Endro Wilis: Antara Kepodhang, Elang, dan Kembang Selangking

Endro Wilis



Apakah dia sedang menyentuh sayap penyendiri itu,

Mengingat tahun-tahun sebelum benaknya

Menjadi suatu kepahitan, sehal mujarad,

Pemikirannya bak perseteruan mashur:

Buta dan pemimpin orang buta

Menenggak comberan busuk tempat mereka berkaparan?

– W. B. Yeats, On A Political Prisoner, 1920[i] 

 

 

Menulis kisah seseorang yang sudah mangkat, semacam biografi atau apapun itu dengan segala apa yang menyifati di belakangnya, mempunyai bahayanya sendiri. Salah-salah tulisan semacam ini akan kembali membuatnya mangkat sekali lagi, menguburkannya lebih dalam justru karena upaya-upaya menghadirkan kembali belaka bagian kehidupannya yang sudah diambil waktu begitu saja. Ia kembali sebagai kenangan-kenangan yang jauh, kenangan-kenangan yang membuat hari ini hanya dirasuki rasa kehilangan.

 

Menulis kisah seseorang yang sudah mangkat adalah merekonstruksi bagian-bagian, atau malah serpihan-serpihan kecil, dari suatu perjalanan hidup seseorang yang sesungguhnya merupakan dunia yang utuh di mana pandangan hidup, pemikiran-pemikiran, perasaan-perasaan, dan tindakan-tindakan saling berkait-kelindan antara yang lahir dengan yang batin, antara yang manifes dengan yang laten. Penulisan semacam ini bekerja dalam keterbatasan-keterbatasan perangkat representasional kebahasaan, ruang, dan waktu, di mana penafsiran dan pemaknaan yang bergantung pada wawasan dan pengetahuan penulis juga terbatas, secara tak terhindarkan, menjadi semen yang menutup rekahan-rekahan celah dan sekaligus sebagai perekat yang menyatukan bagaian-bagian atau serpihan-serpihan ternyana untuk menyusun dunia kedua. Subyektifitas, dengan demikian, merupakan bagian terbesar dari proyek penulisan ini. Kenangan atas orang yang sudah mangkat dan karya-karyanya yang menjadi titik pijak dari tulisan ini tak lain adalah meletakkan diri sendiri hari ini dalam kehidupan orang lain yang sudah silam dan purna.

 

Siapakah Endro Wilis? Nama itu barangkali tidak sepopuler nama Mohamad Arief yang salah satu lagu ciptaanya, Genjer-Genjer, menjadi lagu, di antara sedikit dari lagu daerah, yang dianggap berbahaya oleh Orde Baru. Mungkin hanya lagu ciptaanya yang berjudul Ulan Andhung-Andhung yang dikenal secara nasional ketika dinyanyikan oleh Nini Carlina dalam irama dangdut pada tahun 1997. Namun lagu Ulan Andhung-Andhung yang dinyanyikan Nini Carlina itu pun dalam versi Bahasa Indonesia dengan diterjemahkan secara buruk dari syair yang sudah rusak. Satu-satunya artikel tentang salah satu lagunya, Padha Nginang, ditulis oleh Kelana Wisnu Sapta Nugraha terbit di media online Jurnal Ruang pada Juli 2018. Dalam tulisan berjudul Menelusuri Jejak Podho Nginang[ii] itu Wisnu menafsir dengan membagi syair lagu menjadi tiga babak dan memperkenalkan penciptanya, Endro Wilis. Namun dalam dalam tulisan itu nama “asli” Endro Wilis yang seharusnya ditulis “Boesairi Elman” menjadi “Boestari Elman”. Endro Wilis juga ditulis menjadi salah satu penggerak kelompok angklung Sri Muda yang ada di Temenggungan, padahal ia banyak bergelut dengan kelompok angklung Agung Wilis yang berbasis di kampung halamannya, Kelembon.                 

 

Baiklah, kita memulainya dengan perkenalan yang agak formal. Boesairi a. k. a. Boesairi Elman  a. k. a. Endro Wilis, lahir di Banyuwangi  9 Maret 1927 dan meninggal, juga di Banyuwangi, 22 April 2006. Suatu masa hidup yang relatif panjang, 79 tahun, putra dari seorang pegawai perusahaan minyak nasional dan cucu dari pencipta drama tari Ande-ande Lumut itu sebagiannya bergerak dalam masa-masa peralihan yang bergejolak. Perang Kemerdekaan 1945 – 1949, pemberontakan-pemberontakan separatisme, konfrontasi Indonesia – Malaysia, dan kekerasan politik berdarah tahun 1965, tampaknya menakikan jejak yang dalam pada dirinya. Selembar tulisan tangannya yang mencatat singkat secara kronologis perjalanan diri yang dimulai pada tahun 1945 sampai tahun 1978 itu merangkum momen-momen yang dianggap penting bagi dirinya[iii]. Namun demikian, dari sekian urutan kronologis yang tercatat dengan tulisan pensil yang sudah mulai memudar pada selembar kertas menguning itu, tahun 1969 dan tahun 1978 tampak ditandainya sebagai dua momen khusus. Berbeda dari tahun-tahun lainnya yang hanya mencatat peristiwa-peristiwa yang pernah dijalaninya begitu saja, tanpa memberikan komentar atau penilaian. Tahun 1969 ia menyatakan bahwa tuduhan atas keterlibatannya dalam G30S, yang menjadi alasan pemenjaraannya di Lowokwaru, adalah tidak benar. Begitu pun catatan 1978, saat ia dibebaskan dari penjara Lowokwaru, ia mengomentari bahwa selama penahanannya di Lowokwaru “tidak pernah dibikinkan berita acara dari Hulp Magistraat (pembantu jaksa yang bertugas menyidik dan punya wewenang upaya paksa, dalam hal ini kepolisian militer – penulis) karena memang saya tidak bersalah”. Dua gugatan, “Tuduhan itu tidak benar” dalam catatan tahun 1969 dan “Saya memang tidak bersalah” dalam catatan tahun 1978, berkait dengan G30S yang menyebabkan pemenjaraan dirinya, seakan menghapus riwayat gerilya dari Gunung Remuk ke Bedewang, perlawanan terhadap agresi militer Belanda I dan ke II, tugas-tugas militer ke Sulawesi, dan perang konfrontasi Indonesia – Malaysia di Kalimantan Barat.

 

Tahun 1969 – 1978, tahun-tahun di mana Endro Wilis berada di dalam penjara Lowokwaru, adalah salah satu periode penting dalam kehidupan politik-kebudayaan nasional Indonesia dan juga politik-kebudayaan Banyuwangi. Secara nasional kebijakan politik kebudayaan negara dipengaruhi oleh tragedi politik 1965 dan gelombang pasang budaya tanding generasi bunga Amerika. Pemerintah Orde Baru yang lahir dari abu, arang, genangan darah, dan ribuan nyawa tragedi politik 1965 berupaya membangun cerita baru untuk melegitimasi kekuasaan secara naratif dengan menghancurkan gerakan kiri (komunis) secara politik dan kebudayaan. Ribuan orang yang dituduh komunis dibunuh, dipenjara, dan dibuang. Produk-produk seni-budaya yang dianggap kiri dibelokan, dibredel, dilarang, dan dihancurkan melalui manipulasi, sensor, dan operasi-operasi razia. Pada sisi lain, Orde Baru berupaya mewarisi model relasi kekuasaan paternal rezim Soekarno dan berusaha membendung dan melawan penjangkitan budaya tanding generasi bunga, apa yang kemudian disebut westernisasi, di kalangan anak muda yang mengacak-acak relasi kekuasaan bapak – anak yang diidealisasikan.[iv] Kebijakan politik kebudayaan nasional, yang menghancurkan gerakan politik-budaya kiri dan pengaruh westernisasi, diinstitusionalkan oleh pemerintah Kabupaten Banyuwangi di bawah Bupati pertama Orde Baru, Djoko Supaat Selamet, dengan menerbitkan Surat Keputusan Bupati untuk mengatur keberadaan kesenian daerah, SK No. um/1698/50 tertanggal 19 Mei 1970.

 

SK Bupati Supaat yang bertujuan mengembalikan keaslian kesenian dan kebudayaan Banyuwangi dalam praktiknya adalah tindakan-tindakan kontrol melalui sensor dan pelarangan kesenian yang dianggap komunis. Produk kesenian paling parah terkena SK tersebut adalah lagu-lagu daerah Banyuwangi yang diciptakan oleh penggubah-penggubah yang dianggap komunis. Lagu-lagu Mohamad Arief dan Endro Wilis tak lagi dinyanyikan oleh warga Banyuwangi. Sebelum lagu-lagunya menghilang M.Arief lebih dulu “dihilangkan” paksa dan sampai hari ini tidak diketahui nasibnya. Sementara Endro Wilis yang sempat merasakan dinginnya lantai penjara Lowokwaru, Malang, harus meredam rasa marah karena sejumlah syair lagu karangannya, setelah melalui sensor, mengalami perubahan. Ketika dikasetkan nama Endro Wilis sendiri harus dihilangkan dari lagu-lagu ciptaannya. Kemarahan Endro Wilis ini terekspresikan dalam catatan yang ia tulis di bawah lembar kertas syair lagu karangannya Mbok Irat (1965/1996). Dalam lembar syair dan notasi lagu yang menceritakan kekhawatirannya mengenai gawatnya situasi 1965 di Banyuwangi, pada saat itu ia berdinas di ketentaraan di Kalimantan ketika pecah konflik Indonesia – Malaysia, Wilis menulis,

 

“Syair aslinya sudah dihancurkan oleh kawan yang . . . (diganti total tanpa idzin!) / tidak bisa menghargai hak pribadi orang lain. / Maka sekarang saya buat sya’ir baru ini dan saya nyatakan bahwa sya’ir yang di luar ini adalah pelanggaran!!”.[v]

 

Pada tahun 1970-an lagu-lagu daerah Banyuwangi mengalami perubahan besar. Bernard Arps (2009) menulis “Pada awal 70-an, di bawah bupati pertama masa Orde Baru, genre musik Banyuwangi dibangkitkan lagi – dengan suatu konteks politik yang berbeda secara radikal dan tanpa ‘Genjer-genjer’. . .”.[vi]

 

SK Bupati Supaat bukan hanya menjadi landasan sensor dan pelarangan, sekaligus juga menjadi landasan pencarian dan penemuan identitas daerah melalui identifikasi, penafsiran, dan kodifikasi produk-produk kebudayaan dan kesenian serta sejarah Banyuwangi. Penggalakan seni dan kebudayaan daerah Banyuwangi di masa Bupati Supaat yang pada awalnya adalah upaya untuk mengabrasi anasir-anasir komunis dalam tubuh seni-budaya Banyuwangi dan membendung pengaruh westernisasi, dalam perjalanannya menemukan tujuan baru, yakni mengonstruksi identitas daerah. Konstruksi identitas daerah, Osing/Using, oleh karenanya tak pernah dapat dilepaskan dari upaya menghancurkan anasir-anasir komunis dan upaya membendung westernisasi dan sekaligus sebagai bagian dari narasi yang melegitimasi kekuasaan Orde Baru.

 

Di luar sel penjara Lowokwaru di mana Endro Wilis menghabiskan sebagian masa hidupnya selama hampir satu dasawarsa, dunia yang pernah dikenalnya telah mengalami perubahan besar. Soekarnoisme, yang diakui Endro Wilis sebagai pandangan atau prinsipnya, bersama dengan segala gagasan besarnya seperti Nasakom, telah porak-poranda diterjang gelombang pasang air bah Orde Baru. Banyuwangi, tempat di mana sebelumnya segala aliran politik mengekspresikan diri dalam penciptaan seni-budaya secara bebas, bahkan bersaing sengit, mengalami homogenisasi proyeksi dan penjinakan kultural yang brutal atas nama identitas daerah: Osing/Using.

 

Boesairi, Boesairi Elman, Endro Wilis

 

Paling tidak pada piagam tanda jasa bintang gerilya[vii] berangka tahun 1966 yang diberikan padanya kita bisa membacanya di situ, “Boesairi”. Namun, pada surat pembebasan tahanan dari penjara Lowokwaru, Malang, yang berangka tahun 1978, nama “Boesairi” kemudian diikuti dengan nama “Elman”. Nama “Elman” di belakang “Boesairi” tampaknya ditambahkan selama masa penahanan di Lowokwaru. “Elman” yang merupakan nama keluarga Eropa yang secara etimologi mungkin dari variasi Hellmann dalam bahasa Yidi yang tak mempunyai huruf ‘h” di kalangan diaspora Yahudi Eropa Timur, atau mungkin berasal dari variasi Adelmann dalam bahasa Jerman yang berarti “manusia terhormat”, sangat mungkin ditambahkan di belakang nama “Boesairi” bersama dengan atau menandai perpindahan agama dari Islam ke Kristen.[viii] Perpindahan agama dari Islam ke agama-agama selain Islam, seperti menjadi Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha, merupakan gejala sosial yang relatif banyak dilakukan oleh kalangan tapol dan napol setelah kerusuhan politik tahun 1965.[ix]

 

Dalam suatu kajian mengenai wilayah Zomia di Asia Tenggara Daratan, James C. Scott (2009), berpendapat bahwa pemilihan agama, dalam kondisi tertentu, merupakan suatu ungkapan pemosisian diri terhadap kekuasaan. Sebagai bayangan cermin dari agama dominan yang kerap memainkan peran sebagai legitimator kekuasaan, agama-agama “minoritas” dan aliran-aliran sempalan yang heterodoks, sebaliknya, kerap memainkan peran sebagai landasan kosmologis untuk menentang kekuasaan[x]. Dalam konteks ini, pemilihan agama Kristen, yang merupakan agama “minoritas”, oleh Boesairi, yang berarti pindah dari Islam menjadi Kristen, saya kira, tidak dapat dilepaskan dari dorongan untuk menentang kekuasaan. Perburuan, penahanan, pembunuhan, dan pendiskreditan orang-orang komunis atau/dan yang dianggap komunis yang kerap “pinjam tangan’ organisasi-organisasi Islam dan atas nama agama Islam[xi] selama periode awal Orde Baru, bagaimanapun, memosisikan Islam sebagai agama kekuasaan Orde Baru. Paling tidak di mata para napol dan tapol. Segala kekerasan terhadap orang-orang komunis itu digalang dengan memberikan label atheis atau kafir kepada mereka. Label atheis atau kafir yang dicapkan pada orang-orang (dianggap) komunis kemudian menjadi dalih untuk melakukan pembinaan pada para tapol dan napol agar mereka menemukan jalan untuk bertaubat. Bayangkan, Boesairi yang berlatar Sarikat Islam, dan beragama Islam, dijebloskan ke dalam penjara dan dicap sebagai atheis atau kafir dan harus mengikuti pembinaan dari pemerintah Orde Baru agar dapat bertaubat. Dalam kasus ini, pemilihan atau pindah agama selain Islam paling tepat dipahami sebagai ungkapan penentangan dengan mengambil posisi berada di luar golongan Orde Baru atau menolak berafiliasi dengan Orde Baru. Prinsip kasih dalam Kristen, “Jika ditempeleng pipi kiri, berikan pipi kanan”, saya kira mesti diletakan dalam konteks pernyataan sinis terhadap kekerasan yang dilakukan oleh organisasi-organisasi Islam dan atas nama Islam terhadap orang-orang (dianggap) komunis. Oleh karenanya, pilihan menjadi Kristen dengan ditandai penambahan “Elman” setelah Boesairi, dalam situasi jaman itu, adalah menjadi penuh kasih, dan bertentangan secara diametral dengan Islam yang keras.

 

Menjadi Kristen, dan dengan demikan menjadi Boesairi Elman, sebagai pilihan politik seperti dipaparkan di atas, bukan berarti menyepelekan bakti Boesairi Elman pada agama Kristen. Kesungguhan Boesairi Elman memeluk Kristen dapat disetandingkan dengan kesungguhan pengabdiannya pada negara saat ia masih bergerilya dan dinas di kemiliteran. Boesairi Elman bukan hanya beribadah dan menjalani ritus-ritus Kristen. Ia juga mengungkapkan iman Kristennya dengan menciptakan lagu-lagu rohani dengan lirik berbahasa Belambangan.

Berbeda dengan penambahan “Elman” di belakang nama “Boesairi”, menjadi “Boesairi Elman”, yang mempunyai fungsi formal secara administratif. Nama “Endro Wilis” digunakan sebagai nama alias untuk karya-karya kreatif, atau sebagai nama pena. Kapan nama “Endro Wilis”digunakan sebagai nama pena? Saya tidak dapat mengatakannya dengan pasti. Namun saya memberanikan diri untuk memperkirakan bahwa nama “Endro Wilis” tidak digunakan sebagai nama pena sebelum tahun 1974.[xii] Berdasarkan penuturan Boesairi sendiri tentang beberapa kali artikel yang ditulisnya dimuat dalam majalah berbahasa Jawa, saya menduga sebuah artikel berjudul “Basa Banyuwangen” di majalah Mekar Sari tahun 1974 ditulis oleh Boesairi dengan menggunakan nama pena Paman Goplang. Ketidaksetujuan atas penyebutan Osing yang ditujukan pada orang Banyuwangi dalam artikel tersebut senada dengan ketaksetujuan Endro Wilis atas isitilah Using dalam artikel “Istilah ‘Using’ adalah Racun yang Melumpuhkan Jiwa” yang dimuat pada Lembar Kebudayaan tahun 2010. Saya yakin, tidak ada yang dengan terang-terangan melakukan penolakan yang sangat sengit terhadap istilah Osing/Using selain Boesairi atau Endro Wilis. Dalam lagu berjudul Lare Blambangan yang dikarang tahun 1998, Endro Wilis menyatakan diri sebagai lare Belambangan, menolak disebut lare Using. Ia mengibaratkan lare Blambangan sebagai “kembang Slangking” (disebut juga “Sumengit”, karena bunganya berbau sangit, yang mempunyai konotasi galak), sedangkan “lare Using” diibaratkan sebagai “Kemangi” yang mempunyai konotasi penakut atau lembek. Mari kita simak kutipan bagian awal lirik “Lare Belambangan” yang menjajarkan secara kontras antara “lare Belambangan” dan “lare Using” berikut:

 

Hun iki lare Belambangan ! Wulu belorok medeni !

Kasar njaba sing karuwan ! Tapi jembar dhada lembut welasan!

Aja disebut lare Using ! Dadya kaya kembang Slangking !

Lan dudu lare kemangi ! Elok lan arume ana ring batin !!

 

Endro Wilis sebagai nama pena merupakan gabungan dari nama ibu “Endro” dan nama tokoh pejuang Blambangan pada akhir abad 17 “Agung Wilis”. Nama Endro Wilis merepresentasikan kelembutan kasih sayang dan kekasaran keberanian sekaligus. Kelembutan dan kekerasan bukan dua eksistensi berbeda, tapi satu eksistensi yang menampung keduanya, sebagaimana penggambaran watak dalam lirik Lare Belambangan di atas. Penggabungan ini secara unik juga terekspresikan dalam bunyi huruf hidup “o” yang maskulin pada nama “Endro” yang perempuan dan bunyi hudruf hidup “i” yang feminin pada nama “Wilis” yang laki-laki.

 

Pada sisi lain, penggunaan nama “Endro” adalah penghargaan pada ibu. Makna ibu di sini adalah ibu yang melahirkan diri sendiri atau istri yang melahirkan anak-anak. Dalam hal ini pandangan Endro Wilis mengenai keluarga sebagai suatu unit sosial terkecil dalam masyarakat nampaknya cenderung tradisional. Ibu dalam lirik-lirik lagu Endro Wilis kerap digambarkan lebih mempunyai peran domestik. Lirik lagu yang jenaka Pelasan Sempenit (1998), misalnya, menggambarkan peran ibu/istri yang memasak di dapur dan bapak yang bekerja di sawah. Dalam lirik lagu tersebut diceritakan istri yang mengirim sarapan untuk suami yang sedang mengolah sawah. Penghargaan suami pada istri terungkap dalam kegembiraan suami yang menyongsong sang istri, senyumnya mengembang dan ia menari serta memeluk istrinya. Namun demikian peran ibu menjadi berubah ketika sistem keluarga terganggu karena bapak yang berperan mencari nafkah tidak ada atau tidak berfungsi secara layak. Dalam kondisi semacam ini ibu mempunyai peran domestik dan pencari nafkah sekaligus. Dalam lirik Upahe Kudu Ambung (1979) yang juga jenaka, melalui mata seorang anak yang kolokan, digambarkan peran ibu yang memeras tenaga untuk memberi makan anak-anaknya karena suaminya telah meninggal. Tawaran anak untuk memijat ibu yang lelah setelah bekerja keras dengan meminta upah cium, seperti juga dalam Pelasan Sempenit, adalah ungkapan penghargaan yang basah oleh kasih sayang.

 

Sementara penggunaan “Wilis” mengungkapkan peneladan perjuangan dan keberanian Agung Wilis yang pada 1767 - 1768 melancarkan perlawanan terhadap kekuasaan kompeni Belanda yang hendak menancapkan kuku kolonialnya di Belambangan. Hal yang menarik, secara historis Agung Wilis adalah seorang bangsawan Belambangan yang sangat dicintai rakyatnya. Agung Wilis tidak tinggal di istana, tapi di tengah-tengah masyarakat di pantai selatan Banyuwangi, di pantai Manis dekat bukit Tumpang Pitu. Popularitasnya di kalangan jelata itu kemudian, setelah meninggalnya, disulap sebagai kekuatan kosmologis oleh Rempeg atau Jagapati untuk memanggil massa rakyat guna menggalang perlawanan dari Bayu pada tahun 1771 -1773 dengan mengaku sebagai titisan atau jelmaan Agung Wilis.

 

Perlawanan dan empati pada jelata bertebaran dalam lirik-lirik lagu karangan Endro Wilis. Padha Nginang dan Segara[xiii], sebagai misal, menggelorakan perlawanan terhadap penjajah dan menggambarkan perlawanan terhadap penghisapan. Sementara Mbok Epuk (1979) dan Wong Dodol Gedheg (1979), menceritakan hidup yang berat perempuan tua sebatang kara dan lelaki penjual bilik. Sosok di hampir semua lirik lagu Endro Wilis adalah sosok jelata yang menjalani hidup dengan membanting tulang. Sosok-sosok yang hidup pada hari ini, hidup yang dijalani dengan segenap tubuh dalam aktivitas kerja keras.

 

Namun demikian, kegembiraan orang-orang jelata yang sederhana juga diceritakan dalam lagu-lagu Endro Wilis. Dalam Pelasan Sempenit kita dapat menemui paman tani yang girang menyongsong sang istri yang mengantar sarapan ke sawah. Kegembiraan tidak muncul sebagai permenungan-permenungan, tapi muncul sebagai aktivitas-aktivitas tubuh yang tidak terpisahkan dari hubungan sosial, baik dalam keluarga maupun masyarakat secara luas. Contoh paling baik mengenai hal ini adalah lagu Segara yang menggambarkan kegembiraan nelayan saat mengarungi lautan yang berbahaya namun pada akhirnya hasil kerjanya harus diserahkan kepada majikan. Kegembiraan menunggang ombak yang berbahaya diungkapkan Endro Wilis dengan “koyo anak nong gendongan (ibarat anak dalam buian)”. Sedangkan penghisapan yang menderitakan diungkapkan dengan “hasile megawe, ngetog tenaga, nublek nong tangane juragan (hasil bekerja, memeras tenaga, tumpah di tangan juragan)”.

 

Lagu-lagu Sebelum 1969, Sebelum Lowokwaru

 

Pada awal tulisan ini telah dipaparkan bahwa tahun 1969 adalah salah satu dari dua angka tahun penting, satu lagi tahun 1978, bagi Endro Wilis berdasarkan catatan singkat kronologi tugas kemiliteran yang ditulisnya sendiri. Tak seperti tahun-tahun sebelumnya yang hanya mencatat tugas-tugas kemiliteran yang diembannya. Tahun 1969 ia mencatat apa yang terjadi pada dirinya dan memberikan opini penilaian, bahkan bisa dikatakan gugatan. Tahun itu, 1969, ia dijebloskan dalam penjara dengan tuduhan sebagai komunis.

 

Dari arsip yang disimpan salah satu putra Endro Wilis, Wahono Elman, hanya terdapat 4 lagu yang dikarang oleh Endro Wilis sebelum tahun 1969. Lagu-lagu tersebut adalah Ulan Andhung-Andhung, Mbak Irat, Lare Cilik Mbangkang, dan Selendang Sutra. Dari keempat lagu tersebut, Ulan Andhung-Andhung yang dikarang di Lumajang tahun 1964 diperbaiki di Banyuwangi tahun 1995, Lagu Mbok Irat dikarang tahun 1965 di Sanggau, Kalimantan Barat, diperbarui syairnya di Banyuwangi tahun 1996. Sementara Lare Cilik Mbangkang yang dikarang di Malang tahun 1968 dan Banyuwangi 1997. Untuk Selendang Sutra dikarang di Lumajang tahun 1964. Apa yang menjadi pertanyaan adalah: mengapa dua lagu pertama diberi keterangan diperbaiki dan diperbarui? Mengapa lagu Lare Cilik Mbangkang disebut dikarang di dua kota berbeda dan berjarak 29 tahun? Apakah sebelum tahun 1969 Endro Wilis hanya mengarang 5 lagu?  

 

Dari keempat lagu yang ditulis sebelum tahun 1969, boleh dikatakan Ulan Andhung-Andhung adalah lagu yang paling populer. Ulan Andhung-Andhung pernah dinyanyikan Nini Carlina tahun 1997 dengan lirik berbahasa Indonesia yang sama sekali melenceng jauh dari syair lagu Banyuwanginya. Namun, bukan karena lirik berbahasa Indonesia tersebut Ulan Andhung-Andhung diperbaiki oleh Endro Wilis. Ulan Andhung-Andhung menurut Hasan Sentot[xiv] pernah direkam pada pringan hitam dan populer melalui Radio Khusus Pemerintah Kabupaten (RKPD) Banyuwangi  pada tahun 1969an dengan penyanyi Emilia Contessa. Pada tahun itu Ulan Andhung-Andhung direkam dan disebarluaskan dengan tujuan untuk membendung popularitas Genjer-Genjer. Pada tahun 1980-an Ulan Andhung-Andhung masuk dalam album kaset Ugo-Ugo dengan penyanyi Sumiati. Syair Ulan Andhung-Andhung yang dinyanyikan oleh Sumiati dalam album Ugo-Ugo memangkas separuh lebih lirik dan mengubah 4 diksi syair karangan Endro Wilis. Menurut Endro Wilis, tentu saat ia belum meninggal, lagu tersebut dikasetkan dengan lirik yang diubah dan menghapus namanya sebagai pencipta lagu. Salah satu perubahan yang ditekankan oleh Endro Wilis adalah lirik yang berbunyi “. . . ana lintang, ana mendhung” yang diubah menjadi “. . . ana padhang, ana mendhung”. Bagi Endro Wilis, kata “lintang” itu punya makna simbolik yang berbeda dengan “padhang”. “Lintang (bintang)”, menurut Endro Wilis bermakna penunjuk arah, pandu, sehingga jika diubah “padhang” maknanya menjadi berbeda dan mempengaruhi seluruh isi lagu.

 

Pemilihan diksi “lintang” dan alasan penggunaannya dalam lirik lagu menunjukan bahwa Endro Wilis sangat cermat dan penuh pertimbangan dalam menulis syair-syair lagunya. Kecermatan pemilihan diksi ini berkait erat dengan upaya untuk mengungkapkan secara tepat apa yang dipikirkan dan apa yang diimajinasikan dalam lirik lagu. Oleh karenanya, kemarahannya terhadap apa yang disebutnya menghancurkan syair asli yang ditujukan pada seorang kawan/seniman yang mengubah syair lagu Mbak Irat dapat dimaklumi (tentang kutipan pernyataan Endro Wilis baca bagian sebelum ini di atas).

Pada lagu Lare Cilik Mbangkang (syair lagu ini mengingatkan pada puisi Chairil Anwar yang ditulis tahun 1943, Kepada Peminta-Minta) mengungkapkan rasa bersalah terhadap kemelaratan dan penderitaan seorang anak kecil peminta-minta tidak ditemukan keterangan mengapa lagu ini punya dua waktu penciptaan yang berjarak 29 tahun. Pada lembar notasi dan syair lagu, di pojok kanan atas di bawah nama Endro Wilis sebagai pencipta hanya tertulis Mlg, 17-12-1968 – 16-4-1997, Bwi. Mungkin lagu ini memang, karena alasan tertentu, membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikannya.

 

Apa yang menarik adalah lembar notasi dan syair lagu Selendang Sutra seolah memang berasal dari tahun saat penciptaanya, 1964, di Lumajang. Padahal, dari informasi yang beredar di antara kawan-kawan Endro Wilis, ternasuk almarhum Endro Wilis sendiri, menyatakan bahwa lagu Selendang Sutra pada awalnya berjudul Selendang Abang. Perubahan dari “Abang (Merah)” ke “Sutra” karena “Merah” mempunyai konotasi politik komunis. Netralisasi dari “Abang” ke “Sutra” tampaknya tidak membuat Endro Wilis keberatan. Represi yang ketat dan keras terhadap apapun yang berkonotasi komunis pada masa Orde Baru, saya kira, membuat Endro Wilis harus menerima perubahan tersebut. Bagaimanapun, stigma yang ditorehkkan rezim Orde Baru kepadanya sebagai ex napol membuatnya harus bersikap hati-hati. Namun, pemilihan “Sutra” untuk menggantikan “Abang” sangat tidak khas Endro Wilis yang sangat cermat dalam pemilihan diksi. “Sutra” pada Selendang Sutra lebih punya makna denotatif  sebagai barang sandang untuk kalangan atas dalam masyarakat, tidak sesuai dengan syair lagu yang menceritakan petani gerilyawan yang berpamitan dengan kekasihnya untuk ke medan laga.

 

Sangat tidak mungkin jika lagu yang dikarang Endro Wilis sebelum tahun 1969, sebelum ia dijebloskan ke dalam tahanan Lowokwaru, hanya berjumlah 4 lagu. Sebelum meletusnya malapetaka politik 1965, saat kelompok-kelompok kesenian tumbuh menjamur bersamaan dengan tumbuhnya beragam partai politik dengan berbagai aliran, di Kelembon, kampung halaman Endro Wilis, berdiri kelompok angklung yang bernama “Agung Wilis” di mana Endro Wilis banyak terlibat di dalamnya, termasuk sebagai pencipta lagu. Saya menduga banyak sekali lagu karangan Endro Wilis yang hilang saat ia berada di sel penjara Lowokwaru. Ketika kami bercakap bertahun lalu, Endro Wilis menceritakan sebagian besar koleksi buku miliknya termasuk lagu-lagu karangannya yang dititipkan pada seorang kawan lenyap saat ia bebas. Berdasarkan apa yang terjadi pada 4 lagu sebelum 1969 yang disimpan oleh Wahono Elman kita dapat menduga bahwa lagu-lagu yang dikarang Endro Wilis sebelum tahun 1969 telah mengalami suatu hal yang membuat lagu-lagu tersebut tidak ada lagi dan “rusak”.

 

Sebetulnya ada satu lagu lagi yang disimpan oleh Wahono Elman yang dikarang sebelum tahun 1969, Padha Nginang. Terus terang saya terkejut mendapati lembar notasi dan lirik Padha Nginang terselip di antara empat ratusan lagu karang Endro Wilis. Endro Wilis pernah suatu ketika dengan abai mengatakan tidak lagi menyimpan lembaran notasi dan lirik lagu Padha Nginang, dan Segara, yang juga dikarang sebelum tahun 1969. Namun lembaran notasi dan lirik Padha Nginang yang memuat pencipta lagu BS. Nurdian dengan lirik ditulis oleh Endro Wilis dan diaransemen oleh Nasta, koleksi Wahono Elman tersebut sangat berbeda dengan lembaran-lembaran lagu lain.[xv] Tulisan tangan pada lagu Padha Nginang berbeda dengan tulisan tangan ratusan lagu lainnya, tidak ada titi mangsa kapan lagu diciptakan di bawah nama pengarang dan ada nama arranger yang tidak lazim dituliskan oleh Endro Wilis. Satu lagi, penulisan “Blambangan” pada syair lagu koleksi Wahono tersebut sangat tidak khas Endro Wilis yang lebih memilih penulisan “Belambangan”. Syair lagu itu sendiri saat dibandingkan dengan syair yang dinyanyikan oleh seorang dari Kelembon yang (mengaku) masih hafal ada beberapa bagian syair yang berubah. Syair lagu Padha Nginang milik Wahono persis sama dengan syair Padha Nginang dalam album Angklung Soren yang dipublikasi tahun 2004

 

Padha Nginang adalah alegori perlawanan rakyat Belambangan/Banyuwangi terhadap penjajahan dan penindasan. Dibuka dengan pernyataan yang tegas dan jelas bahwa wong Belambangan menolak penjajahan, syair Padha Nginang mengalir dari perlawanan Pangeran Puger ke Agung Wilis ke Jagapati dan Sayu Wiwit. Serial perlawanan pada masa Belambangan kuno kemudian, tanpa terasa, masuk dalam penggalangan perlawanan pada masa Banyuwangi. Subyek perlawanan bergeser dari menyebutkan tokoh-tokoh Belambangan kuno ke rakyat jelata.

 

Saya menemukan paling tidak tiga varian syair Padha Nginang: pertama syair pada koleksi Wahono[xvi], kedua syair dari seorang warga Kelembon yang mengaku hafal, ketiga syair yang dinyanyikan oleh Agustinus Prayitno[xvii]. Syair pada arsip koleksi Wahono, seperti telah dipaparkan di atas, kemungkinan besar tidak ditulis oleh Endro Wilis. Syair yang dinyanyikan seorang warga Kelembon terdengar rumpang jika dibandingkan dengan syair pada koleksi Wahono. Begitu juga syair yang dinyanyikan Agustinus Prayitno. Beberapa diksi bahkan baris syair mungkin mengalami perbedaan karena proses lisan dalam penyebaran lagu. Namun demikian ada beberapa diksi yang sangat mungkin sengaja diubah. Dalam lirik yang dinyanyikan oleh Agustinus Prayitno dan seorang warga Kelembon kita dapat mendengar diksi “abang”, “Bedewang”, dan” buruh tani” yang menjadi “aman”, “Blambangan”, dan “konco” pada syair koleksi Wahono. “Abang” “Bedewang”, dan “Buruh tani” ditambah lagi dengan “mendem candu” dan “setan alas” yang ada di ketiga varian syair, saya kira, merupakan ekspresi politik kiri yang diungkapkan dalam lirik lagu. Perubahan pada tiga diksi pertama, bagaimanapun, adalah suatu tindakan swasensor yang dilakukan untuk “mengamankan” lagu tersebut. Kenapa saya menduga perubahan terjadi dari “abang”, “Bedewang”, dan “buruh tani” ke “aman”, “Blambangan”, dan “konco”, tidak sebaliknya? Sebagaimana Kelana Wisnu yang dalam artikelnya membagi perlawanan dalam Padha Nginang menjadi tiga babak, saya juga demikian. Namun, jika Kelana Wisnu memasukan ketiga babak tersebut pada masa Belambangan kuno, saya membaginya dalam dua babak pada masa Belambangan kuno dan satu babak pada masa Banyuwangi. Perlawanan dimulai dari Dalem Puger dan Agung Wilis di Banyu Alit (1768) ke Jagapati dan Sayu Wiwit di Bayu (1771 – 1773) ke perlawanan PKI di Bedewang (1926). Dua perlawanan di masa Belambangan kuno terekspresikan dalam ketiga varian lirik lagu, sedangkan perlawanan di Bedewang terdapat pada dua varian lirik dan tidak ada pada lirik lagu koleksi Wahono.

 

Bedewang adalah salah satu desa di Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi, yang berada di kaki gunung Raung. Pada November 1926 masyarakat buruh dan petani Bedewang melakukan pemogokan, sebagai pelaksanaan keputusan konferensi PKI 25 Desember 1925 di Prambanan[xviii], yang meningkat menjadi kerusuhan dan berujung dengan dibuangnya 44 orang ke Boven Digoel. Sebelum pergolakan politik 1965 Bedewang adalah basis PKI yang menjadi pusat penggemblengan kader militan dan kritis. Pada konteks inilah babak ketiga perlawanan dalam lirik Padha Nginang mesti diletakan. Diksi “mendem candu” dan “setan alas” yang terdapat pada ketiga varian lagu dan diksi “abang”, “Bedewang”, “buruh tani” yang terdapat pada varian yang dinyanyikan Agustinus Prayitno dan seorang warga Kelembon merupakan diksi-diksi yang mengikat kerusuhan Bedewang sebagai perlawanan PKI terhadap kolonial Belanda. “Mendem candu” adalah varian adaptasi dari salah satu pernyataan Karl Marx yang terkenal “agama adalah candu[xix]”, sedangkan “setan alas” adalah varian adaptasi dari “tujuh setan desa” yang yang dicetuskan oleh D.N. Aidit (1964) dalam kajian sosiologi-ekonomi pedesaan di daerah Jawa Barat, Kaum Tani Mengganyang Setan-setan Desa[xx]. Pada diksi lain, “abang” adalah warna yang mempunyai asosiasi politik sebagai warna komunis, “buruh tani” baik digabungkan maupun terpisah adalah elemen dari kelas proletar, untuk “Bedewang” sudah dijelaskan diatas.

 

Penghilangan atau penghapusan perlawanan PKI terhadap kolonialisme Belanda di Bedewang tahun 1926 pada lirik Padha Nginang saat dipublis sebagai salah satu lagu dalam album Angklung Soren, bagaimanapun, mesti dipahami sebagai upaya untuk menghindari tindakan sensor sampai pelarangan oleh aparat yang mungkin akan dilakukan pada album Angklung Soren. Sikap alergi terhadap komunisme di Indonesia ternyata tak surut di era pasca Reformasi 1998 walaupun rezim Orde Baru yang kekuasaannya salah satunya bertumpu pada pengingkaran peran kaum komunis dalam perjuangan kemerdekaan telah tumbang. Pada sebulan terakhir ini saja, aparat negara di bawah rezim Jokowi yang didukung oleh partai yang mengaku sebagai penerus Soekarno telah melakukan dua kali razia buku yang dianggap menyebarkan komunisme di Kediri dan Padang. Belum lagi kasus aktivis lingkungan, Budi Pego, yang menolak tambang di Tumpang Pitu Banyuwangi yang dikriminalisasi dengan menuduhnya menyebarkan ajaran komunis. Tumbangnya Orde Baru ternyata tidak diikuti oleh narasi anti komunisme yang dibangun oleh Orde Baru. Salah satu narasi Orde Baru berkait dengan pengingkaran perlawanan kaum komunis Bedewang terhadap kolonialisme Belanda adalah dengan mengelirukan[xxi] perlawanan PKI di Bedewang dengan perlawanan Kyai Abdullah Faqih “Cemoro”, Balak, Songgon.            

 

Perubahan “Bedewang” menjadi “Belambangan” dalam syair lagu Padha Nginang, seperti juga perubahan “Abang” menjadi “Sutra” dalam Selendang Sutra, hanyalah contoh dari dampak kampanye pembersihan anasir komunis oleh Orde Baru, yang di Banyuwangi, salah satunya, dilaksanakan melalui surat keputusan Bupati Supaat, SK No. um/1698/50 tertanggal 19 Mei 1970, yang menjadi dasar untuk melakukan sensor dan pelarangan produk-produk kesenian Banyuwangi yang dianggap beranasir komunis dengan dalih mengembalikan kesenian dan kebudayaan Banyuwangi pada keasliannya.

 

Bencana politik nasional tahun 1965 ternyata tak tak cukup hanya menjebloskan Endro Wilis ke dalam sel penjara pada tahun 1969 dengan tuduhan komunis. Bencana politik tersebut juga merusak dan menghilangkan sebagian lagu-lagu Endro Wilis yang diciptakan sebelum tahun 1969, bahkan mengubah bagaimana Endro Wilis menulis syair-syair lagu karanganya setelah tahun 1969. Tema perlawanan rakyat jelata terhadap penindasan seperti dalam Padha Nginang atau narasi penghisapan seperti dalam lagu Segara yang mengisahkan penghisapan yang dialami buruh nelayan menghilang dari lagu-lagu Endro Wilis setelah tahun 1969. Dalam syair lagu-lagu setelah 1969 tak lagi terbaca bahwa penderitaan dan kesengsaraan rakyat jelata disebabkan oleh ketimpangan akibat dari penghisapan dan penindasan. Lagu-lagu seperti Wong Dodol Gedheg (1979), Ngalas (1981), dan Mulih Mancing (1976 – 1989) hanya menggambarkan beratnya beban pekerjaan dengan hasil yang tak seberapa. Tak jarang juga beratnya beban kerja yang tak sebanding dengan hasil yang didapat itu, karena tak memiliki tanah dan hanya menjual tenaga, akhirnya dimuarakan pada rasa syukur dan pasrah kepada Tuhan, seperti dalam lagu Paman Tani (1996). 


Perubahan dalam syair lagu-lagu setelah tahun 1969 itu bukan berarti syair-syair Endro Wilis kemudian tidak bersifat “politis”. Penyingkapan kontradiksi dalam hubungan produksi seperti dalam lagu Segara memang tak terdengar lagi. Namun, penggambaran kehidupan rakyat jelata dengan segala kesengsaraan yang dideritanya menjadi semacam perlawanan laten terhadap lagu-lagu Banyuwangi dengan syair yang mengungkapkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Banyuwangi seperti lagu-lagu yang dikarang oleh BS. Nurdian dan Andang CY. Boleh dikatakan lagu-lagu Endro Wilis setelah tahun 1969 mengalami pergeseran dari perlawanan yang berlandas pada kondisi material menjadi perlawanan yang berlandas pada moral, atau perlawanan kultural.

 

Perlawanan kultural Endro Wilis dalam syair lagu-lagu karangannya mendapatkan konteksnya dalam penolakan dan penentangannya terhadap penggunaan Using/Osing sebagai identitas masyarakat Banyuwangi “asli”. Lagu Lare Belambangan menjadi contoh paling gamblang bagaimana Endro Wilis menentang Osing/Using. Lagu Lare Belambangan tampak menantang lagu Isun Lare Using yang diciptakan oleh BS. Nurdian dan Andang C.Y. Sementara Lagu Nana (1997) yang menolak Minak Jinggo disetarakan dengan tokoh-tokoh perlawanan Blambangan kuno seperti Agung Wilis dan Sayu Wiwit menantang lagu Umbul-Umbul Blambangan ciptakan BS. Nurdian dan Andang C.Y. yang juga menjadikan Minak Jinggo sebagai teladan disamping Agung Wilis dan Sayu Wiwit.

Meskipun kakeknya, Mbah Darji, adalah orang yang paling bertanggung jawab atas populernya cerita Minak Jinggo di Banyuwangi melalui panggung drama-tari yang diciptakannya, Endro Wilis, sang cucu, dengan tegas menolak Minak Jinggo. Bagi Endro Wilis, Minak Jinggo adalah cerita yang ditulis atas pesanan penjajah Belanda untuk mendiskreditkan wong Belambangan. Di bagian bawah notasi dan syair lagu Nana, Endro Wilis menulis, “yang menciptakan serat Damar Wulan adalah kekuasaan yang memihak Belanda!, yang menjual kontrak tanah Belambangan kepada Belanda!”. Ketegasan Endro Wilis yang melahirkan kisah yang ironis sekaligus tragis di baliknya semacam ini persis sama dengan peledakan stasiun pengisian bahan bakar tempat ayahnya bekerja, di Rogojampi, yang dilakukan bersama kesatuannya untuk melakukan sabotase dalam gerilya Perang Kemerdekaan.

 

Pandangannya terhadap cerita Minak Jinggo sama dengan istilah Osing. Dalam satu artikel yang kemudian didebat oleh Hasan Ali, menurut Endro Wilis istilah Using diciptakan oleh Belanda untuk menanamkan penyakit buruk “minderwardigheidscomplex (merasa rendah diri)” kepada rakyat Belambangan[xxii]. Dalam konteks tuturan khas yang berlaku di kalangan orang Banyuwangi “asli”, berbeda dengan Hasan Ali yang dengan tegas menyatakan sebagai Bahasa/Basa Using, Endro Wilis memilih untuk menyebutnya “Cara Belambangan”. Namun demikian, apa yang dimaksud istilah “cara” tersebut sama dengan “bahasa”. Jika Hasan Ali, seorang bidan kelahiran Bahasa Using yang gigih, menerbitkan buku Tata Bahasa Baku Bahasa Using (2002), Endro Wilis menerbitkan Cara Penulisan dan Pengucapan Kata-Kata Belambangan (2001). Namun, bila buku yang disusun Hasan Ali ditujukan untuk digunakan sebagai bahan ajar di sekolah-sekolah, buku yang disusun oleh Endro Wilis ditujukan untuk digunakan dalam bidang kesenian, jurnalistik, dan praktik penulisan yang berhubungan dengan komunikasi antar anggota keluarga.

 

Sebagaimana seniman-seniman besar lain yang menjadikan diri sendiri sebagai tema dalam keseniannya, self portrait. Dalam lagu Kepodhang Manuk Seniman (1982), tampaknya Endro Wilis mengumpamakan dirinya sebagai burung kepodhang yang harus kerja keras setiap hari untuk mencari makan, yang membela kaum jelata dan menyebarkan semangat juang dalam nyanyiannya, namun tak mempunyai tunjangan pensiun di masa tuanya. Begitu juga lagu Paman Butol Karung (1979) yang mengumpamakan dirinya sebagai barang rombengan. Cara memandang dirinya yang sedemikian ironis dan tragis tersebut, saya kira, berkait erat dengan tuduhan komunis kepadanya yang bukan hanya membuatnya dijebloskan dalam penjara Lowokwaru, tapi juga berakibat di sepanjang sisa hidupnya. Pada suatu kesempatan bercakap dengannya bertahun lalu dengan terkekeh ia menunjuk piagam bintang gerilya yang tergantung di dinding rumahnya dan mengatakan bahwa jika saja laku itu bintang gerilya yang ditandatangani Bung Karno, biar aku jual saja. Namun demikian ia tidak dilemahkan oleh perlakuan negara terhadap dirinya. Seperti baris terakhir lagu Ngadega Kang Jejeg (1979/1990), ia adalah seekor elang dalam perumpamaan Yesaya 40:31[xxiii], gagah prakoso yoro Allah kang miyara (gagah perkasa sebab Tuhan yang memelihara).  

 

Asmara: Seksualitas dan Rumah Tangga

 

Tak adil rasanya jika dalam tulisan ini tidak dibahas tema asmara yang sesungguhnya melimpah, bahkan mungkin paling banyak jumlahnya, dalam karya-karya lagu Endro Wilis. Tema asmara dalam lagu-lagu karangan Endro Wilis merentang dari sebelum tahun 1969 sampai tahun akhir 1990-an. Sebagaimana tema asmara dalam lagu-lagu pada umumnya, kita akan menemui ungkapan perasaan rindu, patah hati, dan kegembiraan.

 

Dalam lagu-lagu Endro Wilis tampaknya kesetian menjadi landasan paling dasar untuk membina hubungan asmara. Kesetiaan diungkapkan sebagai pengabdian yang hampir tanpa batas kepada pasangan, baik laki-laki maupun perempuan, seperti pada syair lagu Wis Sun Cawisi (1979), O, Melati Kumba (1982), dan Isun Milih Rika (1996). Sebaliknya, ketaksetian adalah suatu pengkhianatan yang memataharangkan jiwa seperti dalam lagu Ulang Andhung-Andhung (1964/1995). Namun demikian, kepedihan yang disebabkan oleh ketaksetiaan bukan hanya membuat patah hati, pun juga ketidakpedulian lagi seperti pada lagu Kembang Selangking (1981). “Kembang selangking sing abang yo sing kuning, rugi kelangan paran? Rika minyang hun golek maning”.

 

Hasrat seksual terhadap lawan jenis dalam asmara, dalam lagu-lagu Endro Wilis, diungkapkan secara terkendali. Seru Ayune (1998), sebagai misal, gelegak hasrat seksual yang dirangsang oleh kecantikan perempuan cukup diungkapkan secara metaforal, “lirike nggawe meriyang” dan “nyawang pipi mebranang, aduh nyawa kaya kobongan”. Konsekwensinya, lagu-lagu Endro Wilis mengutuk hasrat seksual yang diumbar. Dalam Mawar Kandhangan (1988) perempuan yang tidak hati-hati menjaga hasrat seksualnya hanya menuai penyesalan pada akhirnya. Sementara dalam Bajul (1979) Endro Wilis memperingatkan daya pikat “bajul buntung” untuk memperdaya gadis demi mengumbar hasratnya. Dalam lagu-lagu Endro Wilis, tidak ada jalan lain bagi asmara kecuali menuju rumah tangga dan pelampiasan hasrat seksual hanya diijinkan dalam rumah tangga. Namun demikian, pengungkapan seksualitas dalam rumah tangga diceritakan dengan cara metaforal dibingkai dalam narasi komikal. Dalam Kumpul Mertuwo (1996) aktivitas seksual pengantin baru yang tinggal bersama mertua digambarkan secara metaforal; “Bengi iki kepingin ngipi, Maq! Miber munggah nyang nduwure mega / Ulan lintang pada mesem-mesem, nyawang kupu cedung goq lali-laliyan”. Akibatnya si pengantin lelaki yang bangun kesiangan malu pada mertua dan tanpa pikir panjang ambil cangkul berangkat ke sawah meski perut melilit belum sarapan. Sementara dalam Nyambel Kelowek (1997) menceritakan pasangan tua yang melepas hasrat seksual semalaman, akibatnya mereka bangun kesiangan. Sang perempuan tua bangun tergeragap karena belum menyediakan sarapan, sang lelaki tua bangun tergopoh-gopoh karena lupa bayar setoran.

 

Bagi Endro Wilis, tampaknya, asmara dibayangkan selalu menuju stasiun penghabisan rumah tangga di mana kesetiaan menjadi semacam tiket keberangkatan yang selalu menerakan tujuan pulang. Dalam rumah tangga peran laki-laki dan perempuan terbagi menjadi peran non domestik dan domestik. Oleh karenanya perempuan hampir selalu diibaratkan sebagai bunga, bukan sembarang bunga, tapi bunga pekarangan atau jambangan. Sementara lelaki diibaratkan sebagai hewan. Jika pun lelaki diibaratkan sebagai bunga, ia adalah bunga liar yang tumbuh di jalanan. Prinsip keluarga sebagai suatu sistem yang bergantung pada fungsi anggota-anggotanya dalam hubungan timbal balik akan terganggu kesetimbangannya jika salah satu anggotanya tak berfungsi atau/karena support sistem di luarnya tidak memberikan sokongan yang memadai. Dalam Mbok Epuk (1979), misalnya, perempuan yang hidup sebatang kara karena sang suami gugur melawan Belanda dan anak lelakinya hilang ikut romusha di jaman Jepang harus menafkahi dirinya sendiri dan digigit sepi di malam-malam gelap yang dalam.

 

Membaca Boesairi, Boesairi Elman, dan Endro Wilis melalui karya lagu-lagunya dan kenangan-kenangan terhadapnya seperti berhadapan dengan figur yang terbentuk dari catatan-catatan montasial mengenai pemikiran, hasrat tubuh, pengalaman, prinsip, dan cita-cita di mana kedirian yang pribadi tak bisa dilepaskan dari bingkai sosial yang melingkupinya. Tekanan-tekanan yang diterimanya dari negara dan lingkungan sosial menempanya menjadi baja yang lentur. Sebagaimana tanda seru yang hampir selalu mengakhiri setiap baris syair lagunya, ia terus berapi-api sampai maut merenggutnya. Namun demikian, seperti seorang perempuan di penjelang tungku yang menjaga api agar tak menjadi padam juga tak membesar membakar segala, ia juga lembut dan jenaka. Ia sanggup membedil kaki anggota pasukannya yang menjarah rumah warga yang seharusnya dilindunginya[xxiv], tapi ia dapat menyentuh seorang bayi dalam buaian dan tersenyum lebar pada orang tuanya[xxv]. Ia pun sanggup menertawai dirinya sendiri. Tentu saja, Endro Wilis di dalam syair-syair lagu dan berdiam dalam kenangan hanyalah sebagian dari karakter Endro Wilis yang hidup. Namun, hari ini kita hanya dapat menyentuhnya melalui irama dan syair-syair juga kenangan yang ditinggalkannya.


[i] Bait kedua dari On a Political Prisoner, karya W.B. Yeats (1921), yang dibaktikan kepada Constance Markievicz, versi lain kepada Maud Gonne. Baik Markievicz atau Gonne adalah perempuan pejuang untuk kemerdekaan Irlandia, keduanya pernah dipenjara oleh Inggris akibat perjuangannya itu. Markievicz dipenjara tahun 1916 karena terlibat Easter Rising, dijatuhi hukuman mati namun diubah hukuman seumur hidup hanya karena jenis kelaminnya, tapi dibebaskan tahun 1917 saat Inggris memberikan amnesti kepada semua yang terlibat dalam Easter. Sekitar tahun kebebasan Markievicz pindah dari penganut Kristen ke Katolik. Maud Gonne, selain aktivis juga aktris, perempuan yang membuat W. B. Yeats 4 kali patah hati, dipenjara tahun 1918 selama 6 bulan dan dipenjara kembali selama delapan hari tahun1923 karena dituduh menyulut gerakan anti pemerintah.  On a Political Prisoner di muat dalam The Dial, volume 69, July – December 1920, hal.462. (Terjemahan saya)     

[iii] Dari arsip tulisan tangan Endro Wilis koleksi Eli Suwardaningsih, salah satu anak perempuan Endro Wilis.

[iv] Tentang membendung pengaruh westernisasi dan upaya menegakan model kekuasaan bapak – anak,  Aria Wiratma Yudhistira (2010) membahasnya dengan baik dalam buku Dilarang Gondrong!. 

[v] Ada dua lembar notasi dan syair lagu Mbok Irat, pada versi lainnya ia menulis, tak jauh berbeda,:

 “Syair aslinya sudah dihancurkan oleh seorang seniman (?)

(diganti total tanpa idzin!)

Syair ini saya buat baru dan saya nyatakan bahwa yang

Di luar ini adalah pelanggaran !!!”

[vi] “In the early 1970s, under the first regent of the New Order, the genre of Banyuwangi music was revived – in a radically different political context and without “Génjér-Génjér”, Ben Arps, Osing Kids and Banners of Blambangan, dalam Wacana, Vol. 11 No.1 (April 2009), hal. 26. 

[vii] Koleksi Eli Suwardaningsih

[viii] Sebenarnya selain “Elman”, sebelum “Boesairi” ada ditambahkan “Jonathan”. Namun nama “Jonathan Boesairi Elman” jarang digunakan. Jonathan secara etimologis berasal dari bahasa Ibrani “Yehonatan”, pemberian Tuhan atau karunia Tuhan. Ada beberapa nama Jonathan dalam Alkitab, yang termashur adalah Jonathan (Yonatan) putra Raja Saul, sahabat Daud yang pemberani. Hal yang menarik di sini, karena kasih dan setianya pada Daud, Jonathan dimusuhi ayah kandungnya, Raja Saul, yang dalam Al Kitab disebutkan ditinggalkan Rob Allah.    

[ix] Dalam tesis yang berjudul Konflik Elit dan Kekerasan Arus Bawah:Pergolakan Politik 1965 di Banyuwangi, hal.2, Hanif Risa Mustafa menyatakan, “ . . . salah satu dampak dari konflik peristiwa gerakan 30 September, menimbulkan rasa ketidakpuasan terhadap sutau kepercayaan”. Hanif dalam tesis tersebut menitikberatkan pada perpindahan agama dari Islam ke Hindu berdasarkan tulisan M.C Riklefs (2012) yang mencermati peningkatan pemeluk Hindu pada sensus penduduk 1971. Sedangkan pada halaman 140, Hanif menulis, “Konversi besar-besaran dari Islam ke agama lain ini tidak lain karena peran aktif pemuda Ansor dalam campur tangan dalam pergolakan 1965”.

[x] Untuk lebih jelas memahami bagaimana agama berfungsi dalam politik sebagai landasan kekuasaan dan landasan perlawanan, baca James C. Scott, The Art of Not Being Governed, bab. 8: Prophets of Renewal.

[xi] Pada kenyataannya bukan hanya agama Islam yang diperalat untuk memusnahkan kaum komunis. Paling tidak tulisan M. C. Riklefs (2010) mengonfirmasi hal ini. Baca Hanif op. cit., catatan kaki hal. 124. 

[xii] Walaupun pada lagu-lagu yang dikarang sebelum 1974 ditulis nama Endro Wilis sebagai pengarang, saya menduga lagu-lagu tersebut ditulis ulang pada tahun-tahun setelah ia bebas dari penjara Lowokwaru pada tahun 1979. Namun demikian ada juga kemungkinan nama Paman Goplang sebagai nama pena hanya khusus digunakan pada artikel yang dimuat di Mekar Sari yang berbahasa Jawa. 

[xiii] Bertahun lalu Endro Wilis mengatakan ia tak lagi menyimpan arsip lagu ini. Dapat dipastikan lagu ini diciptakan sebelum tahun 1969, saat ia terlibat dalam kelompok angklung Agung Wilis. Lagu “Segara” dalam versi yang sama sekali berbeda juga ditemukan pada koleksi Wahono Elman, dikarang tahun 1997. 

[xiv] Pada percakapan tekstual singkat saya dengan Hasan Sentot via mesenger pada Selasa, 8 Januari 2019, Hasan Sentot membagikan khazanah pengetahuannya yang luas tentang gending-gending Banyuwangi. Tentang Ulan Andhung-Andhung, dan juga Mbok Irat, Hasan Sentot tidak hanya berbagi informasi tentang perekaman dua lagu tersebut, ia juga membagikan syair lagu versi Andang C.Y yang berbeda dengan syair karangan Endro Wilis. 

[xv] Entah dari mana Novi Anoegrajekti dalam makalah berjudul Sastra Lokal dan Industri Kreatif: Revitalisasi Sastra dan Budaya Using menyatakan bahwa Padha Nginang dikarang oleh Moch. Arief dan Endro Wilis.

[xvi] Walaupun ada beberapa diksi yang berbeda, syair pada koleksi Wahono boleh dikatakan sama dengan lagu yang dinyanyikan Pipit dalam album Angkulng Soren. Lirik yang ada dalam album Angklung Soren sama sekali tidak ada diksi “abang”, sedangkan pada syair koleksi Wahono hanya ada satu. Ada dua diksi lagi yang berbeda, namun saya kira tidak sepenting “abang” yang dalam konotasi politik berarti kiri atau komunis. 

[xvii] Lihat https://www.youtube.com/watch?v=2v5rUH3w-Cs. Syair yang dinyanyikan Agustinus Prayitno ini sama dengan syair yang dinyanyikan kelompok paduan suara dalam beberapa event lomba paduan suara Internasional. Menarik apa yang diceritakan oleh Kelana Wisnu Sapta Nugraha, Nugraha pernah menjadi anggota paduan suara pada event loma paduan suara internasional, bahwa guru musik mereka menemukan lagu Padha Nginang di Bali, dinyanyikan oleh seorang tunawisma. Agustinus Prayitno mengaku sebagai pemulung, berawal sebagai penjaja buku bekas dan barang bekas ia kemudian menjadi pemulung benda seni yang mempunyai Rumah Topeng dan Wayang Setiadarma di Sukawati, Gianyar, Bali. Tentang Agustinus Prayitno baca di  https://www.beritasatu.com/figur/141052-agustinus-prayitno-pemulung-benda-seni-yang-setia.html.      

[xviii] Dalam buku Pemberontakan November 1926: Pemberontakan Nasional Pertama di Indonesia (1926) yang disusun oleh Lembaga Sejarah PKI,  peristiwa pemberontakan petani di Bedewang disebut terjadi pada bulan April 1926 dan disebut sebagai aksi spontan yang tidak terorganisir, tidak terkendali dan tidak dapat dipimpin. Apakah bulan April 1926  adalah aksi pertama kali yang kemudian berlangsung selama berbulan-bulan hingga pada bulan November 1926 pecah bentrok fisik hebat antara serdadu kolonial dan kekuatan petani yang berakhir dengan dipadamkannya aksi yang diiringi dengan ditangkap dan ditawannya para pemimpin aksi? Apa yang dimaksud dengan menyebut perlawanan petani Bedewang sebagai aksi spontan? Apakah perlawanan tersebut dilakukan di luar koordinasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI)? Namun para pemimpin perlawanan yang ditangkap dan ditawan berasal dari Sarikat Rakyat dan PKI. Apakah paparan singkat tentang perlawanan petani Bedewang tersebut  menggambarkan betapa Keputusan Konferensi PKI di Prambanan pada Desember 1925 mengalami masalah dalam pelaksanaannya? Tampaknya perlu penelitian lebih lanjut untuk mengungkap persoalan perlawanan petani Bedewang tersebut dan kaitannya dengan PKI.        

[xix] Baca Karl Marx dalam pengantar untuk Contribution to Critique of Hegel’s Philosophy of Right (1843). Pada konteks pemikiran konstruksi struktur-suprastruktur Marxian, agama berada pada kategori suprastruktur yang keberadaannya ditopang oleh struktur yang material. “Religious suffering is, at one and the same time, the expression of real suffering and a protest against real suffering. Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of a heartless world, and the soul of soulless conditions. It is the opium of the people”, Contribution, hal. 129.   

[xx] Dalam laporan riset tentang kaum tani di Jawa Barat yang diterbitkan Yayasan Pembaruan, Jakarta, (1964) ini Aidit membagi penindas dan penghisap rakyat pekerja di desa menjadi 7 golongan, disebut sebagai 7 setan desa, yakni (1) tuan tanah jahat, (2) lintah darat, (3) tukang ijon), (4) kapitalis birokrat, (5) tengkulak jahat (6) bandit desa, dan (7) penguasa jahat.  

[xxi] Arif Subekti, Ekspansi Komponi Hingga Sanad Kiai-Santri: Sejarah Islamisasi Ujung Timur Pulau Jawa Abad XVII – XX, Shahih, Vol.2, Nomor 1, Januari – Juni 2017, LP2M IAIN Surakarta, dalam endnotes menyebut narasi perjuangan Kyai Abdullah Faqih sebagai narasi tanding terhadap pemberontakan Bedewang. Saya lebih cenderung untuk menyebutnya sebagai “pengeliruan”, sengaja untuk mengingkari narasi Bedewang. Baca Tri Asih Rahayu, S.Pd., Peristiwa (Gerakan) Bedewang, Kabupaten Banyuwangi, Gema Blambangan, No.064, 1996, hal. 44 – 45, menulis, “ . . . pada waktu masa jayanya Partai Komunis Indoensia (PKI) pernah memberikan kesan atau mempropagandakan bahwa seakan-akan Peristiwa Bedewang itu sebagai produk PKI . . .”.  Rahayu, saya kira, bukan tidak mengetahui narasi Bedewang 1926 sebagai pemberontakan PKI, namun titik pijaknya dalam artikel tidak tidak mengijinkannya untuk mengelaborasinya lebih jauh. Tentang bagaimana peristiwa Bedewang dilestarikan sebagai ingatan kolektif masyarakat dalam sebuah syair lagu “12 November 1926” daerah baca Hanif Risa Mustafa, Konflik Elit dan Kekerasan Arus Bawah: Pergolakan Politik 1965 di Banyuwangi, Tesis, Program Studi Ilmu Sejarah, Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada, Yogyakarta 2015, hal. 43 – 46; dan Arif Subekti, Perubahan Afiliasi Politik Ulama NU Banyuwangi 1955 – 1965, Tesis, Program Studi Sejarah, Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2015, hal. 51 – 52.         

[xxii] Saya membaca artikel yang ditulis Endro Wilis, “Istilah Using Melumpuhkan Jiwa” di Lembar Kebuadayaan (LK), 10, Maret 2010. Artikel sanggahan dari Hasan Ali “Kata dan Predikat ‘Using’” juga dimuat di Lembar Kebudayaan (LK), 04, September 2009. Ini agak membingungkan, seharusnya artikel Hasan Ali, sebagai sanggahan, dimuat setelah artikel yang ditulis Endro Wilis. Tidak ada keterangan sebelumnya dua artikel tersebut dimuat di mana dan kapan. Namun, pada informasi tanggal penulisan yang dapat dibaca di bawah artikel, jelas artikel Endro Wilis yang ditulis tanggal 23 Juni 2002 ditulis terlebih dahulu dari artikel Hasan Ali, walaupun tidak ada keterangan kapan artikel itu ditulis, yang mengutip lebih dari satu paragraf artikel Endro Wilis untuk dikomentari.    

[xxiii] Tetapi orang-orang yang menanti-nantikan Tuhan mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; meraka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan, dan tidak menjadi lelah.

[xxiv] Seorang lelaki veteran tiga jaman yang tinggal sepelemparan batu dari rumah kontrakan saya di Jember bertahun lalu menceritakan kisah ini. Tampaknya ia juga harus mengganti agamanya, dari Islam ke Kristen, untuk “keselamatan” dirinya. Beruntung ia masih mendapatkan pensiun setelah masa aktif kedinasannya di militer.

[xxv] Tanpa saya duga ia berkunjung , beberapa hari setelah istri saya pulang dari melahirkan anak pertama kami di bidan. Endro Wilis, dan istrinya, lewat pintu belakang, pintu dapur, dengan berjalan agak goyang ia lebih dahulu masuk ke kamar “menyapa” anak pertama kami yang sedang tidur sebelum menemui kami di ruang depan.



LAMPIRAN

 

Pelampiran beberapa lagu karangan Endro Wilis dimaksudkan untuk memberikan contoh tulisan tangan Endro Wilis yang konsisten, kecuali pada lagu Padha Nginang yang diduga bukan tulisan tangan Endro Wilis. Pelampiran ini juga dimaksudkan untuk dapat membandingkan beberapa syair yang dikarang Endro Wilis dengan syair-syair yang telah diubah. Semua lagu dari koleksi Wahono Elman yang dilampirkan di sini adalah salinan yang difoto oleh Muhammad Ardiansyah.


1.      Beberapa lagu karangan Endro Wilis koleksi Wahono Elman.


a)      Ulan Andhung-Andhung


b)      Padha Nginang





c)      Mbok Irat


d)      Lare Belambangan


e)      Segara


2.   Dua Syair lagu Endro Wilis dari percakapan tekstual via mesengger dengan Hasan Sentot.


a)   Mbok Irat


MBOK IRAT

 

Mbok Irat ring kutho

Apuwo sing teko-teko

Wis lawas sing katon riko

Gancang-gancang gage muliho


Mbok Irat montrang-mantring

Diemasi golek pangan bontang-banting

Apike baliko maning

Nong deso ning ring tepis wiring


Mbok Irat baliko maning

Weruh pari ring sawah podho nguning

Timbang nong kutho keliling

Aluk ring deso pikiri sing munting



Syair/lagu :Indro Wilis

Tahun cipta/popular: Januari 1974.1975

Instrumen pengiring : Angklung

Produksi rekaman : Ria Record Banyuwangi


b)  Ulan Andung-Andung


ULAN ANDUNG-ANDUNG


Ulan andung-andung

Yoro metuo saben ulan saben tahun

Sunare condro dewi alak emas

Kepilu padang mendem gadung bakalan wurung


Ulan andung-andung ono padang ono mendung alak emas

Tangise wong lanang hang keduhung

Yong-yong kelopo doyong awak kulo keloyong-loyong


Ulan andung-andung

Wayah subuh semurupo ring pucuke gunung

Age-age temuruno alak emas

Uncalono kulo temiblak ring kembang kenongo


Nora nyono bengi nyanding isuk nono alak emas

Lancinge tanggung yoro esemono

Basane nyepak nyandung ra weruho bakalan wurung 



Syair/Lagu : Indro Wilis

Tahun Cipta/Populer : 1964/1972

Instrumen Pengiring : Angklung

Produksi Rekaman : Ria Record Banyuwangi


3.   Syair lagu Segara (sebelum 1969) yang dihafal oleh seorang warga Kelembon (agaknya tidak lengkap).


a)   Segara 


SEGARA


Segara ya tantangan

Segara ya panguripan

Segara dadi sawahe buruh nelayan


Mulo sing bisa pisah

Bengi yo lan raina

Iku dudu ukuran

Nggandrung laut paribasan anak nong gendongan


Alune kembang ombak

Kudang ombake ati

Hasile megawe ngetog tenaga

Nublek nong tangane juragan


Penulis: Dwi Pranoto


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama