Studium Generale: Lokakarya Kebudayaan Nusantara dan Launching Academy Religion and Society

Studium Generale


Pagi itu, Rabu tanggal 1 Maret 2023, di  aula perpustakaan Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember  diselenggarakan Studium Generale (Kuliah Umum) dalam rangka Lokakarya Kebudayaan Nusantara dan Launching Academy Religion and Society (ARSY). Kuliah Umum  yang dimulai pukul 08.00 pagi dengan dibuka lantunan sholawat Nabi diiringi tabuhan rebana itu dihadiri peserta yang memenuhi aula perpustakaan. Dua orang narasumber, Kiai Jadul Maula, Ketua Umum Lembaga Budaya Seni Muslimin Indonesia (Lesbumi) dan Prof. Dr. Hisanori Kato, Ph.D, guru besar dari Universitas Chuo Tokyo, Jepang, dihadirkan pada Kuliah Umum yang mengetengahkan tema “Quo Vadis Kearifan Budaya Lokal Islam dalam Bayang-Bayang Budaya Global”.


Prof. Kato dikenal memiliki perhatian yang besar terhadap Islam dan masyarakat Indonesia. Pemahamannya tentang Islam dan masyarakat Indonesia tidak hanya dibentuk oleh penelitian-penelitian yang dilakukannya. Pengalaman tinggal di Indonesia selama sepuluh tahun yang membuatnya jatuh cinta pada Indonesia sehingga ingin menghabiskan masa pensiunnya di Indonesia juga membentuk pemahamannya tentang Islam dan masyarakat Indonesia. Wawasan Prof. Kato tentang Islam dan masyarakat Indonesia yang dibentuk oleh kajian ilmiah dan pengalaman nyata tersebut tertuang dalam, misalnya, dua buku yang berjudul Islam di Mata Orang Jepang: Ulil, Gus Dur sampai Ba’asyir (2014) dan Agama dan Peradaban (2002).


Dalam penelitiannya, Prof. Kato tidak hanya menggali dan berupaya memahami pemikiran dan praktik keislaman dari tokoh yang ia sebut sebagai representasi muslim society yang demokratis dan pluralis, yakni Gus Dur. Lebih dari itu, Prof. Kato berupaya memahami keaneka-ragaman dan pertentangan pemikiran dan praktik keislaman pada masyarakat Indonesia dengan mewawancarai Abu Bakar Ba’asyir yang merupakan pengasuh pondok pesantren Al Mukmin Solo, Ulil Abshar Abdalla (Jaringan Islam Liberal atau JIL) dan Ismail Yusanto (Hizbut Tahrir Indonesia atau HTI).


Barangkali untuk memberikan gambaran berdasarkan pengalamannya bahwa pada kelompok Islam yang dikenal paling keras dan dianggap tidak toleran sekalipun, seperti pesantren yang melahirkan seorang teroris bom Bali, Amrozi, masih terdapat celah penerimaan terhadap perbedaan, guru besar yang beragama Budha tersebut menceritakan pengalamannya saat bersentuhan pertama kali dengan pesantren Al Mukmin Solo. “Di pondok Al Mukmin ini, saya datang tanpa pemberitahuan. Lalu saya izin untuk menginap di sini beberapa waktu”, kata Prof. Kato. Sebelum menutup paparannya dengan terima kasih dalam bahasa Jawa, “matur nuwun”, Profesor yang berpendapat ada perbedaan signifikan antara orang Jepang dan Indonesia dalam memandang agama itu menyatakan bahwa ada nilai-nilai Islam yang bisa dipelajari oleh orang Jepang.

    

Sebagai narasumber kedua, Kiai Jadul Maula memulai paparannya dengan seloroh, “Saat pertama mendapat undangan, saya membaca ARSY ini dengan  عَرْش (baca: ‘arsy). Ya.. Saya ikut berdoa, semoga ARSY ini menjadi tinggi seperti عَرْش. Menurut Kiai pengasuh pondok pesantren Kaliopak Yogyakarta itu, pendirian suatu lembaga penelitian merupakan keputusan besar pada zaman saat banyak orang malas menggunakan akalnya karena keberadaan Chat GPT yang berbasis mesin Artificial Intellegent (AI) saat ini. Penelitian atau riset adalah upaya penolakan atas gelombang pendangkalan dan dehumanisasi yang diimplikasikan oleh pencapaian teknologi informasi dan komunikasi mutakhir.


Berkait dengan fenomena pendangkalan dan dehumanisasi yang didampakan oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, ketua Lesbumi periode 2022 – 2027 itu menceritakan kisah tiga orang putra Resi Gautama yang berubah menjadi kera karena berebut sebuah benda yang dapat digunakan untuk melihat dunia. Tiga bersaudara itu menangis saat menyadari telah berubah menjadi kera akibat berebut benda ajaib yang dilempar ke telaga Madirda oleh Resi Gautama. Ketika mereka memohon untuk dapat kembali menjadi manusia, Resi Gautama berkata, “Jika kalian ingin kembali menjadi manusia, maka kalian harus bertapa”. Pelajaran yang dapat ditarik dari kisah tersebut, menurut Kiai Jadul Maula, adalah benda ajaib yang diasosiasikan sebagai gadget yang dapat menggenggam dunia tersebut seharusnya tidak digunakan dengan serampangan. Pengguna gadget harus bersikap laksana seorang pertapa yang mampu mengendalikan diri atau zuhud dalam istilah tasawuf. Jika seorang pengguna bersikap sebaliknya, larut dalam dunia sensasional dan beragam permainan yang diciptakan dan disediakan oleh gadget, maka hanya pendangkalan dan dehumanisasi yang harus diterima sebagai akibatnya.


Beranjak dari problem gadget, Kiai Jadul Maula beralih bahasan mengenai Islam Nusantara yang seringkali diidentikan dengan budaya Islam lokal. Dengan gaya polemis Kiai Jadul Maula mempertanyakan penyebutan budaya Islam lokal dengan mempertentangkannya pada sejarah penyebaran Islam di Nusantara. “Apakah penyebutan ini (budaya Islam lokal) benar atau tidak?”, gugat Kiai Jadul Maula. “Saya kadang protes jika Nusantara disebut lokal. Kita  sebagai peneliti atau mahasiswa harus memberi catatan bahwa budaya kita adalah jejak dari dakwahnya para ulama, para Aulia’ yg bersifat global dan nilainya universal”, terangnya. Selanjutnya Kiai Jadul Maula mengingatkan bahwa penyebar ajaran agama Islam di Nusantara, Wali Songo, berasal dari berbegai negara, dari Champa, Maghribi, sampai Afrika Utara. Penyebaran agama Islam yang dilakukan para diaspora global itu membentuk nilai kearifan dalam Islam Nusantara dan mendasari tujuannya untuk menciptakan manusia dan masyarakat yang mempunyai pemikiran universal. “Saya menolak mendefinisikan Islam Nusantara sebagai budaya lokal, itu mengecilkan. Kita Garuda bukan Emprit. Indomie saja bisa go internasional”, tandas Kiai Jadul Maula yang disambut ledakan tawa hadirin.


Paralel dengan penyebar agama Islam yang merupakan para diaspora global, Kiai Jadul Maula juga menekankan watak global yang bersemayam dalam tiga epos kesusastraan lama yang menyebar dan mempengaruhi secara mendalam kehidupan masyarakat Nusantara di masa lalu. Tiga epos itu adalah Mahabharata dari tanah Hindustan, India; Hikayat Amir Hamzah dari Persia, dan cerita Panji dari Jawa Timur. Perihal cerita Panji, Kyai Jadul Maula menyoroti pengaruh produk kesusastraan Nusantara itu yang menyebar di kawasan Asia Tenggara daratan dan pengakuannya sebagai memory of the World (Ingatan Dunia) oleh UNESCO. Sedangkan kesenian yang telah berstatus sebagai Pusaka Dunia, Wayang, menjadi bukti bahwa metode dakwah Islam yang dilakukan oleh para ulama dan aulia bersifat lentur berdasarkan lakon-lakon Wayang yang banyak diadaptasi dari cerita-cerita dalam Mahabharata. Bagi Kiai Jadul Maula, karakter global dan nilai universal budaya Islam Nusantara tersebut dapat menjadi kekuatan diplomasi kebudayaan dan dapat memberikan arah dalam mengarungi perubahan global, bila kita sadari dan kelola dengan baik.


Sebelumnya Kiai Jadul Maula juga menjelaskan bahwa metode dakwah dengan menggunakan bentuk kesenian adalah praksis dari metodologi berpikir bayani (metodologi berpikir berdasarkan teks), irfani (metodologi berpikir berdasarkan pengalaman langsung), dan burhani (metodologi berpikir bedasarkan logika atau nalar yang runtut). Oleh karena itu, produk kesenian yang menjadi medium dakwah para wali sebaiknya dimaknai melalui pendekatan dengan mengasosiasikannya sebagai teks, pengalaman langsung ketubuhan, dan penalaran.


Setelah paparan materi kuliah umum dan sebelum sesi diskusi dengan peserta, acara dilanjutkan dengan launching secara simbolis Academy Religion and Society (ARSY) oleh dua orang narasumber. Acara launching kemudian dirangkai dengan penyerahan cinderamata berupa blangkon kepada Prof. Kato dan Kiai Jadul Maula. Profesor Kato dengan bangga mengenakan blangkon tersebut. Sedangkan Kiai Jadul Maula tanpa canggung melepas songkok dari kepala dan menggantinya dengan blangkon.


Penulis: Muhammad Nu'man Fauzi

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama