Arsip yang saya ulas ini
saya peroleh suatu hari di bulan September 2012, di Cigugur, Kuningan. Rahadi,
orang yang membuat saya meminati dunia gerakan sosial, menawarkan untuk di-copy. Saat itu saya mampir di acara
pelatihan participatory action research.
“Ada satu catatan tentang pemberontakan dari bantaran kali Bedadung. Barangkali
kau bisa menuliskannya lebih panjang, merekonstruksinya, sebagai bagian dari
historiografi lokal”, harapnya, di sela-sela pelatihan. Saya membolak-balik
halaman, dan menemukan sebuah laporan berjudul “Gerakan Keagamaan Mistik KyaiAminah Di Curahwelut, Kaliwening, Rambipuji, Jember”.
Tak banyak yang bisa kami diskusikan saat itu. Laporan itu ditulis dalam bahasa Belanda dan merupakan satu dari laporan-laporan para pejabat kolonial Belanda tentang berbagai peristiwa yang terjadi di pelbagai daerah: Tangerang, Pamanukan, Ciasem, Sukabumi, Kuningan, Pekalongan, Semarang, Sidorejo, Gombong, Yogyakarta, Klaten, Sidoarjo, Kediri, dan lain-lain. Sebagian besar koleksi arsip laporan tersimpan di Algemeen Rijksarchief, Belanda, dan menjadi bahan dokumen penting Sartono Kartodirdjo saat menulis Protest Movement in Rural Java.[i] Nama Sartono Kartodirdjo, bagi saya, menjadi jaminan pentingnya arsip-arsip itu. Kumpulan arsip itu diberi judul Laporan-laporan Tentang Gerakan Protes Di Jawa Pada Abad XX.[ii]
Sartono merupakan perintis perspektif “poskolonial” dalam kajian historiografi Indonesia, yang disertasinya kini sudah menjadi klasik: Pemberontakan Petani Banten 1888.[iii] Ia menggugat pendekatan kovensional dalam historiografi kolonial yang abai melihat peran rakyat dan kaum tani dalam gerakan antikolonial. Historiografi kolonial abad IX lebih menekankan pada sejarah politik dan ekonomi, yang hanya mencatat perdebatan-perdebatan parlemen mengenai pembaharuan-pembaharuan kolonial dan kebijakan-kebijakan resmi pemerintah. Selain itu, historiografi kolonial cenderung melihat sejarah Indonesia hanya sebagai sambungan sejarah Belanda, dan karenanya, rakyat dianggap tidak memainkan peran aktif. Gerakan protes dan pemberontakan petani yang berulang kali terjadi dan bersifat endemik menjadi bukti tentang peranan historis oleh petani.[iv]
Tiga hari di Cigugur, memberi banyak pengetahuan tentang gerakan sosial, peta konflik agraria, juga yang tak kalah penting, kisah tentang perjuangan para penganut Agama Djawa Sunda, atau lebih populer dengan sebutan Sunda Wiwitan, dan sang tokoh legendarisnya: Kiai Madrais.[v] Agama ini sampai sekarang belum memperoleh pengakuan dari pemerintah. Saya juga menyempatkan berziarah ke makam Kiai Madrais. Selama tiga hari itu, di sela-sela kegiatan, saya membolak-balik laporan Asisten Residen Jember itu, namun karena kendala bahasa, tetap saja tak terbaca, meski nama-nama tempat yang disebut di arsip itu saya mengenalinya.
Setiba di Jember, saya
berusaha mencari jejak Kiai Aminah. Tak mudah ternyata mengungkap sejarah, yang
meski tak begitu silam, hanya mengandalkan sebuah arsip catatan kolonial yang
tak terbaca. Saya berusaha menelusurinya, bermodal nama tempat dan orang-orang
yang tersebut dalam laporan. Laporan itu ditulis pada 14 Januari 1907. Pada
tahun 1900-an Jember bagian dari Bondowoso yang dijadikan daerah perluasan
perkebunan dan irigasi oleh Belanda. Jember, sebagai kabupaten, dibentuk
berdasarkan Staatsblad Nomor 322
tanggal 9 Agustus 1928, dan sebagai dasar hukum mulai berlaku tanggal 1 Januari
1929. Sebelumnya, Sekretaris Umum Pemerintah Hindia Belanda (De Aglemeene Secretaris) G.R. Erdbrink,
21 Agustus 1928 menerbitkan ketentuan tentang penataan kembali pemerintah
desentralisasi di wilayah Provinsi Jawa Timur, antara lain dengan menunjuk Regenschap
Djember sebagai masyarakat kesatuan hukum yang berdiri sendiri.
Sungguh suatu upaya yang
tak mudah, berliku. Berbekal tanya sana-sini, saya akhirnya berhasil menemukan
desa di mana ia pernah tinggal, dengan gambaran geografis sebagaimana tertulis
dalam laporan. Lewat wawancara dengan beberapa warga setempat, satu versi
sejarah akhirnya saya peroleh, tetapi tentang Nyai Aminah, bukan Kiai Aminah
sebagaimana tertera dalam laporan. Nyai Aminah dikenal sebagai tokoh pergerakan
melawan kolonial yang wafat tahun 2001 yang lalu, dan konon berusia lebih dari
seratus tahun. Identifikasi Nyai Aminah sebagai tokoh pergerakan mendekati
benar. Namun informasi itu menjadi sumir, mengingat orang yang saya wawancarai
itu tidak satupun mengenal nama-nama seperti Kastawi, Roekaja alias Moedajat,
Kasan, Moealim, Moehamad, Pa Moeksin -nama-nama yang tertulis dan dihubungkan
dengan Kiai Aminah dalam laporan itu.
Orang-orang yang saya wawancarai terus saja bercerita, dengan nada yang heroik. Saya tetap mendengarkannya meski diliputi keraguan. Ia juga menunjukkan makam di mana Nyai Aminah disemayamkan. Makamnya berada di belakang masjid yang konon didirikan oleh Nyai Aminah bersama anak buahnya. Selain tokoh pejuang kemerdekaan, diceritakan pula bahwa Nyai Aminah berbaiat ke salah satu tarekat, yakni tarekat Naqsyabandiyah. Informasi itu memang bersinggungan dengan judul laporan: ”Gerakan Keagamaan Mistik Kiai Aminah…”, tetapi sebutan Nyai, dan tidak dikenalnya nama-nama lain yang tertera dalam laporan, juga usia Nyai Aminah yang menurut saya ‘melampaui batas’, mematahkan asumsi saya tentang sang tokoh. Kesimpulan saya: saya menemukan Aminah yang berbeda dari Aminah sebagaimana dalam laporan Belanda.
Isi Laporan
Beberapa minggu kemudian
arsip laporan itu berhasil diterjemahkan
meski tak sempurna. Pada 11 Juni 1906 J. Bosman, Asisten Residen Jember
mengirim sepucuk surat bernomor 7291 bagian 7 kepada
Residen Besuki, E.M. van de Berg van Heinenoord, yang berisi laporan peristiwa
pembunuhan salah seorang santri di pesantren Kiai Aminah Curahwelut, Kaliwining, Rambipuji. Para pelakunya
beberapa orang, di antaranya Kiai Aminah sendiri. Dalam suratnya, sang J.
Bosman menulis:
“Untuk
yang ketiga kalinya pada sore itu (waktu setempat) saya pergi ke Stasiun Kereta Api Rambipoedji di mana Wedono Kabupaten sudah menunggu dan kemudian
mengatakan bahwa pada hari itu telah terjadi pembunuhan terhadap penduduk
pribumi di halaman pesantren Kiai Aminah di Dusun Curah Welot, di
bawah kewenangan desa Kaliwining.
Penghulu
agama dari
Rambipoedji mendengar kejadian itu dan kemudian bersama dua pengikutnya pergi ke kediaman Kiai Aminah untuk memastikan kebenarannya. Sampai di sana dia melihat
sesosok tubuh manusia yang sudah mati. Kemudian dia segera kembali untuk melaporkan kejadian itu dan meminta bantuan polisi. Di tempat kejadian ada seorang guru yang ditemani
santrinya dengan sikap menantang mengatakan bahwa perang suci sudah
dikumandangkan.
Sementara
itu laporan dari
kabupaten dan penghulu agama menyatakan bahwa untuk
mempercepat penanganan perkara tersebut saya diajukan untuk terlibat dalam
penanganan kasus itu. Salinan laporan tersebut juga diberikan kepada Patih melalui layanan telegram khususnya tentang wacana perang suci. Dugaan
mengenai orang yang menyatakan perang suci “Perang Sabil” mengarah kepada Kiai
Aminah karena sikap dan perilakunya.”
Selanjutnya, surat itu menceritakan tentang penangkapan Kiai Aminah dan santrinya. Mereka dibawa ke kabupaten dengan pengawalan polisi, untuk selanjutnya menuju kantor kawedanan. Santri yang berhasil ditangkap berjumlah 48 orang, lainnya melarikan diri. Sepanjang jalan, tulis Bosman, Kiai Aminah tampak gelisah, kadang-kadang berteriak, lalu bergumam seperti berdoa. Menurut keterangan beberapa pejabat pribumi dan pejabat kabupaten, beberapa waktu belakangan ini Kiai Aminah memang sering bertingkah aneh, dan ada indikasi mengalami kegilaan.
Dalam persidangan, polisi
menghadirkan saksi-saksi untuk memutuskan siapa yang
bersalah dalam kasus itu. Akhirnya ditetapkanlah Kiai Aminah
dan enam pengikutnya sebagai pelaku pembunuhan terhadap Haji Abdullah, salah
seorang santri Kiai Aminah yang berasal dari Kendal. Tiga orang langsung dinyatakan
bersalah, dua lainnya ditangkap kemudian dan satu orang lagi masih dalam
perawatan rumah sakit akibat luka di kepala saat terjadi kericuhan dalam proses
penangkapan Kiai Aminah. Nama-nama tersangka dalam kasus pembunuhan tersebut
adalah Kiai Aminah, Kastawi, Roekaja alias Moedajat, Kasan, Moealim, Moehamad,
dan Moeksin.
Kiai Aminah tidak menerima
putusan pengadilan itu. Ia menampik tuduhan pembunuhan yang ditujukan
kepadanya. Apa yang dilakukannya, menurutnya, justru untuk menghilangkan setan
yang merasuki tubuh korban, yang ialah santrinya sendiri. Santri tersebut, kata
Kiai Aminah, memiliki ilmu hitam, santet. Haji Abdullah,
kata Kiai Aminah, pernah ke Banyuwangi dan tinggal di
sana selama sekitar satu bulan untuk belajar ilmu santet. Kiai Aminah menghendaki Haji
Abdullah kembali ke jalan yang benar dengan cara mengusir
kekuatan jahat yang bersarang di tubuhnya. Upaya
mengusir kekuatan jahat itu dilakukannya dengan cara menginjak mulut
dan wajah Haji Abdullah hingga menemui ajalnya. Sesuai hasil otopsi, dokter sipil A.
Vetheke memberikan keterangan bahwa penyebab
kematian Haji Abdullah diakibatkan oleh pecahnya
tengkorak, organ dalam, dan pendarahan internal.
Surat J. Bosman yang
berisi tentang peristiwa pembunuhan oleh kiai Aminah tersebut hanya salah satu
dari catatan rekaman atas sepak terjang Kiai Aminah dan santrinya oleh kolonial
Belanda saat itu.[vi]
Pemerintah kolonial, agaknya, sudah lama mengawasi gerak-gerik aneh dan
mencurigakan dari Kiai Aminah dan pengikutnya. Ada anggapan bahwa pesantren Kiai
Aminah di pinggir kali Bedadung di Kaliwining menjadi basis dari gerakan
pemberontakan melawan pemerintah kolonial. ‘Sikap menantang’ Kiai Aminah dan
para santrinya ketika Penghulu Rambipoedji
datang ke kediaman Kiai Aminah untuk memastikan apa yang terjadi terkait
peristiwa pembunuhan adalah sikap perlawanan terahadap pejabat pribumi yang
notabene menjadi bagian integral
pemerintah kolonial Belanda.[vii]
Di luar itu, wacana Perang
Sabil dan penyebutan Kiai Aminah sebagai ‘wali’ oleh para santrinya mengindikasikan
bahwa gerakan tersebut adalah gerakan mesianis. ‘Peristiwa pembunuhan’ dan
‘gerakan mesianis’ Kiai Aminah agaknya menjadi bagian dari fenomena gerakan
protes petani[viii]
yang terjadi di pedesaan di Jawa sepanjang abad XIX dan pada dekade awal abad
XX. Tentang huru-hara dan pemberontakan petani, Sartono Kartodirdjo mengatakan
bahwa “... pergolakan di seluruh Jawa cukup tinggi, pada dekade tertentu hampir
setiap tahun, seperti tahun-tahun 1820-an, 1860-an, 1880-an; di beberapa daerah
lebih menonjol, seperti di Banten, tanah Partikelir, Cirebon, daerah hilir
sungai Brantas dan sebagainya.”[ix]
Arti Penting Laporan
Laporan Asisten Residen
Jember tentang gerakan mistik Kiai Aminah ini penting dalam konteks
historiografi Jember. Ia menyoroti gerakan mistik keagamaan yang dipimpin Kiai
Aminah di Jember pada awal abad XX, sebuah daerah yang hingga kini masih
dipenuhi oleh pergolakan agraria. Meskipun gerakan ini berskala lokal, namun ia
agaknya merefleksikan persoalan yang lebih luas dan kompleks menyangkut
perubahan-perubahan struktur sosial di Jember dan kontestasi kekuasaan kelompok
elit yang mengiringinya, penggunaan kepercayaan dan ideologi tradisional
pemimpin gerakan untuk memperkuat pengaruh kekuasaan. Peristiwa Kiai Aminah, meminjam
Sartono, merupakan “arus bawah dari kejadian-kejadian politik besar, dan
merupakan indikator dari perubahan sosio-kultural yang terjadi pada periode Pax Neerlandica”.[x]
Penulis: M. Ardiansyah
[i] Sartono Kartodirdjo, Protest Movement in Rural Java, (Singapore:
Oxford, 1973).
[ii] Laporan-laporan Tentang Gerakan Protes Di
Jawa Pada Abad XX, Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta,
1981.
[iii] Sartono
Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi, Jalan Peristiwa dan
Kelanjutannya, Sebuah Studi Kasus Mengenai Gerakan Sosial di Indonesia,
terj. Hasan Basari, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984).
[iv] Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten, hal. 17.
[v] Beberapa laporan mengenai gerakan Kiai Madrais juga terekam dalam Laporan-laporan Tentang Gerakan Protes Di Jawa Pada Abad XX, dibawah judul “Gerakan Agama Jawa-Sunda Dari Madrais Di Kuningan Cirebon.
[vi] Dalam suratnya, Bosman juga menyitir dua laporan yang diajukan Wedono Rambipoedji No. 3596/30 bagian 7 bahwa Kiai Aminah dikultuskan sebagai wali oleh para pengikutnya. Laporan-laporan itu menunjukkan bahwa pejabat Kolonial memang telah memantau sepak terjang Kiai Aminah dan para santrinya.
[vii] Tentang Penghulu pada era kolonial, lihat Ibnu Qoyim Haji Ismail, Kiai Penghulu Jawa, Peranannya di Masa Kolonial, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997).
[viii] Istilah ‘protes/pemberontakan petani’ (peasant revolt), menurut Sartono Kartodirdjo, bukan berarti anggota gerakan seluruhnya dari petani. Dalam berbagai pemberontakan petani, pemimpinnya kebanyakan bukan dari petani biasa, melainkan dari kalangan pemuka agama, bangsawan, atau pemuka masyarakat lainnya yang berfungsi sebagai fokus identifikasi simbolis. Lihat Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, hal. 16.
[ix] Sartono Kartodirdjo, “Pendahuluan”, dalam Laporan-laporan Tentang Gerakan Protes Di Jawa Pada Abad XX, hal. xiii.
[x] Sartono Kartodirdjo, Protest Movement in Rural Java, (Singapore, Kuala Lumpur & Jakarta: Oxford University Press/ P.T. Indira, 1973), hal. 43-44. Pax Neerlandica mengacu pada periode kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia di mana ketentraman dan ketertiban harus ditegakkan di seluruh bumi Nusantara.
[xi] Sartono Kartodirdjo, Protest Movement in Rural Java.
[xii] G. W. J. Drewes, “Drie Javaansche Goeroes”, Hun Leven, Onderricht en Messias-Prediking, Leiden, 1925.
[xiii] Sartono, Pemberontakan Petani Banten 1888, hal.19.
[xiv] Selain kasus Jenggawah dan Ketajek, banyak kasus pergolakan agraria yang terjadi selama peridoe kemerdakaan, terutama sejak era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, seperti kasus Curahnongko Kecamatan Tempurejo, Pace Kecamtan Silo, Ungkalan Keecamatan Ambulu, dan di beberapa tempat lainnya.
[xv] Pembedaan ‘tradisional’ dan ‘modern’ gerakan sosial tersebut mengacu E.J., Primitive Rebels: Studies in Archaic Forms of Social Movement in the 19th and 20th Centuries, (Manchester; 1963), hal. 6. Gerakan sosial modern dicirikan oleh adanya organisasi, ideologi-ideologi modern, dan agitasi secara massif dan berskala nasional. Sementara gerakan sosial tradisional berciri lokal atau regional, endemik, dan berumur pendek. Lihat Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, hal. 14. Lebih jauh, lihat Rudolf Heberle, Social Movements: An Introduction to Political Sociology, (New York: 1951).
Posting Komentar