagi kami berbincang, dan lebih banyak mendengar refleksi pengalaman
penelitian BE ke pelbagai pelosok Nusantara. Saat membincang Ketajek dan
menghadirkan kembali cerita Pak Saleh, saya mengajukan pertanyaan: “Pak, apa
akhir dari sebuah penelitian?” BE terdiam
sejenak, tak segera menjawab. Tapi kemudian keluar satu kalimat pendek darinya:
“Riset akademis tidak akan berarti sama sekali tanpa lapisan empati kepada
penderitaan masyarakat.”
Masih di tahun yang sama, 2013, BE mendampingi
program riset bagi fresh graduate STAIN Jember. Riset satu bulan itu
mengambil lokasi di Ungkalan, dusun terpencil di tengah hutan di pesisir pantai
selatan Jember yang beririsan langsung dengan Taman Nasional Meru Betiri dan
Samudra Hindia. Sungai, hutan dan lautan mengurung mereka dan menjadi garis
batas alam yang memisahkan mereka dengan dunia luar. Mengenai orang-orang
Ungkalan ini, dulu, orang luar menyebutnya wong alas (orang hutan), wong
njero (orang pedalaman), wong bodo (orang bodoh), bongso celeng
(bangsa babi), wong kasar (orang berperangai kasar), dan berbagai
sebutan lain yang bernada pejoratif. Ada anggapan di balik sebutan itu: bahwa
orang-orang Ungkalan tak berkebudayaan, primitif.
Dulu, penanda bagi orang-orang Ungkalan sangat
mudah. Mereka identik dengan penjual kayu bakar, dengan tubuh yang kusam.
Mereka biasanya keluar hutan, menyeberang sungai, sambil membawa kayu bakar
untuk dijual dan pulang membawa bahan kebutuhan sehari-hari. Hasil hutan yang
dijual tidak hanya kayu bakar, tapi juga bambu, rotan, dan lain-lain. Ciri lain
orang Ungkalan juga bisa dikenali dari wajah mereka yang lebam saking seringnya
terserang penyakit demam berdarah. Pada
era 40-an wabah demam berdarah pernah melanda Ungkalan.
Di Ungkalan BE mengintrodusir isu-isu mengenai
marjinalitas, konstruksi identitas orang-orang Ungkalan, juga menyoroti
interaksi kultural orang-orang Ungkalan dan luar Ungkalan yang mempunyai pengetahuan
dan kedudukan yang asimetris, dengan tekanan kajian terhadap posisi pihak
orang-orang Ungkalan yang terpinggirkan dan berada di tepi dominasi kebudayaan.
Lebih jauh, BE mengajak menyelami pelbagai upaya negoisasi orang-orang Ungkalan
–secara verbal maupun simbolik- untuk melawan proses-proses marjinalisasi dan
penjinakan atas mereka. Selama satu bulan kami mendiskusikan konstruksi
kebudayaan dan politik marjinalitas orang-orang Ungkalan.
Puluhan buku yang ditentengnya sendiri oleh BE
dari Jakarta, dalam sebuah kardus, menjadi pendamping dalam mendiskusikan
temuan-temuan di lapangan. Dari empat puluh buku yang direkomendasikan BE
sebagai bahan bacaan, 23 buku beliau bawa langsung dari Jakarta, selebihnya ada
dalam koleksi buku kami di Jember. Saya tercenung: BE serius dengan kegiatan
riset Ungkalan. Oleh sebab itu, selama kegiatan berlangsung saya memilih menemaninya
full time di lapangan.
Selama di Ungkalan, ada sebuah insiden yang
cukup mengkhawatirkan kami. Tinggal di tengah hutan tentu bukan hal yang
menyenangkan. Di malam hari, kesunyian menyergap, gelap. Sayup-sayup terdengar
suara ombak yang terhempas di tepi pantai. Semakin malam deburan ombak semakin
terdengar jelas, menjadi suara latar kehidupan malam di Ungkalan. Di siang hari,
orang pergi ke lahan masing-masing di area milik perhutani. Memang, orang-orang
Ungkalan menggantungkan hidup mereka dengan mengolah lahan di sela-sela tanaman
keras milik Perhutani. Hidup terasa membosankan, hambar. Kebosanan itulah yang
memicu salah seorang di antara kami, pada suatu sore, membeli ikan laut yang
dijajakan oleh penjual keliling. Kami bikin acara bakar ikan di malam harinya
untuk mengusir kebosanan.
BE cukup terhibur dan turut menikmati santapan
ikan bakar. Tapi tak lama kemudian, beberapa orang mengeluh sakit perut dan pusing-pusing.
Satu dua orang mulai muntah-muntah. Mereka tampaknya keracunan ikan. BE ternyata
juga mengalami gejala yang sama: pusing, mual-mual dan sesak nafas. Kondisinya
terus menurun, lemas. Beliau rebahan di atas kursi sambil mengeluh kesakitan. Beliau
berharap bisa diantar ke Puskesmas terdekat untuk mendapat perawatan. Namun
cuaca malam itu tak memungkinkan mengantarkannya ke Puskesmas. Akibat hujan
deras di sore harinya, air sungai meluap, praktis tak ada penarik getek (alat penyeberangan dari
bambu-bambu yang diikat berjajar) yang berani menyeberangkan. Akhirnya saya berinisiatif
mencari air kelapa muda sebagai penawar. Jam dua dini hari saya memanjat pohon
kelapa yang ada di belakang rumah tempat kami menginap. Tiga pohon kelapa yang
saya panjat, mencari kelapa hijau yang umum diketahui bisa menjadi penawar
racun makanan. Syukurlah, setelah meneguk air kelapa, kondisi BE berangsur
membaik. Esoknya, seolah tak pernah terjadi apa-apa, beliau beraktivitas
kembali mendampingi diskusi-diskusi hasil kerja lapangan.
Sekembalinya ke Jakarta¸ setelah mempelajari
catatan-catatan lapangan dan draft laporan penelitian, BE menyusun outline buku
hasil riset Ungkalan yang dikirimkannya lewat email: “Di, ini saya kirim
oret-oretan tentang isi riset Ungkalan. Bisa ditambahi, jika masih ada yang
perlu ditambahkan.” Salam. Bisri Effendy.
Outline Buku Ungkalan
Buku Pertama: Monografi
UNGKALAN
Sejarah Sosial Komunitas Enclave
Kata Pengantar Redaksi
Pengantar Ahli
Dusun Ungkalan: Tumbuh Dalam Politik Ruang
(Bagian ini lebih merupakan paparan deskriptif
tentang letak/posisi geografis, warga/penduduk, tata dan kondisi ruang social,
infrastruktur umum, ekonomi, pendidikan, agama, dan kekayaan kultural. Termasuk
paparan tentang struktur sosial, kepemimpinan, organisasi sosial, kohesi,
solidaritas, dan polarisasi sosial).
Pola Pemukiman: Resetlement dan Kontrol social
(Dengan terlebih dulu mendeskripsikan pola pemukiman
yang ada sekarang, bagian terfokus pada bahasan mendalam tentang desain
pemukiman yang diciptakan pihak/kekuatan luar berupa resettlement dikelompokkan ke dalam satu wilayah tertentu seperti
yang sekarang kita saksikan. Asumsinya, resettlement
itu adalah upaya yang disengaja agar pada masa-masa berikutnya setiap aktivitas
warga dapat dikontrol secara mudah. Teori-teori tantang politik ruang, resettlement, kontrol sosial, dan yang
relevan menjadi acuan dalam bahasan bagian kedua ini).
Bumi Ungkalan: Tanah yang Tak Pernah Dimiliki
(Paparan bagian terfokus pada problem tanah Ungkalan
yang tak pernah bisa dimiliki oleh warga. Tanah sepenuhnya dikuasai oleh
Perhutani. Persoalannya warga mendiami Ungkalan (versi warga) sejak sebelum
kemedekaan, sementara Perhutani didirikan pada tahun 1987 oleh orde baru. Lalu
bagaimana dengan UUPA Tahun 1960 yang oleh banyak pihak dinilai tersemangati
pemerataan? Apalagi UUD 45 kita mengatur bahwa seluruh tanah, udara, dan laut
adalah milik negara yang diperuntukkan bagi kesejahteraan warga negara. Apa
dampak semua yang paradoks itu terhadap kehidupan warga? Apa dan bagaimana
sikap, siasat, dan strategi warga terhadap problem tanah ini?)
Politik Konstruksi: Narasi Sejarah, Stigma, dan Stereotipe
(Bagian ini khusus menganalis politik konstruksi
yang dibangun pihak luar terhadap Ungkalan dan warganya. Sejarah Ungkalan telah
diciptakan seemikian rupa, misalnya warga Ungkalan adalah pelarian PKI, orang
Ungkalan juga disebut sebagai orang gethek,
orang hutan, dll, adalah sebagian dari konstruksi orang luar terhadap Ungkalan.
Dengan politik konstruksi itu seolah orang Ungkalan terpojok, tetapi mereka
juga, dengan sadar, menghadapi, menyikapi, dan membangun konstruksi sendiri
yang jika perhadapkan tampak sebagai resistensi. Bagaimana konstruksi itu
dibangun dan bagaimana konstruksi itu ditandingi, diimbangi, dan dilawan adalah
pokok bahasan bagian ini. Dan resistensi yang dibangun dan dikembangkan orang
Ungkalan itu tampaknya dalam bentuk bahasa lisan. Jadi, tradisi lisan Ungkalan
sebenarnya lebih merupakan representasi perlawanan atau pertarungan konstruksi
dan identitas).
Ritual Ungkalan: Meruwat Dusun, Merawat Keseimbangan Sosial
(Fokus bagian ini adalah menganalisis ritual-ritual yang
masih dipelihara oleh warga Ungkalan, salah satunya yang paling kompak
dilakukan adalah Suroan. Ritual ini berkaitan dengan kekuatan-kekuatan yang
terlihat dengan personifikasi tempat-tempat atau benda-benda tertentu di dusun
ini. Kekuatan-kekuatan itu dipercaya bisa memberi “berkah”, tetapi juga bisa
memberi “malapetaka”. Secama umum, ritual di Ungkalan ini, seperti
ritual-ritual sejenis di tempat lain, dimaksudkan untuk menjaga kesseimbangan
makrokosmos-mikrokosmos, karena hanya dengan keseimbangan semacam itulah tanah
bisa subur memberi kemakmuran dan kehidupan sosial berlangsung seimbang,
harmonis, serta tidak terkena pagebluk.)
Buku Pertama ini sedianya akan diikuti Buku Kedua, masih dari hasil riset
Ungkalan. Namun, maksud baik itu tak pernah terwujud, bahkan satu buku pun
tidak. Tak seorang pun di antara kami sanggup menulis satu sub tema di buku
pertama. Data-data lapangan terserak begitu saja, tak ada yang mengolahnya
menjadi tulisan utuh. Rutinitas kampus memandulkan impian-impian yang kami rangkai
saat di lapangan. Dan, tak ada lagi yang kembali ke Ungkalan hingga suatu hari,
di tahun berikutnya, BE mengajak kami ke Ungkalan untuk kegiatan FGD yang
diinisiasi oleh beberapa kawan dari Bina Desa terkait isu-isu penting Ungkalan,
terutama sejarah sosial Ungkalan dan advokasi di seputar perselisihan soal agraria
antara warga dan Perhutani.
Sudah sejak sore kami
di Ungkalan, tapi acara dimulai jam delapan malam. Saat diskusi berlangsung, BE
hanya mendengar dan mengikuti kegiatan dengan seksama. Forum sepenuhnya milik warga
bersama pendamping dari Bina Desa. Saya dan kawan-kawan dari Jember pun hanya
mencatat hal-hal penting dari materi diskusi. Jam setengah satu dini hari, kami
pulang. Hujan yang turun deras saat kegiatan berlangsung, membuat kami khawatir
mengenai kondisi jalan pulang. Benar saja, sepanjang jalan arah pulang, di
tengah hutan jati, terendam air hingga di atas lutut orang dewasa. Suasana
sekeliling hitam pekat. Beberapa motor matic di depan saya mati. Saya yang
berboncengan dengan BE beberapa kali terpeleset dan terjatuh dari motor. Namun,
akhirnya kami berhasil keluar Ungkalan dengan tubuh dan pakaian yang basah. BE
tak mengeluh, dan saya antar pulang ke Langon.
Pada beberapa perjumpaan
berikutnya, dalam obrolan informal, BE kerap mengungkapkan keinginannya mendirikan
Ma’had Ali Kebudayaan. Belum jelas benar konsep beliau tentang ini. Namun, catatan
saya, atensi beliau terhadap wacana kebudayaan
begitu kuat. Pernah, suatu siang, di tahun 2015, saya mendapat sebuah pesan
singkat dari BE: “Di, nanti ada kongres Bahasa Osing di Banyuwangi. Coba simak,
ada perdebatan apa di sana.” Sebuah peristiwa kebudayaan yang beliau tak ingin
melewatkannya.
Saya bisa hadir.
Namun, ada kisah pahit bagaimana saya sampai di Banyuwangi. Sehari sebelumnya
saya memesan tiket kereta Pandanwangi, kereta lokal Jember-Banyuwangi. Tiketnya
murah, delapan ribu rupiah. Ada dua kali keberangkatan kereta dari Jember ke
Banyuwangi, begitu pula sebaliknya. Saya pilih pemberangkatan yang pertama: jam
lima pagi.
Selepas subuh,
setelah sekedar mengganjal perut, saya memacu motor ke stasiun kota, berjarak
enam kilometer dari rumah. Sampai di stasiun, kereta ternyata sudah berangkat
lima menit yang lalu. Karena Pandanwangi adalah kereta lokal, maka di hampir
stasiun (kecil maupun besar) yang dilewati bisa dipastikan berhenti. Karena
itu, beberapa detik kemudian saya putuskan mengejar kereta ke stasiun
berikutnya: Arjasa –empat kilometer dari stasiun kota. Dari jarak lima ratus
sebelum stasiun, tampak kereta yang sedang transit. Namun, saat memasuki
halaman stasiun, kereta berangkat. Saya putar balik keluar stasiun, menuju
stasiun Kotok, sekitar 3 kilometer dari Arjasa. Jalan yang berkelok membuat
saya terlambat sampai di Kotok. Saya tak melihat kereta di sana. Kereta rupanya
telah menuju ke stasiun berikutnya: Kalisat –berjarak tujuh kilometer dari
Kotok. Saya mengejarnya. Di stasiun Kalisat kereta masih terlihat, namun ketika
saya datang, peluit panjang tanda pemberangkatan berbunyi. Tanpa pikir panjang,
saya langsung memarkir kendaraan di halaman stasiun yang lengang, lalu berlari
ke pintu masuk. Tak ada petugas parkir sepagi itu. Saya melewati satpam begitu
saja, tanpa pemeriksaan tiket. Satpam berteriak memanggil, saya tak peduli dan terus
berlari ke pintu kereta yang mulai berjalan. Lega, akhirnya bisa mengejar
kereta. Setelah menemukan tempat duduk sesuai nomor yang tertera di tiket,
sebentar kemudian saya tertidur.
Saya turun di stasiun
Argopuro, padahal mestinya turun di stasiun kota: Karangasem. Di kereta saya
tertidur pulas, tak mendengar informasi petugas saat kereta memasuki stasiun
Karangasem. Hari masih pagi. Jam setengah delapan. Stasiun kecil ini sepi,
terpisah dari permukiman. Saya berjalan kaki menuju jalan raya, lalu menunggu
angkutan kota sambil memesan kopi di warung tempat para supir truk-truk besar
trayek Jawa-Bali mangkal. Kebetulan sekali, dari radio butut pemilik warung,
terdengar lagu kendang kempul khas Banyuwangi: Stasiun Argopuro.
Di pendopo kabupaten,
tempat acara berlangsung, saya bertemu beberapa kawan yang sudah saya kenal
sebelumnya: Hasan Basri dan Dwi Pranoto. Ada banyak tokoh Using hadir di sana,
termasuk Emilia Contessa yang kemudian saya tahu menjadi sponsor utama acara
ini. Emilia Contessa adalah putri dari penyusun Kamus Bahasa Using: Hasan Ali.
Forum berlangsung dinamis. Apakah Using merupakan dialek atau bahasa tersendiri,
dan perlukah menyusun suatu kaidah kebahasaan (semacam langue dalam teori linguistik struktural Saussurean), memang
menjadi perdebatan cukup pelik di sana. Pun mana ejaan yang benar: Using atau Osing?
Masing-masing pihak mengembangkan argumentasi disertai rujukan pada hasil-hasil
riset tentang Using hingga ke era kolonial.
Usai acara, saya menumpang
sedan butut Mas Dwi Pranoto dan sebelum balik ke Jember. Sempat mampir ke
rumahnya di Klembon, tempat lahirnya teater rakyat janger atau yang juga dikenal dengan jinggoan. Rumahnya persis di belakang gapura Titik Nol Banyuwangi.
Sempat pula berjalan-jalan sebentar di sebuah gang yang hanya berjarak
sepelemparan batu dari rumah Mas Pran, di Temenggungan, kampung batik lawas
Banyuwangi. Menjelang gelap kami balik ke Jember, saat hujan merayap turun.
Itulah saat saya ingat motor, gimana nasibnya? Segera saya berusaha menghubungi
kawan di Kalisat. Dia sempat panik, motor saya tak ditemukannya. Saya malah lebih
panik lagi. Namun, syukurlah, ternyata motor saya “diamankan” oleh sekelompok
anak muda di sekitaran stasiun. Lewat pengaruh tradisionalnya, motor saya
terlacak dan bisa dikeluarkan dari gudang penyimpanan.
Masih di tahun 2015,
saya dan beberapa kawan dari Jember bertemu BE di arena Muktamar NU ke-33 di Jombang.
Kami mengikuti sesi diskusi kebudayaan di kalangan para aktivis kebudayaan NU,
terutama yang berafiliasi dengan Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin). BE
bersama Mas Hairus Salim dari Yogyakarta menjadi pemantik diskusi. Usai
diskusi, kami sempat berbincang sebentar di warung kopi mengenai dinamika
Muktamar Jombang, setelah itu sibuk dengan agenda masing-masing.
Sekian waktu kemudian,
saya hanya bertemu saat BE mudik ke Langon, Jember. Kondisi kesehatan beliau mulai
menurun. Badannya sempat kurus dan cepat merasa lelah. Beliau terdeteksi mengidap
diabetes. Nafasnya memendek. Beliau mulai mengurangi kopi dan mencoba berhenti
merokok. Kendati begitu, ketika beliau pulang ke Langon, kami tetap saja
dikabari dan dengan begitu siap berbincang hingga larut malam, tak lupa ditemani
kopi dan rokok. Jika kami tak sempat main ke Langon, BE kadang berinisiatif
main ke kampus. Beliau tak perlu dijemput ataupun diantar karena membonceng
motor keponakan atau kadang putrinya yang kebetulan juga ke kampus.
Kondisi kesehatan itu
berpengaruh pada pemikiran beliau. Belakangan, saya merasakan, ketajaman dan
kekuatan berpikir elaboratifnya menurun. Uraian-uraian cukup panjang, njelimet dan kontemplatif mulai
berkurang. Bicaranya cenderung pendek-pendek, seperti tergesa. Sering saya
lihat kaki BE gemetaran saat hendak membonceng motor, atau turun dari
boncengan. Namun semangat juangnya tak pernah luntur. Jarak lebih 35 kilometer
Mangli-Langon ditempuhnya, pulang pergi, di usia senja, tanpa mengenakan jaket.
Sering saya menawarkan mengantarkan menggunakan mobil, tapi tak jarang BE
menolaknya. Beliau tak ingin diperlakukan istimewa. Jika diundang sebagai penelaah
proposal penelitian atau fasilitator dalam forum diskusi di Jember, tak pernah
sekalipun BE minta menginap di hotel, meski ada jatah sebenarnya jika menghendaki.
Pernah beliau memilih menginap di rumah saya karena terlalu capek mau pulang ke
Langon Ambulu. Menu makannya pun tak pilih-pilih. Beberapa kali saya
mengajaknya mampir ke warung nasi pecel pincuk Jenggawah untuk sarapan atau
makan siang, sederhana dan murah.
Satu hal yang saya
catat tiap kali BE menelaah proposal penelitian, beliau “menolak” proposal riset
yang bersifat terapan, juga riset kebijakan, atau penelitian tindakan (action oriented). “Itu sejatinya bukan
riset,” jawabnya ketika saya bertanya kenapa. BE mendorong ke arah riset murni,
penelitian dasar. “Kehidupan sosial tidak bisa dipilah-pilah. Ekonomi berjalinan dengan agama, politik, kebudayaan. Soal ekonomi juga
menjadi soal kebudayaan, soal agama, dan lain-lain. Kehidupan adalah jalinan
dari semua itu,” katanya suatu ketika. Saya jadi ingat kata-kata C. Geertz, manusia
ibarat hidup dalam jejaring makna yang dirajutnya sendiri. Maka, analisis kebudayaan
tidak dikembangkan seturut model ilmu eksperimental yang berusaha mengungkap
hukum-hukum kehidupan, melainkan suatu interpretasi untuk menemukan makna. “Penelitian
adalah membangun makna. Makna dibangun dari realitas yang ada, dari fakta-fakta
hasil wawancara, pengamatan, dokumentasi. Semua itu digabung, diinterpretasi,
dimaknai. So what? Apa yang mau anda
katakan tentang semua itu?” kata BE suatu waktu.
Pilihan sikap BE yang “menafikan” riset-riset yang
berorientasi pada policy dan action seakan menggemakan kembali
perdebatan era 70’an di kalangan ilmuwan sosial di Indonesia. Pada Kongres dan
Seminar Nasional mengenai etika ilmu-ilmu sosial di Medan pada 1977, kalangan
ilmuwan sosial terbelah dua, kubu partisipasi dan kubu pendukung critical social sciences. Di kongres
tersebut, Soedjatmoko, mengkritik keras kecenderungan riset yang mengarah pada policy analysis dan policy research pada umumnya. Dia menekankan pentingnya
mengembangkan discipline research (basic research /riset murni) sebagai
upaya menambah perbendaharaan pengetahuan ilmiah tentang masyarakat di dalam
bidang disiplin masing-masing, menambah pengembangan konsep-konsep analitis,
dan untuk menyusun hipotesa-hipotesa yang dapat membuka pintu ke arah
penambahan pengetahuan ilmiah selangkah lebih maju lagi.[xii]
Dalam garis pemikiran
yang senafas, satu dekade kemudian, Ignas Kleden menegaskan arah riset untuk
meningkatkan kapasitas dan taraf pencapaian ilmu-ilmu sosial. Kleden mengkritik
perkembangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia yang terkesan mandek. Itu karena
masih langkanya eksperimentasi ilmuwan sosial di Indonesia di bidang teori.
Penelitian sosial yang dibuat sejauh ini lebih ditentukan oleh rumusan
permasalahan secara praktis, bukan secara teoretis. Sedari awal penelitian
diharapkan membawa sumbangan bagi pemecahan suatu keperluan praktis, sebelum
persoalan teoretisnya dirumuskan dengan jelas.[xiii]
Barangkali dua contoh
diskusi berikut bisa menggambarkan pilihan arah riset BE. Contoh ini saya ambil
dari telaah proposal penelitian oleh BE. Pertama, proposal dengan judul “Pemberdayaan
Masyarakat Melalui Pendidikan Kecakapan Hidup: Studi Kasus Masyarakat Miskin
Terdampak Bencana Gunung A”. Pertanyaan penelitiannya: apa program
pemerintah dalam mengatasi bencana erupsi Gunung A?; Bagaimana pemberdayaan
masyarakat miskin terdampak bencana Gunung A?; Bagaimana model pendidikan
kecakapan hidup memberi dampak positif bagi masyarakat miskin terdampak bencana
erupsi Gunung A?
BE menganggap proposal tersebut sebagai
rekomendasi hasil penelitian ketimbang penelitian itu sendiri. “Ini
pemberdayaan, riset aksi, bukan riset murni. Ini aksi setelah melakukan
penelitian,” tegasnya. Selain itu, BE menangkap kesan pengusul yakin betul
bahwa masyarakat sudah tidak berdaya. “Tentu saja itu sangat simplistis. Kita
seringkali underestimate bahwa masyarakat miskin itu tidak punya
kecakapan hidup, life skill.
Saya jadi ingat kasus tsunami Aceh. Konon, ada beberapa desa di Aceh
Barat yang selamat dari tsunami karena mereka sudah bisa mengantisipasi
sebelumnya. Itu karena mereka memiliki kearifan lokal dalam melihat tanda-tanda
alam. Menurut mereka, kalau gempa bumi itu sekuat ini, dan air laut surut
sampai jauh, maka mereka harus lari ke gunung. Ini soal kecakapan hidup. Saya
tidak tahu, masyarakat yang tinggal di lereng-lereng Gunung A dalam proposal
ini masih memiliki kearifan lokal untuk mengantisipasi bencana. Apakah mereka
masih punya mitologi terkait mitigasi bencana? Maka, kalau mau riset soal ini, coba
keliling mengitari Gunung A untuk mengetahui adakah mitologi yang berkembang di
masyarakat soal kecakapan dalam mengantisipasi bencana ini,” ujarnya.
“Sejauh menawarkan
model, proposal riset ini tidak terlalu salah juga. Ini riset kelayakan model
pemberdayaan yang sedang ditawarkan pemerintah. Riset semacam ini lebih ke
tujuan-tujuan praktis,” komentar BE setelah mendengar paparan proposal riset
dengan judul Pemberdayaan Komunitas
Petani Matpat: Rekonstruksi Program Pemberdayaan Masyarakat Buruh
Tani Di Desa B.
“Sebenarnya tema ini menarik, tapi dalam
konteks yang berbeda. Desa-desa kita, selain dijajah oleh negara, juga
dijajah oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM). Hampir tidak ada desa yang tidak
pernah ditempati program LSM. Kasus di Pati dan Rembang terkait proyek pabrik
semen di sana, misalnya, LSM yang hadir tidak hanya satu, tapi banyak. Bahkan
antar LSM bisa saling bertentangan. Yang saya ingin katakan adalah bahwa mungkin
masyarakat desa sudah kenal betul LSM. Bahkan masyarakat sudah akrab dengan
kehadiran peneliti. Di Jakarta, ada kampung yang sekian kali diteliti oleh
lembaga penelitian, termasuk perguruan tinggi. Sampai-sampai orang kampung hafal
pertanyaan penelitian yang ditanyakan kepada mereka. Kalau ada peneliti datang
dan mengajukan pertanyaan singkat, warga sampai mengatakan: “tidak tanya soal
ini, Pak?”. “Lho memang kenapa koq harus tanya itu?”, kata peneliti. “Soalnya
peneliti lain biasanya tanya ini”. Itu merefleksikan betapa orang-orang di
kampung itu sudah bosan dengan kehadiran peneliti.”
“Saya setuju bahwa isu mengenai desa-desa yang
dimasuki oleh pemberdayaan dengan pelbagai model ini menarik. Tapi yang lebih
menarik lagi, bagi saya, adalah pertarungan knowledge-nya.
Semua kekuatan yang hadir di desa, baik pemerintah maupun LSM, menawarkan
sesuatu yang baru kepada masyarakat. Sebutlah ini sebagai pengetahuan
"baru" bagi masyarakat. Sementara masyarakat sendiri memiliki pengetahuan
"lama", pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun. Bagaimana
proses perjumpaan antara pengetahuan lama dan pengetahuan baru, itu yang
menurut saya perlu ditelisik lebih jauh, ketimbang hanya menawarkan model. Saya
berharap si pengusul bisa memasuki ruang “pertarungan pengetahuan” ini: antara
“yang ada” di situ (desa) dengan “yang hadir atau dihadirkan” orang luar.”
“Contoh riset semacam ini adalah penelitian
Anna L. Tsing di pegunungan Meratus Kalimantan. Anna Tsing berhasil membuat
suatu deskripsi menarik tentang pertarungan antara pengetahuan lokal dengan
pengetahuan yang dihadirkan, selama bertahun-tahun. Belum tentu orang desa
percaya dan menerima apa yang dihadirkan. Mereka, sebagai “orang marjinal,” lewat
proses adaptasi, mereinterpretasi dirinya bersamaan dengan interpretasi
terhadap “yang baru”. Proses memahami “yang baru”, lalu pada saat yang
bersamaan memahami ulang dirinya dalam kaitannya dengan “yang baru”, kemudian melahirkan
sesuatu “yang baru”, yang tidak sama dengan yang mereka miliki “yang lama”,
tapi juga sekaligus tidak sama dengan “yang baru”. Ini adalah proses negosiasi
kultural. Negosiasi ini adalah jelmaan dari politik marjinalitas. Masyarakat
desa menafsirkan yang hadir pada dirinya, dan mereka akan melakukan sesuatu
dari proses itu, tetapi tetap pada posisinya di pinggir,” paparnya.
“Contoh lain, James Peacock pernah menulis pada
tahun 1965, mengambil contoh ludruk dengan menggunakan pendekatan modernitas.[xiv]
Dia mencoba membaca bagaimana pertarungan para pemain ludruk sebagai orang
kampung dengan persoalan-persoalan perkotaan. Karena itu kidung-kidung di
ludruk sebenarnya representasi dari kampung sekaligus mencoba melompat antar
kampung,” lanjut BE.
“Karena itu, saya lebih tertarik kalau si
pengusul mencoba melihat pertarungan orang-orang di Desa B dengan sesuatu yang
baru yang dibawa oleh baik pemerintah, LSM, atau media massa. Dari sini
kemudian kita bisa mendiskusikan berbagai kerangka teori. Mungkin di Desa B
muncul pertarungan pengetahuan mengenai berbagai hal, termasuk cara-cara
bertani. Karena pertanian kita sudah lama dilibas oleh modernitas sejak Revolusi
Hijau diimplementasikan. Bagaimana proyek intensifikasi dan ekstensifikasi
pertanian mengubah cara orang desa bertani. Dan saya kira kekuatan-kekuatan
yang hadir atau mencoba hadir di Desa B adalah kekuatan-kekuatan yang sedang
dinegosiasi oleh penduduk desa. Proses negosiasi kultural ini yang menurut saya
menarik untuk dipotret.”
“Di komunitas Using Banyuwangi, misalnya,
negoisasi kultural di kalangan petani masih terjadi sampai sekarang. Mereka
tidak mau memakai benih dari IPB (benih modern), mereka masih pakai benih tradisional
yang mereka buat sendiri, walaupun dalam hal pemupukan mereka menggunakan pupuk
kimia. Tapi sekarang ini ada arus, ada gelombang yang menguat di kalangan orang
Using untuk kembali ke pupuk organik. Ini contoh negoisasi petani Using, juga
bagian dari resistensi mereka terhadap modernisasi pertanian. Jadi persoalan
petani kita tidak hanya soal harga gabah, tapi soal pertarungan petani
berhadapan dengan kekuatan-kekuatan dari luar. Kita harus mulai memahami
bagaimana petani kita sebenarnya sedang bertarung soal pengetahuan mengenai
pertanian, bahkan sekarang ini sedang dilibas oleh dominasi benih oleh PT. BISI.”
Apa yang disampaikan BE mengenai ‘pertarungan knowledge’ antara masyarakat, pemerintah atau LSM dalam proyek-proyek
pembangunan desa, misalnya, mengingatkan saya pada hasil riset Tania Murray Li
mengenai substansi masalah yang sama: The
Will to Improve.[xv]
Kutipan catatan pengantar Pujo Semedi saya anggap mewakili –tentu dengan risiko simplifikasi- uraian panjang
etnografis dan historis Tania Li di buku dengan ketebalan lebih dari lima ratus
halaman tersebut:
“… baik kelompok yang hendak
membangun maupun yang dijadikan obyek kehendak pembangunan ternyata bukan
entitas tunggal. Mereka adalah entitas sosial yang jamak dengan rencana dan
pandangan yang beragam dan bisa saling bertentangan satu sama lain. Rencana pemakmuran
masyarakat oleh lembaga pemerintah bisa berbenturan dengan rencana lembaga
donor. Benturan seperti itu bahkan bisa berlangsung di kalangan badan
pemerintah ataupun lembaga yang lain itu sendiri. Kemauan warga juga bisa
bergesekan dengan kepentingan elit dusun yang memimpin mereka.”[xvi]
Ungkapan BE tentang ‘pertarungan knowledge’,
juga The Will to Improve
Tania Li mengingatkan saya pada dinamika yang terjadi di Ketajek dan Ungkalan,
sebagaimana telah diceritakan di awal -benturan, saling-silang kepentingan,
bahkan konflik antara LSM, Pemerintah, dan masyarakat yang, anehnya, mereka mempunyai
kehendak yang sama: memperbaiki taraf hidup masyarakat. Dari sebuah laporan riset
yang tidak dipublikasikan tentang Ketajek, saya menemukan kehadiran pelbagai
lembaga swadaya masyarakat, organisasi mahasiswa, lembaga bantuan hukum, dan
lain-lain justru memicu munculnya polarisasi yang cukup tajam di masyarakat,
bahkan menimbulkan konflik yang tak terselesaikan. Ketajek telah menjadi arena
intervensi dan pertarungan kepentingan banyak pihak, sampai sekarang.
Menjelang akhir tahun 2018, kami dipertemukan
kembali dalam kegiatan Short Course Penelitian
Sosial Kritis. BE, untuk kesekian kalinya, kami minta menjadi pendamping
diskusi-diskusi di lapangan. Beliau pula yang mengusulkan Kemiren, Banyuwangi,
sebagai lokasi penelitian. Awalnya ada dua pilihan: komunitas Tengger dan Using.
Namun, mengingat suhu di Tengger yang cukup ekstrim, pilihan jatuh pada
Kemiren. Selama sebulan BE terlibat dalam proses-proses diskusi di lapangan. Dua
kardus bahan bacaan pun dibawanya dari Jakarta ke Kemiren, menjadi perpustakaan
mini tempat peserta menggali dan mengembangkan perspektif teoritik.
Di Kemiren, melalui Hasan Basri, kami
dipertemukan dengan beberapa budayawan Using, di antaranya Slamet Menur, Hasnan
Singodimayan, Suhalik, Adi Purwadi, Temu, dan lain-lain. Hasan Basri seorang
guru agama di sekolah menengah negeri di Banyuwangi. Selain guru, ia juga aktif
di pelbagai kegiatan kebudayaan dan bahkan saat ini menjabat ketua Dewan Kesenian
Blambangan (DKB). Dalam amatan saya, dia bermain di persilangan di tapal batas
antara agama dan budaya, antara ritual keagamaan dan ritual adat/tradisi. Posisinya
dalam ruang kebudayaan dilematis: antara gerak komodifikasi kebudayaan lewat
negara, dan pasar, tetapi juga pada saat yang sama menjadi bagian dari pergulatan
tradisi, kebudayaan rakyat.
Lain halnya dengan Slamet Menur. Orangnya
kalem, gerak-geriknya gemulai laksana tarian. Dia memang seorang penari, lebih
tepatnya koreografer tari yang sangat populer di era Gestok: tari
Genjer-genjer. Bicaranya pelan, namun tegas menantang. Rangkaian kata-katanya
seakan menyimpan kegetiran. Ya, dia merupakan saksi mata penculikan salah satu
tokoh Lekra Banyuwangi: Mohammad Arif. Hari-hari terakhir bersama Arif, kuat
dikenangnya, hingga tak terasa, dalam suatu percakapan yang sunyi, air matanya
menetes. Kini, dia masih menari, menari, dan menari. Lewat iringan musik
angklung, dia menciptakan tari sekaligus menarikannya. Tapi, mungkin, hasil
karya tariannya tak lagi selegendaris tari Genjer-genjer, tarian yang pasca ’65
memaksanya secara periodik wajib lapor ke pihak berwajib.
Suhalik agaknya yang paling produktif menulis.
Orang memanggilnya Pak Halik. Ia mengajar sejarah di sekolah menengah atas di
Banyuwangi. Selama di Kemiren, Suhalik sering menemani obrolan seputar sejarah Using
dan Blambangan. Bacaan dan refleksinya kuat akan sejarah, bahkan melintas ke
ranah mistik. Beberapa tulisan dihasilkannya tentang sejarah Blambangan, dengan
bukti-bukti empiris-akademis maupun keyakinan mistik. Dia, konon, pernah
tergabung dalam Fordem (Forum Demokrasi), organ sipil yang bersikap kritis
terhadap rezim Orde Baru.
Tentang Hasnan Singodimayan, satu kata mungkin
mewakili: eksentrik. Dia pelintas batas ideologi: kombinasi “biru-merah”, menjadi
bagian dari Masyumi yang kini terlibat total dalam pelestraian budaya Using. Ia
sangat gigih dalam meneguhkan identitas etnik: Using. Hasnan mudah sekali
dijumpai di forum-forum seminar kebudayaan, baik yang dihelat oleh negara
(pemerintah) atau kampus-kampus, dan selalu tampil sebagai tokoh lintas
generasi yang fasih dalam mengartikulasikan kebudayaan Using. Beberapa novelnya
ditulisnya dengan garis tema yang, walau pudar, namun masih tertera jelas: tafsir
seorang Using atas ajaran Islam.
Adi Purwadi, atau yang akrab dipanggil Kang
Pur, lahir sebagai anak kandung tradisi dan adat Using. Dia seolah ensiklopedi
berjalan dari adat dan ritual tradisi di masyarakat Using, khususnya di
Kemiren. Di komunitasnya, Kang Pur mungkin orang yang paling fasih dan,
karenanya, absah, dalam memipin mocoan Lontar Yusuf, sebuah ritual adat di
Kemiren. Karena ketokohannya dan pengetahuannya soal adat, dia masuk jajaran
pengurus AMAN Banyuwangi. Lewat AMAN dia berkeliling Nusantara. Lewat sosok
Kang Pur, resistensi terhadap cara pandang negara, agama dan pasar terhadap
kebudayaan Using terartikulasikan. Dia menolak tunduk pada setiap anasir yang
berusaha menempatkannya dalam kotak pandora kebudayaan.
Lewat tokoh-tokoh itu, selama sebulan di
Kemiren, kami belajar mengelola perbedaan, dan bahkan konflik, untuk sebuah
rekonsiliasi kebudayaan. Juga, bagaimana merumuskan sekaligus mengurai konsep
identitas dan kebudayaan. Dari obrolan-obrolan sublim bersama mereka, kami
menyadari bahwa rumusan identitas tak pernah tunggal, pun tak stabil. Pelbagai
entitas sosial yang terlibat dalam perjuangan “merumuskan” identitas Using jauh
lebih beragam, sesuai dengan keragaman pengalaman historis, maupun
gagasan-gagasan budaya yang melekat padanya, pun tak kalah pentingnya, ragam
posisi dalam kaitannya dengan kekuasaan.
Di forum-forum diskusi yang hampir digelar
setiap hari selama di Kemiren, BE lebih banyak bertanya dan mempertanyakan
kembali asumsi-asumsi yang dikembangkan para peneliti. Upaya “menyoal kembali”
pertanyaan-pertanyaan penelitian ini penting guna membangun perspektif kritis atas
realitas sosial. Perspektif teoritik untuk mengembangkan nalar kritis
membentang dari teori kritis Mazhab Frankfurt, pascastruktural, hingga poskolonial.
Teori kritis sendiri terus berkembang, bergerak: tidak saja berkutat pada kritik
terhadap tatanan sosial kapitalisme –khususnya industri budaya- sebagaimana
dalam tradisi Mazhab Frankfurt, tapi jauh lebih luas lagi, memasuki ranah
analisis tekstual dan budaya.
Dari riset Kemiren, bersama BE kami merencanakan
penerbitan buku hasil penelitian. Namun, persoalan teknis dan substantif
menjadi kendala mewujudkannya. Tak sedikit ternyata tulisan yang ‘tak selesai’ -data
yang sumir, kurang elaboratif, untuk sebuah penelitian lapangan dengan corak
etnografi. BE kembali ke Jakarta.
Satu waktu di penghujung tahun 2019, BE kembali
ke Jember. Bersama Mukhlisin (yang kemudian saya kenal sebagai pengelola duniasantri.co), beliau mengutarakan
rencana membuat wadah jurnalisme santri. Platform media sosial ini akan
menampung pelbagai tulisan jurnalistik dari mereka yang berlatar belakang
santri pesantren. Ini dimaksudkan agar santri ikut mewarnai diskursus kebudayaan
Nusantara. Saya pernah diminta mengirimkan tulisan. Saya kirimkan sebuah
catatan lepas tentang sebuah ritual tradisi di sebuah desa di Ngawi.
Selang beberapa waktu kemudian, BE minta saya mengkopikan buku-buku terkait gerakan petani dan konflik agraria di Jember. Ada sekitar lima buku yang saya kirim. Sebaliknya, tanpa saya minta, BE ganti mengirimi saya tujuh buku terbitan Desantara ketika beliau masih memimpin lembaga ini. Lewat telpon, juga pesan WhatsApp, BE menuturkan sedang menelaah pemikiran Pierre Bourdieu dan Raymond Williams tentang kebudayaan. Saya belum paham benar untuk kegelisahan intelektual apa BE berkepentingan mengkaji pemikiran dua tokoh tersebut, hingga beberapa hari kemudian, malam tanggal 17 di bulan Agustus 2020, dalam situasi pandemi Covid 19, tengah malam, saya mendapat kabar BE tutup usia. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu.
Penulis: M. Ardiansyah
[i]
Heddy Shri Ahimsa Putra, “Etnosains
dan Etnometodologi: Sebuah Perbandingan”, Majalah Ilmu-ilmu Sosial Indonesia,
Agustus 1985, Jilid XII Nomor 2, Jakarta: LIPI, hal. 103-133.
[ii]
Anna Lowenhaupt Tsing, “Alien Romance”, dalam Fantasizing the Feminine in
Indonesia, edited by Laurie J. Sears, New York, USA: Duke University Press,
1996, hal. 295-318.
[iii]
___________________, Di Bawah Bayang-bayang Ratun Intan, Proses
Marjinalisasi Pada Masyarakat, terj. Achmad Fedyani Saefuddin (Jakarta:
Yayasan Obor, 1998).
[iv]
Clifford Geertz, Negara Teater, terj. Hartono Hadikusumo (Yogyakarta:
Yayasan Bentang Budaya, 2000).
[v] Dennys Lombart, Nusa Jawa: Silang Budaya,
terj. Winarsih Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat, Nini Hidayati Yusuf
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996).
[vi]
Bernard Arps, Tembang in Two Tradition: Performance and Interpretation of
Javanese Literature (London: University of London, 1992).
[vii] Ahmad
Ainur Rohman dkk, (ed)., Etnografi Gandrung: Pertarungan Identitas, (Jakarta:
Desantara, 2008)
[viii] Andrew
Beatty, Variasi Agama Jawa, terj.
AF Saefuddin, (Jakarta: RajaGRafindo Persada, 2001).
[ix]
Chris Barker, Kamus Kajian Budaya, terj. Hendar Putranto B.,
(Yogyakarta: Kanisius, 2014)
[x]
G.L. Koster, Mengembara Di Taman-taman
Yang Menggoda: Pembacaan Naratif Melayu.
[xi]
Nancy K. Florida, Menyurat Yang Silam
Menggurat Yang Menjelang (Bentang, 2003)
[xii] Daniel
Dakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2003), hal. 312.
[xiii] Ignas Kleden,
Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, (Jakarta: LP3ES, 1987), xiii.
[xiv] James
L. Peacock, Ritus Modernisasi: Aspek Sosial dan Simbolik Teater Rakyat
Indonesia, (Depok: Kajian Perempuan Desantara, 2005).
Posting Komentar