Sehari Empat Kota

Sehari Empat Kota



Hari itu, sedianya empat tempat yang ingin saya tuju: perpustakaan Pataba di Blora, makam Ki Ageng Selo di Grobogan, makam Mas Karebet di Sragen, dan makam Ronggowarsito di Klaten. Seharusnya sudah sejak pagi hari Rabu, 21 Desember 2022, saya berangkat. Namun, lelah sehabis perjalanan naik bus Jember-Jakarta dan Jakarta-Ngawi belum hilang benar. Badan terasa pegal-pegal, dan pagi itu saya merebahkan diri hingga siang menjelang.


Saya putuskan berangkat, tepat jam sepuluh tiga puluh, mengendarai sepeda motor. Dari Jambangan, saya melaju ke arah utara kota, melintas Bengawan Solo yang membelah kota Ngawi. Sungai ini saya kenal lewat lagu berjenis keroncong ciptaan Gesang Martohartono: Bengawan Solo. Saya tidak tahu apa kelebihan lagu yang bercerita tentang sungai terpanjang di Jawa ini. Tapi, konon, lagu yang diciptakan tahun 1940 ini menjadi terkenal hingga diterjemahkan ke berbagai bahasa di Asia karena sumbangsih tentara Jepang.

 

Hanya beberapa kilometer di sebelah barat jembatan yang saya lintasi, di lembah sungai Bengawan Solo, situs Trinil berada. Situs paleoantropologi ini, lebih dari lagu Bengawan Solo, bahkan dikenal dunia karena ditemukannya fosil tengkorak “manusia Jawa” purba (phitecanthrophus erectus) pada tahun 1891 oleh tim yang dipimpin Eugene Dubois, seorang ahli anatomi berkebangsaan Belanda. Beberapa kilometer lagi ke barat, masih di lembah sungai yang sama, di Sangiran, juga ditemukan fosil manusia purba, juga berbagai alat produksi yang digunakannya, sehingga menjadi pusat kajian manusia purba dan kajian evolusi manusia terbesar di Asia. Fosil vertebrata di Sangiran ditemukan pertama kali oleh P.E.C. Schemulling pada tahun 1864, dan dilanjutkan oleh Gustav Heinrich Ralp von Koenigswald pada tahun 1930-an dengan lebih banyak lagi temuan berbagai fosil Homo Erectus.


Tanpa bantuan GPS, saya melajukan sepeda motor, memilih bukan jalan utama menuju Blora. Ada dua jalan utama sebenarnya dari Ngawi ke Blora: lewat Ngawi-Padangan-Cepu atau lewat jalan tembus Banjarejo-Getas-Randublatung. Namun, tanpa alasan yang jelas, saya memilih melewati bukan jalur resmi: lewat kawasan hutan dan perbukitan di sepanjang aliran sungai Bengawan Solo. Setelah melewati jembatan Ngunengan, terus ke utara arah timur laut hingga memasuki desa Megeri, Ngeblak, Nginggil, Ngrawoh, dan berujung di Mendenrejo, semuanya berada di kecamatan Kradenan Blora. Puluhan kilometer jalanan yang saya lalui sebagian besar merupakan jalan aspal yang telah hancur, sesekali bertemu jalan cor atau paving, sebagiannya lagi masih berupa jalan tanah yang mengandung unsur kapur. Dengan topografi berbukit-bukit, jalanan penghubung lima desa yang berada di tengah kawasan hutan ini berkelok-kelok, menanjak dan menurun, mengikuti daerah aliran sungai Bengawan Solo. Di sepanjang jalan, jika menoleh ke kanan, tampak pemandangan aliran sungai Bengawan Solo yang mengular dengan airnya yang berwarna coklat pekat.

 

Melewati desa-desa itu, saya teringat ungkapan Tosun B. tentang desa Balgat, Turki: “Desa ini benar-benar mandul! Warna di mana-mana adalah kelabu, demikian juga warna debu di atas dipan tempat saya menulis sekarang ini.” Tosun turut serta dalam proyek  penelitian mengenai proses perubahan sosial, tepatnya modernisasi, di negara-negara di kawasan Timur Tengah era ‘1950an. Ia mendapat tugas wawancara ke desa-desa, dan ia menemukan Balgat sebagai prototipe kehidupan desa tempo-dulu yang beku dan lapuk di tengah arus modernisasi Turki.

 

“Saya sudah menyaksikan cukup banyak desa di daerah pegunungan tandus di bagian timur, tapi tak ada yang sehambar dan sekumal desa Balgat ini. Sebenarnya dibutuhkan waktu tak lebih dari setengah jam untuk perjalanan dengan mobil dari desa ini ke Ankara kalau saja ada jalan raya. Tetapi dalam kenyataannya dibutuhkan dua jam untuk itu karena jalan raya boleh dikatakan tak ada sama sekali, dan desa itu betul-betul terlupakan serta terkucil padahal letaknya begitu dekat.”

(Daniel Lerner: 1978)

 

Kata-kata Tosun mewakili gambaran desa-desa di sepanjang aliran Bengawan Solo yang saya lalui. Saya sama sekali tidak mengenali desa-desa ini sebelumnya. Hari itu untuk kali pertama saya melewatinya. Meskipun kesan yang saya tangkap adalah kehidupan desa yang suram dan terbelakang, namun tidak sebagaimana persepsi Tosun mengenai Balgat, saya tidak berani menyimpulkan bahwa desa-desa ini hidup tanpa harapan akan hari depan yang lebih baik.


Saat saya melewati desa-desa ini, cuaca sangat cerah. Namun, sepanjang perjalanan dengan jarak tempuh puluhan kilometer, saya berpapasan dengan kendaraan bermotor yang bisa dihitung dengan jari. Bahkan, kalau tak salah ingat, hanya dua mobil yang saya jumpai: mobil operasional desa yang kebetulan sedang mengantar pulang orang sakit (dari arah Ngawi) dan mobil operasional Kementerian Lingkungan Hidup dengan plat nomor B dari arah yang berlawanan (Blora). Keduanya mobil aset negara. Yang pertama seolah ingin memerikan bahwa bagi siapa pun yang sakit, menggunakan kendaraan roda untuk berobat dua berisiko tinggi. Untuk mobil yang saya sebut terakhir, kehadirannya seolah hendak menegaskan bahwa kawasan ini berada dalam kontrol negara.


Sepanjang perjalanan, sejauh mata memandang, tampak hamparan perbukitan dan atau tanah –mengandung kapur dan pasir- bergunung-gunung yang gundul, sebagian ditanami tanaman palawija seperti jagung, kedelai, kacang tanah dan tebu. Tanah liat berkapur dan juga berpasir, Lapisan humus tipis sekali mengingat air hujan yang di permukaan tanah langsung mengalir ke sungai Bengawan Solo. Itulah sebabnya sungai yang berhulu di Gunung Lawu ini airnya menjadi keruh dan berwarna kecoklatan.


Nyaris semua rumah yang saya temui terbuat dari papan kayu yang diambil dari hutan jati yang kian menyempit di kawasan itu. Di siang hari, warga lebih memilih bermalas-malasan dan tiduran di luar rumah, karena udara di dalam pengap. Rumah-rumah warga membentuk kelompok-kelompok. Satu kelompok rumah dengan kelompok rumah lainnya bisa berjarak dalam hitungan kilometer sehingga sepanjang perjalanan lebih banyak bertemu dengan bulakan ketimbang permukiman penduduk. Dan, memang, jumlah penduduk di kawasan itu sangat sedikit. Bahkan, di desa Nginggil yang berada di tengah kawasan yang saya lewati, dengan luas wilayah 12.18 kilometer persegi hanya dihuni oleh kurang dari lima ratus jiwa. 


Tak sampai belasan kilometer dari kota Ngawi, saya sudah memasuki wilayah kabupaten Blora. Itulah alasan orang-orang di desa-desa di wilayah Blora bagian selatan ini lebih memilih ke Ngawi daripada ke Blora untuk banyak urusan. Bahkan, kalau toh terpaksa harus ke pusat kecamatan atau kota Blora,  mereka lebih memilih memutar lewat Ngawi. Waktu tempuh ke pusat kota Blora empat kali lipat lebih lama ketimbang ke Ngawi. 


Sejak dari awal berangkat, saya memakai sarung. Pengalaman saya menjelajah desa-desa di Jember, memakai sarung adalah sebentuk naturalisasi, siasat untuk menyatu dengan kehidupan masyarakat desa. Namun, kali ini, sarung rupanya membuat saya –mungkin- justru tampak asing bagi penduduk di sepanjang kawasan yang saya lalui. Saat berpapasan dengan pengendara lain, sebagian mereka berusaha menyapa dengan membunyikan klakson dan sedikit menganggukkan kepala meski terlihat canggung. Ada juga yang seperti berusaha menghindar. Terlebih ketika saya bertanya kepada beberapa warga untuk rute yang sebaiknya saya lalui, mereka menjawab dengan tak berpanjang kata seperti tidak ingin saya berhenti lama. Dua tanggapan yang saya tidak bisa pastikan oleh sebab sarung atau entah apa. Tapi tampaknya di Ngawi, dan mungkin juga Blora, sarung menjadi identitas santri dan hanya dijumpai di lingkungan pesantren.  


Megeri adalah desa pertama yang saya lalui kala memasuki wilayah kabupaten Blora. Tak ada hal yang menarik minat saya untuk berlama-lama di desa ini hingga saya memasuki desa berikutnya, Ngeblak. Tidak jauh berbeda dengan Megeri, desa ini tampak begitu kusam. Sebuah SMP Negeri satu atap berdiri di sini, dengan halaman sekolah yang tanahnya memutih mengandung kapur, tanpa tanaman dan nyaris tanpa pepohonan. Lantai sekolah lebih rendah dari halamannya. Sebuah plang papan nama berdiri ringkih di tengah halaman. Begitu pula dengan sekolah taman kanak-kanak, plang papan namanya entah kenapa dibiarkan miring. Hanya poliklinik kesehatan desa yang bangunannya masih terawat baik. Saat saya lewat pintunya terbuka, namun sepi, hanya terlihat sebuah sepeda motor terparkir.


Di dusun Kalikangkung, saya berhenti di depan sebuah rumah kayu, bertanya arah menuju Blora kepada sepasang suami istri dan dua orang tua lainnya yang sedang bersantai di halaman rumah, di atas kayu-kayu glondongan yang melapuk yang dijajar untuk tempat duduk. Kami langsung merasa akrab, seolah sudah pernah kenal sebelumnya. Mereka menceritakan kehidupan di sana, tentang mata pencaharian menjadi petani palawija di ladang, terutama jagung, dan ketergantungan mereka terhadap ‘bos besar’ yang mencukupi segala kebutuhan bibit, pupuk, sekaligus mengambil dan menentukan harga jual hasil panen. Mereka juga menyinggung keberadaan UGM di sana dengan nada satir, yang menanam pohon-pohon berbuah, tapi oleh masyarakat dibiarkan mati. Sejauh itu saya tidak paham benar apa yang mereka maksudkan dengan ‘milik UGM’.


Saya kemudian melanjutkan perjalanan. Tak jauh dari tempat saya berhenti tadi, satu papan nama yang berdiri di tanah yang lebih tinggi dari jalan, yang hampir terhalang oleh rerumputan yang meninggi, menarik perhatian saya. Di situ tertulis:

 

CAGAR BUDAYA

“Situs Ngandong”

 

Lokasi Penelitian G.H.R. Van Koeningswald,

C. Ter Harr dan W.F.F Oppenoorth tahun 1931

Situs ini dilindungi UU RI No. JI Tahun 2010

Tentang Cagar Budaya

 

DINPORABUDPRA KAB. BLORA

 

Belum pernah saya mendengar situs ini, tentu karena terbatasnya wawasan pengetahuan saya. Namun nama van Koeningswald menghubungkan saya dengan situs Sangiran di Sragen sebagaimana telah disinggung di awal tulisan ini. Situs Ngandong rupanya salah satu lokasi penelitian arkeologi tempat ditemukannya fosil-fosil manusia purba yang lebih berevolusi dan lebih maju dibanding temuan fosil serupa yang ditemukan di Trinil maupun Sangiran. Situs ini berada di tepi bantaran daerah aliran sungai Bengawan Solo, ke arah hilir, penanda bahwa sepanjang aliran Bengawan Solo pernah menjadi tempat tinggal manusia purba (Homo Erectus) di Jawa. Ada jejak peradaban besar di sini, bahkan konon menyumbang bagian terbesar dari fosil-fosil yang pernah ditemukan di dunia.


Beberapa meter di belakang plang papan nama, berdiri sebuah rumah peninggalan Belanda. Saya memarkir motor di depan halaman rumah yang cukup luas. Rumah yang sekitar tahun awal 30-an menjadi basecamp van Koeningswald dan kawan-kawan selama melakukan penelitian di Ngandong itu kondisinya sangat memprihatinkan. Dinding rumah di sana-sini tampak rapuh, bahkan sebagian atapnya ambruk. Sebuah pohon besar dan rindang berdiri kokoh di depan. Halaman rumah dipenuhi rumput ilalang dan semak belukar, sehingga menampilkan kesan angker.


Benar, saya melihat gambaran yang paradoks. Salah satu pusat peradaban dan basis riset dunia itu kini menjadi kawasan tandus dan miskin. Jejak peradaban itu memudar. Saya tidak sempat bertanya terkait keberadaan rumah yang dulu menjadi stasiun riset itu ke warga sekitar, sekedar ingin tahu apa arti bangunan peninggalan Belanda itu bagi mereka, juga apa pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat di sana. Saya juga tidak melihat jejak inisiatif warga untuk merawat bangunan itu walaupun ada beberapa rumah sebenarnya yang berdekatan dengan bangunan Belanda ini. Namun suasana saat itu tampak sunyi, tak terlihat seorang pun lalu lalang di antara rumah-rumah warga.

Di rute berikutnya, di salah satu sudut pertigaan jalan, saya melihat satu plang bertuliskan:

 

KAWASAN HUTAN DENGAN TUJUAN KHUSUS

UNIVERSITAS GADJAH MADA

(KHDTK UGM)

HUTAN WENGKON DESA (HWD)

 NGINGGIL

DILARANG MEMBUKA LAHAN UNTUK KEPENTINGAN APAPUN TANPA SEIJIN UGM DAN PEMERINTAH DESA NGINGGIL

 

Tulisan “DILARANG MEMBUKA LAHAN UNTUK KEPENTINGAN APAPUN TANPA SEIJIN UGM” ditulis menggunakan cat warna merah, selebihnya menggunakan warna hitam. Warna merah biasanya diasosiasikan dengan keberanian, kemarahan, atau pusat perhatian. Yang menarik perhatian khusus saya, bahwa ada tulisan dalam bahasa Jawa menggunakan spidol warna hitam yang disematkan di antara tulisan resmi di atas, persis di atas “Hutan Wengkon Desa” (HWD) yang berbunyi: “Kancane Yo Dipikir…” (temannya ya dipikirkan). Entah siapa yang menulis, juga siapa yang dimaksud dengan “kancane” (temannya), juga “dipikir” (dipikirkan). Bisa dipastikan tulisan itu ditambahkan oleh ‘pihak lain’, mungkin semacam coretan dinding. Soal coretan dinding, mengingatkan saya pada satu judul lagu yang sama karya Iwan Fals. Saya kutipkan liriknya:

 

CORETAN DINDING

 

Coretan di dinding membuat resah

Resah hati pencoret mungkin ingin tampil

Tapi lebih resah pembaca coretannya

Sebab coretan dinding

Adalah pemberontakan kucing hitam

Yang terpojok di setiap sampah

Di tiap kota

 

Cakarnya siap dengan kuku-kuku tajam

Matanya menyala mengawasi gerak musuhnya

Musuhnya adalah penindas

Yang menganggap remeh

Coretan dinding kota

 

Apakah coretan itu sejenis ‘pemberontakan’? Tapi siapakah ‘kucing hitam yang terpojok di tempat sampah’? Siapa pula ‘penindas yang menganggap remeh coretan dinding’? Saya jadi ingat apa obrolan saya dengan beberapa warga di Kalikangkung sebelumnya, mereka menyebut “milik UGM” dengan ekspresi yang tidak biasa. Tidak jelas apa kaitan ungkapan itu dengan plang di atas. Tapi sepertinya ada ‘sesuatu’ entah apa.


Saya segera berlalu dari situ. Lalu berhenti di jalanan yang berkelok dan sedikit menanjak setelah berjalan beberapa kilometer dari tempat berhenti sebelumnya. Pepohonan yang rindang menaungi jalan, tempat yang pas untuk berteduh dari terik matahari yang menyengat. Sebotol air mineral saya teguk. Lega rasanya tenggorokan yang sekian waktu sebelumnya mengering.


Saya membentangkan pandangan, menikmati panorama alam sekitar. Di sisi kanan jalan tampak sungai Bengawan Solo meliuk membelah hutan -yang sesungguhnya tidak lagi seperti hutan. Di sisi kiri, sebuah bukit dengan pepohonan yang cukup rimbun dan menaungi seolah menjadi oase bagi siapa pun yang menempuh perjalanan di sepanjang kawasan itu di tengah hari yang terik. Suasana begitu sunyi, senyap, sepi. Ada beberapa anak tangga menuju ke atas bukit. Tampak beberapa rumah kijing di antara pepohonan yang rindang. Saya baru menyadari kalau bukit itu ternyata kompleks pemakaman. Segera saya berlalu dari situ.

Satu plang lagi saya jumpai di titik berikutnya, di perbukitan sisi kiri jalan, dengan latar warna putih dan tulisan warna hitam, berbunyi:

 

KAWASAN HUTAN DENGAN TUJUAN KHUSUS

UNIVERSITAS GADJAH MADA

(KHDTK UGM)

HUTAN WETON DESA (HWD)

NGINGGIL

DILARANG MEMBAKAR LAHAN DAN MERUSAK TANAMAN

SESARENGAN MBANGUNG ALAS BLORA

 

Di sebelahnya terdapat plang warna latar hijau dengan tulisan warna putih berbunyi:

 

FAKULTAS KEHUTANAN UGM

kerjasama dengan

PT. ADIDAYA TANGGUH

PENANAMAN REHABILITASI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)

 

Nama Pekerjaan: Penanaman Rehabilitasi DAS

SK IPPKH                              : No. 6/1/IPPKH-PB/2017 Tanggal 9 Juni 2017

SK Rehabilitasi DAS                        : No. 7299/MenLHK-PKTL/REN/OTL.0/2019

              Tanggal 6 September 2019

Lokasi                                                : Hutan Wengkon Desa Nginggil KHDTK UGM

                                                  Petak 109 & 110

Luas                                       : 64,98 Ha

Tahun Tanam                       : 2021

Pola Tanam                           : Agroforesty

Jenis Tanaman                      : Kayu Putih, Nangka, Jambu Mete, Jati, Petai

Jumlah Tanaman per Ha     : 500 batang

Sumber Pendanaan              : PT Adidaya Tangguh

Pelaksana Kegiatan             : Fakultas Kehutanan UGM kerjasama dengan

                                                  KTH Nginggil Lancar 1 Desa Nginggil

 

Saya tahu UGM, kampus tua dan terbesar di Yogyakarta itu. Tapi tidak dengan PT. Adidaya Tangguh. Saat berselancar di dunia maya dengan kata kunci PT. Adidaya Tangguh, saya menemukan sedikit informasi tentang perseroan dengan nama yang sama yang tak lain perusahaan tambang bijih besi. Saya tidak bisa memastikan apakah perusahaan tambang ini yang menjadi mitra kerja UGM. Mungkin bukan. Tapi jika benar, maka apa hubungan tambang dan rehabilitasi hutan? SK Rehabilitasi dikeluarkan oleh MenLHK, dan itulah yang menjelaskan pertemuan saya dengan mobil 4x4 warna hijau militer milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia yang melaju cepat sebagaimana yang saya ceritakan di awal tulisan.


Di Nginggil, saya mendapati sekolah dasar yang pagar temboknya di beberapa bagian hancur dan patah, gapuranya miring dan hampir roboh. Sekolah ini bersebelahan dengan kantor desa. Saat itu saya tidak melihat satu pun anak atau orang dewasa di sekolah. Mungkin kegiatan belajar-mengajar telah usai. Desa ini memang sepi penduduk, dan konon merupakan desa dengan jumlah penduduk paling sedikit di Kabupaten Blora.


Keluar dari Nginggil, saya memasuki Desa Ngrawoh. Sebuah gapura menjadi pembatas Desa Nginggil dan Ngrawoh. Di kanan-kiri, sebelum memasuki pusat desa, hamparan perbukitan minus pepohonan membentang luas. Di kawasan ini saya juga menjumpai plang yang sama dengan di Desa Nginggil, hanya berbeda nama lokasi dan luas lahan. Saya melewati kantor desa yang bangunannya cukup artistik. Bangunan utama berbentuk joglo limasan, dinding gapura papan nama yang tulisannya warna warni, juga satu sign board yang berdiri di sebelahnya, mirip yang terpasang di SPBU. Persis di samping kanan balai desa, rumah joglo dengan desain atap pelana berlapis berdiri memanjang ke samping. Rumah kayu itu berfungsi sebagai rumah sekaligus warung kopi. Seperti suasana di desa sebelumnya, suasana di sini sangat sepi. Tak seorang pun terlihat baik di kantor desa maupun di warung kopi, kecuali dua sepeda motor yang terparkir di teras warung.


Hingga saya menemukan sebuah warung di sisi kiri jalan, di bawah sebuah pohon besar nan rindang, yang akarnya malang melintang menyembul ke permukaan tanah. Di sisi lainnya, rimbunan pohon bambu menaungi. Di sisi belakang terhampar pematang sawah, dan tampak berdiri sebuah kandang panggung terbuat dari papan kayu. Saya berhenti. Ibu pemilik warung yang sedang duduk santai segera berdiri dan berbenah. Saya memesan secangkir kopi. Saya memilih kopi bubuk buatan sendiri ketimbang sasetan. Ibu itu dengan cekatan memanaskan air.


Udara di sekitar warung sangat sejuk. Angin berhembus semilir. Kecuali saya, tak ada pembeli satu pun. Meja dan kursi kayu panjang kosong melompong. Saya merebahkan diri di kursi. Tiga jam waktu tempuh saya semenjak dari titik berangkat di Ngawi. Selama itu pula terpapar sinar matahari yang terik. Saat kopi dihidangkan, saya membuka sebungkus cilok yang saya bawa dari rumah. Ibu itu saya tawari, tapi menolak dan malahan memaksa menawarkan sepiring nasi untuk dimakan. Warung itu tidak menjual nasi. Karena itu saya menolak tawaran si ibu dengan halus. Ibu itu terus memaksa. Saya tidak bergeming dan tetap hanya makan cilok.


Ibu pemilik warung yang sudah lanjut usia itu menemani saya, tanya sana-sini seputar saya, dan bercerita banyak hal tentang diri dan kampungnya. Di senja hidupnya, pengakuannya, ia telah menemukan ketenangan dan ketentraman. Ia bercerita banyak tentang pengalaman hidupnya, tentang tahajudnya di setiap malam, tentang kepasrahannya kepada Yang Kuasa, tentang keprihatinannya pada orang-orang di kampungnya yang masih bergulat dengan kehidupan materiilnya, meskipun hanya sebagai petani, juga cerita tentang anak dan keponakannya yang lulusan pesantren di Gresik dan Banyuwangi, dan sekarang mengajar anak-anak mengaji. Saya seperti mendengar suatu kisah perjalanan spiritual, juga suatu arus kecil    perubahan sosial keagamaan di sana. 


Entah, ia begitu terbuka mengungkap ihwal religiusitas dan bahkan pengalaman spiritualnya. Mungkin karena saat itu saya mengenakan sarung, yang dalam budaya tertentu dihubungkan dengan identitas santri, padahal saya memakainya sebatas mode pakaian yang bagi saya simpel. Namun obrolan berikutnya ia membawa saya memasuki masa silam, pertengahan ’60-an, suatu periode paling kontroversial dalam sejarah perjalanan bangsa. Mbah Yat, begitu dia minta dipanggil, menuturkan apa yang ia saksikan, juga yang ia dengar, mengenai peristiwa dan lebih-lebih satu sosok yang terekam kuat dalam ingatan kolektif masyarakat terutama di kawasan perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah: Mbah Suro Nginggil. Nama ini begitu melegenda, mengingatkan saya, dalam lingkup kawasan yang lebih kecil, pada tokoh Sogol yang cukup populer di kawasan Jember bagian selatan. 


Di usia yang belum genap lima belas tahun, Mbah Yat menyaksikan pelbagai peristiwa, juga kisah yang memilukan. Di sepanjang aliran sungai Bengawan Solo itu, tuturnya, tak sedikit dijumpai tubuh-tubuh manusia yang timbul tenggelam, orang-orang yang dianggap terafiliasi dengan PKI yang konon setelah dieksekusi dibuang ke sungai. Masa-masa itu, penduduk tidak ada yang berani makan ikan dari sungai Bengawan Solo. Suasana saat itu begitu mencekam. Tentang Mbah Suro, Mbah Yat menceritakan tentang sosok yang dikenal sakti dan kharismatik itu: berambut gondrong, kebal, memiliki banyak murid dan pengikut. Banyak orang datang dari jauh ke Nginggil ingin berguru, atau sekedar bertamu, ke Mbah Suro. “Nginggil dulu ramai, tidak sesunyi seperti sekarang ini”, kenangnya.


Saya mencoba melacak nama Mbah Suro Nginggil di internet. Ternyata nama ini beberapa bulan yang lalu banyak disebut-sebut terkait peristiwa jatuhnya pesawat T50i Golden Eagle milik TNI AU di Desa Nginggil pada 18 Juli 2022. Saya sendiri tidak mengetahui sebelumnya perihal kecelakan pesawat tersebut. Lokasi jatuhnya pesawat berada di dekat pertapaan Mbah Suro Nginggil yang dikenal wingit oleh masyarakat setempat. Entah bagaimana peristiwa kecelakaan itu dimistifikasi dan dihubung-hubungkan dengan keberadaan tempat pertapaan Mbah Suro Nginggil.


Mbah Suro Nginggil lahir pada 17 Maret 1921 di desa Nginggil yang tak begitu jauh dari tempat tinggal orang-orang Samin di Blora. Ia pernah menjadi kepala Desa Nginggil selama enam belas tahun (1946-1962), mewarisi jabatan bapaknya yang juga menjadi kepala desa di masa kolonial. Sebelum memutuskan kembali ke Nginggil dan menjadi kepala desa, Mbah Suro Nginggil alias Muljono Surodihardjo adalah tentara ALRI dengan pangkat sersan. Setelah berhenti menjadi kepala desa, Mbah Suro mendirikan padepokan sebagai tempat pertapaan sekaligus praktik perdukunan. 


Ribuan orang yang terafiliasi dengan gerakan kiri pasca peristiwa ’65 mencari pelindungan sekaligus berguru ilmu kesaktian pada Mbah Suro, si Pendhito Gunung Kendeng. Pengikutnya tersebar di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, bahkan hingga ke batas timur pulau Jawa: Banyuwangi. Seperti ditulis Ramelan,[i] Desa Nginggil di akhir tahun ’60-an sangat ramai, laksana kota di tengah hutan. Namun sejak tahun 1967 desa ini kembali sunyi, hingga kini, akibat penumpasan lewat sebuah operasi militer.


Warung Mbah Yat jadi persinggahan terakhir sebelum saya akhirnya berhasil keluar ke jalan raya yang menghubungkan Ngawi dan Blora via Randublatung. Di pertigaan Mendenrejo, Kradenan, saya belok kiri, ke utara, arah Blora. Setelah menempuh belasan kilometer, di sebuah warung makan depan Pasar Rakyat Randublatung saya berhenti. Saya membeli nasi untuk makan siang. Di sini saya mengurungkan niatan ke Perpustakaan Pataba di kota Blora, dan memilih melanjutkan perjalanan ke Grobogan, menemui seorang kawan lama di sana.  Sebenarnya terbersit keinginan berkunjung ke Kediren Randublatung, desa kelahiran Ki Samin Surosentiko, tokoh gerakan anti pajak di era kolonial. Namun pengalaman saya memasuki daerah pegunungan dan hutan beberapa saat yang lalu membuat saya berpikir ulang untuk ke sana. Lagi pula, kawan di Grobogan meminta bertemu di Bledug Kuwu.


Saya lalu menyusuri jalan arah Grobogan. Mendung tebal menggelayut, tak lama kemudian hujan turun, cukup deras. Saya tetap melaju, berusaha segera mencapai titik pertemuan saya dan seorang kawan lama. Akhirnya kami bertemu di Kuwu, di sekitar Bledug Kuwu, fenomena alam unik berupa letupan lumpur mirip lapindo di Sidoarjo Jawa Timur. Dari mitologi yang berkembang, konon letupan lumpur ini berasal dari lubang yang menghubungkannya dengan laut selatan, yang tak lain adalah jalan pulang Jaka Linglung, putra Aji Saka, dari laut selatan menuju kerajaan Medang Kamulan. 


Hari sudah kelewat sore, menjelang petang. Dari Kuwu, berdua kami menuju ke makam murid Sunan Kalijaga, Ki Ageng Selo, di Desa Selo, Tawangharjo, Grobogan. Cicit Prabu Brawijaya dan leluhur raja-raja Mataram ini merupakan guru Mas Karebet alias Joko Tingkir, putra Ki Ageng Pengging alias Ki Kebo Kenanga, yang kemudian menjadi raja Kerajaan Pajang yang bergelar Sultan Hadiwijaya. Ada impresi khusus tentang Ki Ageng Selo; saya terhubung dengan salah satu episentrum Islam-Jawa. Kebetulan, beberapa waktu sebelumnya, lewat seseorang yang saya kenal sebagai sejarawan, budayawan, aktivis demokrasi dan kemanusiaan yang kerap bergabung dalam diskusi-diskusi Fordem (Forum Demokrasi) di era ‘90-an, yang belakangan memilih jalan sebagai salik, menghubungkan saya dengan para penjaga tradisi Islam-Jawa yang masih bertahan hingga hari ini di Banyuwangi. Di kota paling ujung timur pulau Jawa ini saya menemukan prototipe -meminjam M. C. Ricklefs- ‘Sintesis Mistik’,[ii] suatu bentuk rekonsiliasi identitas dan keyakinan Jawa dan Islam yang berkulminasi pada Serat Centini dan Pangeran Diponegoro. Sintesis Mistik (Harry J. Benda menyebutnya sinkretisme) kemudian berangsur pudar oleh arus gerakan reformasi Islam sejak paruh kedua abad ke-19 oleh kalangan haji yang memutus hubungan Islam di Jawa dengan sufisme India, dan mengalihkannya ke pusat Islam: Mekkah.[iii] Namun, Sintetik Mistik tidak pernah benar-benar pudar, alih-alih sirna, saya menemukannya di Ujung Timur Jawa itu.


Menjelang maghrib saya berziarah ke makam Ki Ageng Selo, lalu salat maghrib di masjid Ki Ageng Selo yang seluruh bangunannya terbuat dari kayu jati dan berasitektur joglo, dengan atap berbentuk segitiga sama kaki bersusun tiga. Memasuki ruangan dalam masjid petang itu seolah membawa saya kembali ke masa silam. Lampu penerangan remang, dan lantai masih menggunakan tegel lama berwarna kehitaman, namun kelihatan bersih dan mengkilap. Tak banyak peziarah hari itu, masjid cukup lengang.


Usai makan malam di sebuah warung tak jauh dari masjid Ki Ageng Selo, kami berpisah. Saya melanjutkan perjalanan ke Ngawi lewat Sragen. Jalur Grobogan-Sragen di malam hari cukup menguji nyali. Selain sangat minim penerangan, bahkan di jalur-jalur tertentu terutama memasuki kawasan hutan di wilayah Sragen gelap gulita, kondisi jalan banyak yang rusak parah. Ada problem infrastruktur. Meski berjalan di tengah malam yang sunyi, sepi, dan melalui kawasan hutan jati sepanjang puluhan kilometer, saya merasa aman. Hingga di pertengahan antara Kuwu Grobogan dan Sragen, sebelum memasuki Simo, saya menjumpai keramaian di desa yang sunyi dan gelap dan jarang penduduk. Ada perhelatan pesta perkawinan dan hiburan grup campursari asal Sragen.


Saya berhenti, ingin menikmati kemeriahan di desa yang sunyi. Saya menempati kursi yang kebetulan kosong. Namun tak lama kemudian seorang hansip menghampiri dan menanyakan ihwal kehadiran saya. Saya bilang sedang dalam perjalanan menuju Ngawi, dan karena ada pentas musik campursari, saya ingin berhenti ingin menonton. Ia sepertinya tak begitu saja  memahami alasan saya, dan dengan tatapan menyelidik, secara defensif dan diplomatis menyampaikan jika pesta perkawinan malam itu tidak diperkenankan ada unsur judi, mabuk-mabukan, atau keseronokan. Ia juga menyatakan sudah mengantongi ijin keramaian. Saya malah kebingungan. Dan saya baru menyadari, saya satu-satunya orang yang memakai sarung di perhelatan yang hampir seluruhnya dihariri kaum adam itu. Bisa jadi, sarung menjadi penanda identitas, menabalkan saya sebagai sosok orang asing di sana. Hanya sempat menikmati dua lagu, saya memutuskan melanjutkan perjalanan.


Saat baru meranjak pulang, sebuah lagu yang akrab betul di telinga saya mengalun: Grajagan Banyuwangi. Selama sebulan tinggal di Kemiren Banyuwangi empat tahun lalu, saya kerap mendengar lagu ini dengan iringan musik gandrung, tak jarang diiringi musik angklung. Tapi kali ini Grajagan Banyuwangi dilantunkan dengan iringan musik campursari. Saya sempat menoleh ke belakang, ke arah panggung, beberapa saat, lalu segera berlalu karena hansip tadi selalu mendampingi saya.

Di pertigaan Sragen, sempat terpikir berziarah ke makam Mas Karebet dan Ronggowarsito. Tapi rasa lelah yang luar biasa memaksa saya mengambil arah ke timur, Ngawi. Setelah mampir di warung angkringan yang sepi pembeli, menjelang subuh saya tiba kembali di titik keberangkatan pagi tadi.


Penulis: M. Ardiansyah


[i] Ramelan, Mbah Suro Nginggil, Jakarta: Matoa, 1967. 

[ii] Lihat M. C. Ricklefs, Mystic Synthesis in Java, A History of Islamization from The Fourteenth to The Early Nineteenth Centuries, Signature Books. Norwalk, CT: EastBridge Books, 2006. 

[iii] Bandingkan dengan Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980. 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama