Apakah dia
sedang menyentuh sayap penyendiri itu,
Mengingat
tahun-tahun sebelum benaknya
Menjadi suatu kepahitan,
sehal mujarad,
Pemikirannya bak
perseteruan mashur:
Buta dan pemimpin
orang buta
Menenggak
comberan busuk tempat mereka berkaparan?
– W. B. Yeats, On A Political Prisoner, 1920[i]
Menulis kisah seseorang
yang sudah mangkat, semacam biografi atau apapun itu dengan segala apa yang
menyifati di belakangnya, mempunyai bahayanya sendiri. Salah-salah tulisan semacam
ini akan kembali membuatnya mangkat sekali lagi, menguburkannya lebih dalam
justru karena upaya-upaya menghadirkan kembali belaka bagian kehidupannya yang
sudah diambil waktu begitu saja. Ia kembali sebagai kenangan-kenangan yang
jauh, kenangan-kenangan yang membuat hari ini hanya dirasuki rasa kehilangan.
Menulis kisah seseorang
yang sudah mangkat adalah merekonstruksi bagian-bagian, atau malah
serpihan-serpihan kecil, dari suatu perjalanan hidup seseorang yang
sesungguhnya merupakan dunia yang utuh di mana pandangan hidup,
pemikiran-pemikiran, perasaan-perasaan, dan tindakan-tindakan saling
berkait-kelindan antara yang lahir dengan yang batin, antara yang manifes
dengan yang laten. Penulisan semacam ini bekerja dalam
keterbatasan-keterbatasan perangkat representasional kebahasaan, ruang, dan
waktu, di mana penafsiran dan pemaknaan yang bergantung pada wawasan dan
pengetahuan penulis juga terbatas, secara tak terhindarkan, menjadi semen yang
menutup rekahan-rekahan celah dan sekaligus sebagai perekat yang menyatukan
bagaian-bagian atau serpihan-serpihan ternyana untuk menyusun dunia kedua.
Subyektifitas, dengan demikian, merupakan bagian terbesar dari proyek penulisan
ini. Kenangan atas orang yang sudah mangkat dan karya-karyanya yang menjadi
titik pijak dari tulisan ini tak lain adalah meletakkan diri sendiri hari ini
dalam kehidupan orang lain yang sudah silam dan purna.
Siapakah Endro Wilis?
Nama itu barangkali tidak sepopuler nama Mohamad Arief yang salah satu lagu
ciptaanya, Genjer-Genjer, menjadi
lagu, di antara sedikit dari lagu daerah, yang dianggap berbahaya oleh Orde
Baru. Mungkin hanya lagu ciptaanya yang berjudul
Ulan Andhung-Andhung yang dikenal secara nasional ketika dinyanyikan oleh
Nini Carlina dalam irama dangdut pada tahun 1997. Namun lagu Ulan Andhung-Andhung yang dinyanyikan
Nini Carlina itu pun dalam versi Bahasa Indonesia dengan diterjemahkan secara
buruk dari syair yang sudah rusak. Satu-satunya artikel tentang salah satu
lagunya, Padha Nginang, ditulis oleh Kelana
Wisnu Sapta Nugraha terbit di media online Jurnal
Ruang pada Juli 2018. Dalam tulisan berjudul Menelusuri Jejak Podho Nginang[ii]
itu Wisnu menafsir dengan membagi syair lagu menjadi tiga babak dan
memperkenalkan penciptanya, Endro Wilis. Namun dalam dalam tulisan itu nama
“asli” Endro Wilis yang seharusnya ditulis “Boesairi Elman” menjadi “Boestari
Elman”. Endro Wilis juga ditulis menjadi salah satu penggerak kelompok angklung
Sri Muda yang ada di Temenggungan,
padahal ia banyak bergelut dengan kelompok angklung Agung Wilis yang berbasis di kampung halamannya, Kelembon.
Baiklah, kita memulainya
dengan perkenalan yang agak formal.
Boesairi a. k. a. Boesairi Elman a. k. a.
Endro Wilis, lahir di Banyuwangi 9 Maret
1927 dan meninggal, juga di Banyuwangi, 22 April 2006. Suatu masa hidup yang
relatif panjang, 79 tahun, putra dari seorang pegawai perusahaan minyak
nasional dan cucu dari pencipta drama tari Ande-ande
Lumut itu sebagiannya bergerak dalam masa-masa peralihan yang bergejolak.
Perang Kemerdekaan 1945 – 1949, pemberontakan-pemberontakan separatisme, konfrontasi
Indonesia – Malaysia, dan kekerasan politik berdarah tahun 1965, tampaknya
menakikan jejak yang dalam pada dirinya. Selembar tulisan tangannya yang
mencatat singkat secara kronologis perjalanan diri yang dimulai pada tahun 1945
sampai tahun 1978 itu merangkum momen-momen yang dianggap penting bagi dirinya[iii].
Namun demikian, dari sekian urutan kronologis yang tercatat dengan tulisan
pensil yang sudah mulai memudar pada selembar kertas menguning itu, tahun 1969
dan tahun 1978 tampak ditandainya sebagai dua momen khusus. Berbeda dari
tahun-tahun lainnya yang hanya mencatat peristiwa-peristiwa yang pernah dijalaninya
begitu saja, tanpa memberikan komentar atau penilaian. Tahun 1969 ia menyatakan
bahwa tuduhan atas keterlibatannya dalam G30S, yang menjadi alasan
pemenjaraannya di Lowokwaru, adalah tidak benar. Begitu pun catatan 1978, saat
ia dibebaskan dari penjara Lowokwaru, ia mengomentari bahwa selama penahanannya
di Lowokwaru “tidak pernah dibikinkan berita acara dari Hulp Magistraat (pembantu jaksa yang bertugas menyidik dan punya
wewenang upaya paksa, dalam hal ini kepolisian militer – penulis) karena memang
saya tidak bersalah”. Dua gugatan, “Tuduhan itu tidak benar” dalam catatan
tahun 1969 dan “Saya memang tidak bersalah” dalam catatan tahun 1978, berkait
dengan G30S yang menyebabkan pemenjaraan dirinya, seakan menghapus riwayat
gerilya dari Gunung Remuk ke Bedewang, perlawanan terhadap agresi militer
Belanda I dan ke II, tugas-tugas militer ke Sulawesi, dan perang konfrontasi
Indonesia – Malaysia di Kalimantan Barat.
Tahun 1969 – 1978,
tahun-tahun di mana Endro Wilis berada di dalam penjara Lowokwaru, adalah salah
satu periode penting dalam kehidupan politik-kebudayaan nasional Indonesia dan
juga politik-kebudayaan Banyuwangi. Secara nasional kebijakan politik
kebudayaan negara dipengaruhi oleh tragedi politik 1965 dan gelombang pasang
budaya tanding generasi
bunga Amerika. Pemerintah Orde Baru yang lahir dari abu, arang, genangan darah,
dan ribuan nyawa tragedi politik 1965 berupaya membangun cerita baru untuk
melegitimasi kekuasaan secara naratif dengan menghancurkan gerakan kiri
(komunis) secara politik dan kebudayaan. Ribuan orang yang dituduh komunis
dibunuh, dipenjara, dan dibuang. Produk-produk seni-budaya yang dianggap kiri
dibelokan, dibredel, dilarang, dan dihancurkan melalui manipulasi, sensor, dan
operasi-operasi razia. Pada sisi lain, Orde Baru berupaya mewarisi model relasi
kekuasaan paternal rezim Soekarno dan berusaha membendung dan melawan
penjangkitan budaya tanding generasi bunga, apa yang kemudian disebut westernisasi, di kalangan anak muda yang
mengacak-acak relasi kekuasaan bapak – anak yang diidealisasikan.[iv]
Kebijakan politik kebudayaan nasional, yang menghancurkan gerakan
politik-budaya kiri dan pengaruh westernisasi,
diinstitusionalkan oleh pemerintah Kabupaten Banyuwangi di bawah Bupati pertama
Orde Baru, Djoko Supaat Selamet, dengan menerbitkan Surat Keputusan Bupati untuk
mengatur keberadaan kesenian daerah, SK No. um/1698/50 tertanggal 19 Mei 1970.
SK
Bupati Supaat yang bertujuan mengembalikan keaslian kesenian dan kebudayaan
Banyuwangi dalam praktiknya adalah tindakan-tindakan kontrol melalui sensor dan
pelarangan kesenian yang dianggap komunis. Produk kesenian paling parah terkena
SK tersebut adalah lagu-lagu daerah Banyuwangi yang diciptakan oleh
penggubah-penggubah yang dianggap komunis. Lagu-lagu Mohamad Arief dan Endro
Wilis tak lagi dinyanyikan oleh warga Banyuwangi. Sebelum lagu-lagunya menghilang
M.Arief lebih dulu “dihilangkan” paksa dan sampai hari ini tidak diketahui
nasibnya. Sementara Endro Wilis yang sempat merasakan dinginnya lantai penjara
Lowokwaru, Malang, harus meredam rasa marah karena sejumlah syair lagu
karangannya, setelah melalui sensor, mengalami perubahan. Ketika dikasetkan
nama Endro Wilis sendiri harus dihilangkan dari lagu-lagu ciptaannya. Kemarahan
Endro Wilis ini terekspresikan dalam catatan yang ia tulis di bawah lembar
kertas syair lagu karangannya Mbok Irat
(1965/1996). Dalam lembar syair dan notasi lagu yang menceritakan
kekhawatirannya mengenai gawatnya situasi 1965 di Banyuwangi, pada saat itu ia
berdinas di ketentaraan di Kalimantan ketika pecah konflik Indonesia –
Malaysia, Wilis menulis,
“Syair aslinya sudah dihancurkan
oleh kawan yang . . . (diganti total tanpa idzin!) / tidak bisa menghargai hak
pribadi orang lain. / Maka sekarang saya buat sya’ir baru ini dan saya nyatakan
bahwa sya’ir yang di luar ini adalah pelanggaran!!”.[v]
Pada
tahun 1970-an lagu-lagu daerah Banyuwangi mengalami perubahan besar. Bernard
Arps (2009) menulis “Pada awal 70-an, di
bawah bupati pertama masa Orde Baru, genre musik Banyuwangi dibangkitkan lagi –
dengan suatu konteks politik yang berbeda secara radikal dan tanpa
‘Genjer-genjer’. . .”.[vi]
SK Bupati Supaat bukan
hanya menjadi landasan sensor dan pelarangan, sekaligus juga menjadi landasan
pencarian dan penemuan identitas daerah melalui identifikasi, penafsiran, dan
kodifikasi produk-produk kebudayaan dan kesenian serta sejarah Banyuwangi.
Penggalakan seni dan kebudayaan daerah Banyuwangi di masa Bupati Supaat yang
pada awalnya adalah upaya untuk mengabrasi anasir-anasir komunis dalam tubuh
seni-budaya Banyuwangi dan membendung pengaruh westernisasi, dalam
perjalanannya menemukan tujuan baru, yakni mengonstruksi identitas daerah. Konstruksi
identitas daerah, Osing/Using, oleh karenanya tak pernah dapat dilepaskan dari
upaya menghancurkan anasir-anasir komunis dan upaya membendung westernisasi dan
sekaligus sebagai bagian dari narasi yang melegitimasi kekuasaan Orde Baru.
Di luar sel penjara
Lowokwaru di mana Endro Wilis menghabiskan sebagian masa hidupnya selama hampir
satu dasawarsa, dunia yang pernah dikenalnya telah mengalami perubahan besar.
Soekarnoisme, yang diakui Endro Wilis sebagai pandangan atau prinsipnya,
bersama dengan segala gagasan besarnya seperti Nasakom, telah porak-poranda
diterjang gelombang pasang air bah Orde Baru. Banyuwangi, tempat di mana
sebelumnya segala aliran politik mengekspresikan diri dalam penciptaan
seni-budaya secara bebas, bahkan bersaing sengit, mengalami homogenisasi
proyeksi dan penjinakan kultural yang brutal atas nama identitas daerah:
Osing/Using.
Boesairi,
Boesairi Elman, Endro Wilis
Paling tidak pada
piagam tanda jasa bintang gerilya[vii]
berangka tahun 1966 yang diberikan padanya kita bisa membacanya di situ,
“Boesairi”. Namun, pada surat pembebasan tahanan dari penjara Lowokwaru,
Malang, yang berangka tahun 1978, nama “Boesairi” kemudian diikuti dengan nama
“Elman”. Nama “Elman” di belakang “Boesairi” tampaknya ditambahkan selama masa
penahanan di Lowokwaru. “Elman” yang merupakan nama keluarga Eropa yang secara
etimologi mungkin dari variasi Hellmann dalam bahasa Yidi yang tak mempunyai
huruf ‘h” di kalangan diaspora Yahudi Eropa Timur, atau mungkin berasal dari
variasi Adelmann dalam bahasa Jerman yang berarti “manusia terhormat”, sangat
mungkin ditambahkan di belakang nama “Boesairi” bersama dengan atau menandai
perpindahan agama dari Islam ke Kristen.[viii]
Perpindahan agama dari Islam ke agama-agama selain Islam, seperti menjadi
Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha, merupakan gejala sosial yang relatif banyak
dilakukan oleh kalangan tapol dan napol setelah kerusuhan politik tahun 1965.[ix]
Dalam suatu kajian
mengenai wilayah Zomia di Asia Tenggara Daratan, James C. Scott (2009),
berpendapat bahwa pemilihan agama, dalam kondisi tertentu, merupakan suatu
ungkapan pemosisian diri terhadap kekuasaan. Sebagai bayangan cermin dari agama
dominan yang kerap memainkan peran sebagai legitimator kekuasaan, agama-agama “minoritas”
dan aliran-aliran sempalan yang heterodoks, sebaliknya, kerap memainkan peran
sebagai landasan kosmologis untuk menentang kekuasaan[x]. Dalam
konteks ini, pemilihan agama Kristen, yang merupakan agama “minoritas”, oleh
Boesairi, yang berarti pindah dari Islam menjadi Kristen, saya kira, tidak
dapat dilepaskan dari dorongan untuk menentang kekuasaan. Perburuan, penahanan,
pembunuhan, dan pendiskreditan orang-orang komunis atau/dan yang dianggap
komunis yang kerap “pinjam tangan’ organisasi-organisasi Islam dan atas nama
agama Islam[xi]
selama periode awal Orde Baru, bagaimanapun, memosisikan Islam sebagai agama
kekuasaan Orde Baru. Paling tidak di mata para napol dan tapol. Segala
kekerasan terhadap orang-orang komunis itu digalang dengan memberikan label
atheis atau kafir kepada mereka. Label atheis atau kafir yang dicapkan pada
orang-orang (dianggap) komunis kemudian menjadi dalih untuk melakukan pembinaan
pada para tapol dan napol agar mereka menemukan jalan untuk bertaubat.
Bayangkan, Boesairi yang berlatar Sarikat Islam, dan beragama Islam,
dijebloskan ke dalam penjara dan dicap sebagai atheis atau kafir dan harus
mengikuti pembinaan dari pemerintah Orde Baru agar dapat bertaubat. Dalam kasus
ini, pemilihan atau pindah agama selain Islam paling tepat dipahami sebagai
ungkapan penentangan dengan mengambil posisi berada di luar golongan Orde Baru
atau menolak berafiliasi dengan Orde Baru. Prinsip kasih dalam Kristen, “Jika
ditempeleng pipi kiri, berikan pipi kanan”, saya kira mesti diletakan dalam
konteks pernyataan sinis terhadap kekerasan yang dilakukan oleh
organisasi-organisasi Islam dan atas nama Islam terhadap orang-orang (dianggap)
komunis. Oleh karenanya, pilihan menjadi Kristen dengan ditandai penambahan
“Elman” setelah Boesairi, dalam situasi jaman itu, adalah menjadi penuh kasih,
dan bertentangan secara diametral dengan Islam yang keras.
Menjadi Kristen, dan
dengan demikan menjadi Boesairi Elman, sebagai pilihan politik seperti
dipaparkan di atas, bukan berarti menyepelekan bakti Boesairi Elman pada agama
Kristen. Kesungguhan Boesairi Elman memeluk Kristen dapat disetandingkan dengan
kesungguhan pengabdiannya pada negara saat ia masih bergerilya dan dinas di
kemiliteran. Boesairi Elman bukan hanya beribadah dan menjalani ritus-ritus
Kristen. Ia juga mengungkapkan iman Kristennya dengan menciptakan lagu-lagu
rohani dengan lirik berbahasa Belambangan.
Berbeda dengan
penambahan “Elman” di belakang nama “Boesairi”, menjadi “Boesairi Elman”, yang
mempunyai fungsi formal secara administratif. Nama “Endro Wilis” digunakan
sebagai nama alias untuk karya-karya kreatif, atau sebagai nama pena. Kapan
nama “Endro Wilis”digunakan sebagai nama pena? Saya tidak dapat mengatakannya
dengan pasti. Namun saya memberanikan diri untuk memperkirakan bahwa nama
“Endro Wilis” tidak digunakan sebagai nama pena sebelum tahun 1974.[xii]
Berdasarkan penuturan Boesairi sendiri tentang beberapa kali artikel yang
ditulisnya dimuat dalam majalah berbahasa Jawa, saya menduga sebuah artikel
berjudul “Basa Banyuwangen” di majalah Mekar
Sari tahun 1974 ditulis oleh Boesairi dengan menggunakan nama pena Paman
Goplang. Ketidaksetujuan atas penyebutan Osing yang ditujukan pada orang
Banyuwangi dalam artikel tersebut senada dengan ketaksetujuan Endro Wilis atas
isitilah Using dalam artikel “Istilah ‘Using’ adalah Racun yang Melumpuhkan
Jiwa” yang dimuat pada Lembar Kebudayaan
tahun 2010. Saya yakin, tidak ada yang dengan terang-terangan melakukan penolakan
yang sangat sengit terhadap istilah Osing/Using selain Boesairi atau Endro
Wilis. Dalam lagu berjudul Lare
Blambangan yang dikarang tahun 1998, Endro Wilis menyatakan diri sebagai
lare Belambangan, menolak disebut lare Using. Ia mengibaratkan lare Blambangan
sebagai “kembang Slangking” (disebut juga “Sumengit”, karena bunganya berbau
sangit, yang mempunyai konotasi galak), sedangkan “lare Using” diibaratkan
sebagai “Kemangi” yang mempunyai konotasi penakut atau lembek. Mari kita simak
kutipan bagian awal lirik “Lare Belambangan” yang menjajarkan secara kontras
antara “lare Belambangan” dan “lare Using” berikut:
Hun iki lare
Belambangan ! Wulu belorok medeni !
Kasar njaba sing
karuwan ! Tapi jembar dhada lembut welasan!
Aja disebut lare
Using ! Dadya kaya kembang Slangking !
Lan dudu lare
kemangi ! Elok lan arume ana ring batin !!
Endro Wilis sebagai
nama pena merupakan gabungan dari nama ibu “Endro” dan nama tokoh pejuang
Blambangan pada akhir abad 17 “Agung Wilis”. Nama Endro Wilis merepresentasikan
kelembutan kasih sayang dan kekasaran keberanian sekaligus. Kelembutan dan
kekerasan bukan dua eksistensi berbeda, tapi satu eksistensi yang menampung
keduanya, sebagaimana penggambaran watak dalam lirik Lare Belambangan di atas. Penggabungan ini secara unik juga
terekspresikan dalam bunyi huruf hidup “o” yang maskulin pada nama “Endro” yang
perempuan dan bunyi hudruf hidup “i” yang feminin pada nama “Wilis” yang
laki-laki.
Pada sisi lain,
penggunaan nama “Endro” adalah penghargaan pada ibu. Makna ibu di sini adalah
ibu yang melahirkan diri sendiri atau istri yang melahirkan anak-anak. Dalam
hal ini pandangan Endro Wilis mengenai keluarga sebagai suatu unit sosial
terkecil dalam masyarakat nampaknya cenderung tradisional. Ibu dalam
lirik-lirik lagu Endro Wilis kerap digambarkan lebih mempunyai peran domestik. Lirik
lagu yang jenaka Pelasan Sempenit
(1998), misalnya, menggambarkan peran ibu/istri yang memasak di dapur dan bapak
yang bekerja di sawah. Dalam lirik lagu tersebut diceritakan istri yang
mengirim sarapan untuk suami yang sedang mengolah sawah. Penghargaan suami pada
istri terungkap dalam kegembiraan suami yang menyongsong sang istri, senyumnya
mengembang dan ia menari serta memeluk istrinya. Namun demikian peran ibu menjadi
berubah ketika sistem keluarga terganggu karena bapak yang berperan mencari
nafkah tidak ada atau tidak berfungsi secara layak. Dalam kondisi semacam ini
ibu mempunyai peran domestik dan pencari nafkah sekaligus. Dalam lirik Upahe Kudu Ambung (1979) yang juga
jenaka, melalui mata seorang anak yang kolokan,
digambarkan peran ibu yang memeras tenaga untuk memberi makan anak-anaknya
karena suaminya telah meninggal. Tawaran anak untuk memijat ibu yang lelah
setelah bekerja keras dengan meminta upah cium, seperti juga dalam Pelasan Sempenit, adalah ungkapan
penghargaan yang basah oleh kasih sayang.
Sementara penggunaan
“Wilis” mengungkapkan peneladan perjuangan dan keberanian Agung Wilis yang pada
1767 - 1768 melancarkan perlawanan terhadap kekuasaan kompeni Belanda yang
hendak menancapkan kuku kolonialnya di Belambangan. Hal yang menarik, secara
historis Agung Wilis adalah seorang bangsawan Belambangan yang sangat dicintai
rakyatnya. Agung Wilis tidak tinggal di istana, tapi di tengah-tengah
masyarakat di pantai selatan Banyuwangi, di pantai Manis dekat bukit Tumpang
Pitu. Popularitasnya di kalangan jelata itu kemudian, setelah meninggalnya,
disulap sebagai kekuatan kosmologis oleh Rempeg atau Jagapati untuk memanggil
massa rakyat guna menggalang perlawanan dari Bayu pada tahun 1771 -1773 dengan
mengaku sebagai titisan atau jelmaan Agung Wilis.
Perlawanan dan empati pada
jelata bertebaran dalam lirik-lirik lagu karangan Endro Wilis. Padha Nginang dan Segara[xiii],
sebagai misal, menggelorakan perlawanan terhadap penjajah dan menggambarkan
perlawanan terhadap penghisapan. Sementara Mbok
Epuk (1979) dan Wong Dodol Gedheg
(1979), menceritakan hidup yang berat perempuan tua sebatang kara dan lelaki
penjual bilik. Sosok di hampir semua lirik lagu Endro Wilis adalah sosok jelata yang menjalani hidup
dengan membanting tulang. Sosok-sosok yang hidup pada hari ini, hidup yang dijalani dengan segenap tubuh dalam aktivitas
kerja keras.
Namun demikian,
kegembiraan orang-orang jelata yang sederhana juga diceritakan dalam lagu-lagu
Endro Wilis. Dalam Pelasan Sempenit
kita dapat menemui paman tani yang girang menyongsong sang istri yang mengantar
sarapan ke sawah. Kegembiraan tidak muncul sebagai permenungan-permenungan,
tapi muncul sebagai aktivitas-aktivitas tubuh yang tidak terpisahkan dari
hubungan sosial, baik dalam keluarga maupun masyarakat secara luas. Contoh
paling baik mengenai hal ini adalah lagu Segara
yang menggambarkan kegembiraan nelayan saat mengarungi lautan yang berbahaya
namun pada akhirnya hasil kerjanya harus diserahkan kepada majikan. Kegembiraan
menunggang ombak yang berbahaya diungkapkan Endro Wilis dengan “koyo anak nong
gendongan (ibarat anak dalam buian)”. Sedangkan penghisapan yang menderitakan
diungkapkan dengan “hasile megawe, ngetog tenaga, nublek nong tangane juragan
(hasil bekerja, memeras tenaga, tumpah di tangan juragan)”.
Lagu-lagu
Sebelum 1969, Sebelum Lowokwaru
Pada awal tulisan ini
telah dipaparkan bahwa tahun 1969 adalah salah satu dari dua angka tahun
penting, satu lagi tahun 1978, bagi Endro Wilis berdasarkan catatan singkat
kronologi tugas kemiliteran yang ditulisnya sendiri. Tak seperti tahun-tahun
sebelumnya yang hanya mencatat tugas-tugas kemiliteran yang diembannya. Tahun
1969 ia mencatat apa yang terjadi pada dirinya dan memberikan opini penilaian,
bahkan bisa dikatakan gugatan. Tahun itu, 1969, ia dijebloskan dalam penjara
dengan tuduhan sebagai komunis.
Dari arsip yang disimpan
salah satu putra Endro Wilis, Wahono Elman, hanya terdapat 4 lagu yang dikarang
oleh Endro Wilis sebelum tahun 1969. Lagu-lagu tersebut adalah Ulan Andhung-Andhung, Mbak Irat, Lare Cilik Mbangkang, dan Selendang
Sutra. Dari keempat lagu tersebut, Ulan
Andhung-Andhung yang dikarang di Lumajang tahun 1964 diperbaiki di
Banyuwangi tahun 1995, Lagu Mbok Irat
dikarang tahun 1965 di Sanggau, Kalimantan Barat, diperbarui syairnya di
Banyuwangi tahun 1996. Sementara Lare
Cilik Mbangkang yang dikarang di Malang tahun 1968 dan Banyuwangi 1997. Untuk
Selendang Sutra dikarang di Lumajang
tahun 1964. Apa yang menjadi pertanyaan adalah: mengapa dua lagu pertama diberi
keterangan diperbaiki dan diperbarui? Mengapa lagu Lare Cilik Mbangkang disebut dikarang di dua kota berbeda dan
berjarak 29 tahun? Apakah sebelum tahun 1969 Endro Wilis hanya mengarang 5
lagu?
Dari keempat lagu yang
ditulis sebelum tahun 1969, boleh dikatakan Ulan
Andhung-Andhung adalah lagu yang paling populer. Ulan Andhung-Andhung pernah dinyanyikan Nini Carlina tahun 1997
dengan lirik berbahasa Indonesia yang sama sekali melenceng jauh dari syair
lagu Banyuwanginya. Namun, bukan karena lirik berbahasa Indonesia tersebut Ulan Andhung-Andhung diperbaiki oleh
Endro Wilis. Ulan Andhung-Andhung
menurut Hasan Sentot[xiv] pernah
direkam pada pringan hitam dan populer melalui Radio Khusus Pemerintah
Kabupaten (RKPD) Banyuwangi pada tahun
1969an dengan penyanyi Emilia Contessa. Pada tahun itu Ulan Andhung-Andhung direkam dan disebarluaskan dengan tujuan untuk
membendung popularitas Genjer-Genjer.
Pada tahun 1980-an Ulan Andhung-Andhung
masuk dalam album kaset Ugo-Ugo
dengan penyanyi Sumiati. Syair Ulan
Andhung-Andhung yang dinyanyikan oleh Sumiati dalam album Ugo-Ugo memangkas separuh lebih lirik
dan mengubah 4 diksi syair karangan Endro Wilis. Menurut Endro Wilis, tentu
saat ia belum meninggal, lagu tersebut dikasetkan dengan lirik yang diubah dan
menghapus namanya sebagai pencipta lagu. Salah satu perubahan yang ditekankan
oleh Endro Wilis adalah lirik yang berbunyi “. . . ana lintang, ana mendhung”
yang diubah menjadi “. . . ana padhang, ana mendhung”. Bagi Endro Wilis, kata
“lintang” itu punya makna simbolik yang berbeda dengan “padhang”. “Lintang
(bintang)”, menurut Endro Wilis bermakna penunjuk arah, pandu, sehingga jika
diubah “padhang” maknanya menjadi berbeda dan mempengaruhi seluruh isi lagu.
Pemilihan diksi
“lintang” dan alasan penggunaannya dalam lirik lagu menunjukan bahwa Endro
Wilis sangat cermat dan penuh pertimbangan dalam menulis syair-syair lagunya.
Kecermatan pemilihan diksi ini berkait erat dengan upaya untuk mengungkapkan
secara tepat apa yang dipikirkan dan apa yang diimajinasikan dalam lirik lagu.
Oleh karenanya, kemarahannya terhadap apa yang disebutnya menghancurkan syair
asli yang ditujukan pada seorang kawan/seniman yang mengubah syair lagu Mbak Irat dapat dimaklumi (tentang
kutipan pernyataan Endro Wilis baca bagian sebelum ini di atas).
Pada lagu Lare Cilik Mbangkang (syair lagu ini
mengingatkan pada puisi Chairil Anwar yang ditulis tahun 1943, Kepada Peminta-Minta) mengungkapkan rasa
bersalah terhadap kemelaratan dan penderitaan seorang anak kecil peminta-minta
tidak ditemukan keterangan mengapa lagu ini punya dua waktu penciptaan yang
berjarak 29 tahun. Pada lembar notasi dan syair lagu, di pojok kanan atas di
bawah nama Endro Wilis sebagai pencipta hanya tertulis Mlg, 17-12-1968 –
16-4-1997, Bwi. Mungkin lagu ini memang, karena alasan tertentu, membutuhkan
waktu yang lama untuk menyelesaikannya.
Apa yang menarik adalah
lembar notasi dan syair lagu Selendang
Sutra seolah memang berasal dari tahun saat penciptaanya, 1964, di
Lumajang. Padahal, dari informasi yang beredar di antara kawan-kawan Endro
Wilis, ternasuk almarhum Endro Wilis sendiri, menyatakan bahwa lagu Selendang Sutra pada awalnya berjudul Selendang Abang. Perubahan dari “Abang
(Merah)” ke “Sutra” karena “Merah” mempunyai konotasi politik komunis.
Netralisasi dari “Abang” ke “Sutra” tampaknya tidak membuat Endro Wilis
keberatan. Represi yang ketat dan keras terhadap apapun yang berkonotasi
komunis pada masa Orde Baru, saya kira, membuat Endro Wilis harus menerima
perubahan tersebut. Bagaimanapun, stigma yang ditorehkkan rezim Orde Baru kepadanya
sebagai ex napol membuatnya harus bersikap hati-hati. Namun, pemilihan “Sutra”
untuk menggantikan “Abang” sangat tidak khas Endro Wilis yang sangat cermat
dalam pemilihan diksi. “Sutra” pada Selendang
Sutra lebih punya makna denotatif
sebagai barang sandang untuk kalangan atas dalam masyarakat, tidak
sesuai dengan syair lagu yang menceritakan petani gerilyawan yang berpamitan
dengan kekasihnya untuk ke medan laga.
Sangat tidak mungkin
jika lagu yang dikarang Endro Wilis sebelum tahun 1969, sebelum ia dijebloskan
ke dalam tahanan Lowokwaru, hanya berjumlah 4 lagu. Sebelum meletusnya
malapetaka politik 1965, saat kelompok-kelompok kesenian tumbuh menjamur
bersamaan dengan tumbuhnya beragam partai politik dengan berbagai aliran, di
Kelembon, kampung halaman Endro Wilis, berdiri kelompok angklung yang bernama
“Agung Wilis” di mana Endro Wilis banyak terlibat di dalamnya, termasuk sebagai
pencipta lagu. Saya menduga banyak sekali lagu karangan Endro Wilis yang hilang
saat ia berada di sel penjara Lowokwaru. Ketika kami bercakap bertahun lalu,
Endro Wilis menceritakan sebagian besar koleksi buku miliknya termasuk
lagu-lagu karangannya yang dititipkan pada seorang kawan lenyap saat ia bebas. Berdasarkan
apa yang terjadi pada 4 lagu sebelum 1969 yang disimpan oleh Wahono Elman kita
dapat menduga bahwa lagu-lagu yang dikarang Endro Wilis sebelum tahun 1969
telah mengalami suatu hal yang membuat lagu-lagu tersebut tidak ada lagi dan
“rusak”.
Sebetulnya ada satu
lagu lagi yang disimpan oleh Wahono Elman yang dikarang sebelum tahun 1969, Padha Nginang. Terus terang saya
terkejut mendapati lembar notasi dan lirik Padha
Nginang terselip di antara empat ratusan lagu karang Endro Wilis. Endro
Wilis pernah suatu ketika dengan abai mengatakan tidak lagi menyimpan lembaran
notasi dan lirik lagu Padha Nginang,
dan Segara, yang juga dikarang
sebelum tahun 1969. Namun lembaran notasi dan lirik Padha Nginang yang memuat pencipta lagu BS. Nurdian dengan lirik
ditulis oleh Endro Wilis dan diaransemen oleh Nasta, koleksi Wahono Elman
tersebut sangat berbeda dengan lembaran-lembaran lagu lain.[xv]
Tulisan tangan pada lagu Padha Nginang
berbeda dengan tulisan tangan ratusan lagu lainnya, tidak ada titi mangsa kapan
lagu diciptakan di bawah nama pengarang dan ada nama arranger yang tidak lazim
dituliskan oleh Endro Wilis. Satu lagi, penulisan “Blambangan” pada syair lagu
koleksi Wahono tersebut sangat tidak khas Endro Wilis yang lebih memilih
penulisan “Belambangan”. Syair lagu itu sendiri saat dibandingkan dengan syair
yang dinyanyikan oleh seorang dari Kelembon yang (mengaku) masih hafal ada
beberapa bagian syair yang berubah. Syair lagu Padha Nginang milik Wahono persis sama dengan syair Padha Nginang dalam album Angklung Soren yang dipublikasi tahun
2004
Padha
Nginang adalah alegori perlawanan rakyat
Belambangan/Banyuwangi terhadap penjajahan dan penindasan. Dibuka dengan
pernyataan yang tegas dan jelas bahwa wong Belambangan menolak
penjajahan, syair Padha Nginang
mengalir dari perlawanan Pangeran Puger ke Agung Wilis ke Jagapati dan Sayu
Wiwit. Serial perlawanan pada masa Belambangan kuno kemudian, tanpa terasa,
masuk dalam penggalangan perlawanan pada masa Banyuwangi. Subyek perlawanan
bergeser dari menyebutkan tokoh-tokoh Belambangan kuno ke rakyat jelata.
Saya menemukan paling
tidak tiga varian syair Padha Nginang:
pertama syair pada koleksi Wahono[xvi],
kedua syair dari seorang warga Kelembon yang mengaku hafal, ketiga syair yang
dinyanyikan oleh Agustinus Prayitno[xvii].
Syair pada arsip koleksi Wahono, seperti telah dipaparkan di atas, kemungkinan
besar tidak ditulis oleh Endro Wilis. Syair yang dinyanyikan seorang warga
Kelembon terdengar rumpang jika dibandingkan dengan syair pada koleksi Wahono.
Begitu juga syair yang dinyanyikan Agustinus Prayitno. Beberapa diksi bahkan baris
syair mungkin mengalami perbedaan karena proses lisan dalam penyebaran lagu.
Namun demikian ada beberapa diksi yang sangat mungkin sengaja diubah. Dalam
lirik yang dinyanyikan oleh Agustinus Prayitno dan seorang warga Kelembon kita
dapat mendengar diksi “abang”, “Bedewang”, dan” buruh tani” yang menjadi
“aman”, “Blambangan”, dan “konco” pada syair koleksi Wahono. “Abang”
“Bedewang”, dan “Buruh tani” ditambah lagi dengan “mendem candu” dan “setan
alas” yang ada di ketiga varian syair, saya kira, merupakan ekspresi politik
kiri yang diungkapkan dalam lirik lagu. Perubahan pada tiga diksi pertama,
bagaimanapun, adalah suatu tindakan swasensor yang dilakukan untuk
“mengamankan” lagu tersebut. Kenapa saya menduga perubahan terjadi dari
“abang”, “Bedewang”, dan “buruh tani” ke “aman”, “Blambangan”, dan “konco”,
tidak sebaliknya? Sebagaimana Kelana Wisnu yang dalam artikelnya membagi
perlawanan dalam Padha Nginang
menjadi tiga babak, saya juga demikian. Namun, jika Kelana Wisnu memasukan ketiga
babak tersebut pada masa Belambangan kuno, saya membaginya dalam dua babak pada
masa Belambangan kuno dan satu babak pada masa Banyuwangi. Perlawanan dimulai
dari Dalem Puger dan Agung Wilis di Banyu Alit (1768) ke Jagapati dan Sayu
Wiwit di Bayu (1771 – 1773) ke perlawanan PKI di Bedewang (1926). Dua
perlawanan di masa Belambangan kuno terekspresikan dalam ketiga varian lirik
lagu, sedangkan perlawanan di Bedewang terdapat pada dua varian lirik dan tidak
ada pada lirik lagu koleksi Wahono.
Bedewang adalah salah
satu desa di Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi, yang berada di kaki
gunung Raung. Pada November 1926 masyarakat buruh dan petani Bedewang melakukan
pemogokan, sebagai pelaksanaan keputusan konferensi PKI 25 Desember 1925 di
Prambanan[xviii],
yang meningkat menjadi kerusuhan dan berujung dengan dibuangnya 44 orang ke
Boven Digoel. Sebelum pergolakan politik 1965 Bedewang adalah basis PKI yang
menjadi pusat penggemblengan kader militan dan kritis. Pada konteks inilah
babak ketiga perlawanan dalam lirik Padha
Nginang mesti diletakan. Diksi “mendem candu” dan “setan alas” yang
terdapat pada ketiga varian lagu dan diksi “abang”, “Bedewang”, “buruh tani”
yang terdapat pada varian yang dinyanyikan Agustinus Prayitno dan seorang warga
Kelembon merupakan diksi-diksi yang mengikat kerusuhan Bedewang sebagai
perlawanan PKI terhadap kolonial Belanda. “Mendem candu” adalah varian adaptasi
dari salah satu pernyataan Karl Marx yang terkenal “agama adalah candu[xix]”,
sedangkan “setan alas” adalah varian adaptasi dari “tujuh setan desa” yang yang
dicetuskan oleh D.N. Aidit (1964) dalam kajian sosiologi-ekonomi pedesaan di
daerah Jawa Barat, Kaum Tani Mengganyang
Setan-setan Desa[xx].
Pada diksi lain, “abang” adalah warna yang mempunyai asosiasi politik sebagai warna
komunis, “buruh tani” baik digabungkan maupun terpisah adalah elemen dari kelas
proletar, untuk “Bedewang” sudah dijelaskan diatas.
Penghilangan atau
penghapusan perlawanan PKI terhadap kolonialisme Belanda di Bedewang tahun 1926
pada lirik Padha Nginang saat
dipublis sebagai salah satu lagu dalam album Angklung Soren, bagaimanapun, mesti dipahami sebagai upaya untuk
menghindari tindakan sensor sampai pelarangan oleh aparat yang mungkin akan
dilakukan pada album Angklung Soren.
Sikap alergi terhadap komunisme di Indonesia ternyata tak surut di era pasca
Reformasi 1998 walaupun rezim Orde Baru yang kekuasaannya salah satunya
bertumpu pada pengingkaran peran kaum komunis dalam perjuangan kemerdekaan
telah tumbang. Pada sebulan terakhir ini saja, aparat negara di bawah rezim
Jokowi yang didukung oleh partai yang mengaku sebagai penerus Soekarno telah
melakukan dua kali razia buku yang dianggap menyebarkan komunisme di Kediri dan
Padang. Belum lagi kasus aktivis lingkungan, Budi Pego, yang menolak tambang di
Tumpang Pitu Banyuwangi yang dikriminalisasi dengan menuduhnya menyebarkan
ajaran komunis. Tumbangnya Orde Baru ternyata tidak diikuti oleh narasi anti
komunisme yang dibangun oleh Orde Baru. Salah satu narasi Orde Baru berkait
dengan pengingkaran perlawanan kaum komunis Bedewang terhadap kolonialisme
Belanda adalah dengan mengelirukan[xxi]
perlawanan PKI di Bedewang dengan perlawanan Kyai Abdullah Faqih “Cemoro”, Balak,
Songgon.
Perubahan “Bedewang”
menjadi “Belambangan” dalam syair lagu Padha
Nginang, seperti juga perubahan “Abang” menjadi “Sutra” dalam Selendang Sutra, hanyalah contoh dari
dampak kampanye pembersihan anasir komunis oleh Orde Baru, yang di Banyuwangi,
salah satunya, dilaksanakan melalui surat keputusan Bupati Supaat, SK No. um/1698/50
tertanggal 19 Mei 1970, yang menjadi dasar untuk melakukan sensor dan
pelarangan produk-produk kesenian Banyuwangi yang dianggap beranasir komunis
dengan dalih mengembalikan kesenian dan kebudayaan Banyuwangi pada keasliannya.
Bencana politik nasional
tahun 1965 ternyata tak tak cukup hanya menjebloskan Endro Wilis ke dalam sel
penjara pada tahun 1969 dengan tuduhan komunis. Bencana politik tersebut juga
merusak dan menghilangkan sebagian lagu-lagu Endro Wilis yang diciptakan
sebelum tahun 1969, bahkan mengubah bagaimana Endro Wilis menulis syair-syair
lagu karanganya setelah tahun 1969. Tema perlawanan rakyat jelata terhadap
penindasan seperti dalam Padha Nginang atau
narasi penghisapan seperti dalam lagu Segara
yang mengisahkan penghisapan yang dialami buruh nelayan menghilang dari
lagu-lagu Endro Wilis setelah tahun 1969. Dalam syair lagu-lagu setelah 1969
tak lagi terbaca bahwa penderitaan dan kesengsaraan rakyat jelata disebabkan
oleh ketimpangan akibat dari penghisapan dan penindasan. Lagu-lagu seperti Wong Dodol Gedheg (1979), Ngalas (1981), dan Mulih Mancing (1976 – 1989) hanya menggambarkan beratnya beban
pekerjaan dengan hasil yang tak seberapa. Tak jarang juga beratnya beban kerja
yang tak sebanding dengan hasil yang didapat itu, karena tak memiliki tanah dan
hanya menjual tenaga, akhirnya dimuarakan pada rasa syukur dan pasrah kepada
Tuhan, seperti dalam lagu Paman Tani
(1996).
Perubahan
dalam syair lagu-lagu setelah tahun 1969 itu bukan berarti syair-syair Endro
Wilis kemudian tidak bersifat “politis”. Penyingkapan kontradiksi dalam
hubungan produksi seperti dalam lagu Segara
memang tak terdengar lagi. Namun, penggambaran kehidupan rakyat jelata dengan
segala kesengsaraan yang dideritanya menjadi semacam perlawanan laten terhadap
lagu-lagu Banyuwangi dengan syair yang mengungkapkan kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat Banyuwangi seperti lagu-lagu yang dikarang oleh BS.
Nurdian dan Andang CY. Boleh dikatakan lagu-lagu Endro Wilis setelah tahun 1969
mengalami pergeseran dari perlawanan yang berlandas pada kondisi material
menjadi perlawanan
yang berlandas pada moral, atau perlawanan kultural.
Perlawanan kultural
Endro Wilis dalam syair lagu-lagu karangannya mendapatkan konteksnya dalam
penolakan dan penentangannya terhadap penggunaan Using/Osing sebagai identitas
masyarakat Banyuwangi “asli”. Lagu Lare
Belambangan menjadi contoh paling gamblang bagaimana Endro Wilis menentang
Osing/Using. Lagu Lare Belambangan
tampak menantang lagu Isun Lare Using
yang diciptakan oleh BS. Nurdian dan Andang C.Y. Sementara Lagu Nana (1997) yang menolak Minak Jinggo
disetarakan dengan tokoh-tokoh perlawanan Blambangan kuno seperti Agung Wilis
dan Sayu Wiwit menantang lagu Umbul-Umbul
Blambangan ciptakan BS. Nurdian dan Andang C.Y. yang juga menjadikan Minak
Jinggo sebagai teladan disamping Agung Wilis dan Sayu Wiwit.
Meskipun kakeknya, Mbah
Darji, adalah orang yang paling bertanggung jawab atas populernya cerita Minak Jinggo di Banyuwangi melalui
panggung drama-tari yang diciptakannya, Endro Wilis, sang cucu, dengan tegas
menolak Minak Jinggo. Bagi Endro
Wilis, Minak Jinggo adalah cerita yang ditulis atas pesanan penjajah Belanda
untuk mendiskreditkan wong Belambangan. Di bagian bawah notasi dan syair
lagu Nana, Endro Wilis menulis, “yang menciptakan serat Damar Wulan adalah
kekuasaan yang memihak Belanda!, yang menjual kontrak tanah Belambangan kepada
Belanda!”. Ketegasan Endro Wilis yang melahirkan kisah yang ironis
sekaligus tragis di baliknya semacam ini persis sama dengan peledakan stasiun
pengisian bahan bakar tempat ayahnya bekerja, di Rogojampi, yang dilakukan
bersama kesatuannya untuk melakukan sabotase dalam gerilya Perang Kemerdekaan.
Pandangannya terhadap
cerita Minak Jinggo sama dengan istilah Osing. Dalam satu artikel yang kemudian
didebat oleh Hasan Ali, menurut Endro Wilis istilah Using diciptakan oleh
Belanda untuk menanamkan penyakit buruk “minderwardigheidscomplex
(merasa rendah diri)” kepada rakyat Belambangan[xxii].
Dalam konteks tuturan khas yang berlaku di kalangan orang Banyuwangi “asli”,
berbeda dengan Hasan Ali yang dengan tegas menyatakan sebagai Bahasa/Basa
Using, Endro Wilis memilih untuk menyebutnya “Cara Belambangan”. Namun
demikian, apa yang dimaksud istilah “cara” tersebut sama dengan “bahasa”. Jika
Hasan Ali, seorang bidan kelahiran Bahasa Using yang gigih, menerbitkan buku Tata Bahasa Baku Bahasa Using (2002),
Endro Wilis menerbitkan Cara Penulisan dan Pengucapan
Kata-Kata Belambangan (2001). Namun, bila buku yang disusun Hasan Ali ditujukan
untuk digunakan sebagai bahan ajar di sekolah-sekolah, buku yang disusun oleh
Endro Wilis ditujukan untuk digunakan dalam bidang kesenian, jurnalistik, dan
praktik penulisan yang berhubungan dengan komunikasi antar anggota keluarga.
Sebagaimana
seniman-seniman besar lain yang menjadikan diri sendiri sebagai tema dalam
keseniannya, self portrait. Dalam
lagu Kepodhang Manuk Seniman (1982),
tampaknya Endro Wilis mengumpamakan dirinya sebagai burung kepodhang yang harus
kerja keras setiap hari untuk mencari makan, yang membela kaum jelata dan
menyebarkan semangat juang dalam nyanyiannya, namun tak mempunyai tunjangan pensiun
di masa tuanya. Begitu juga lagu Paman
Butol Karung (1979) yang mengumpamakan dirinya sebagai barang rombengan. Cara
memandang dirinya yang sedemikian ironis dan tragis tersebut, saya kira,
berkait erat dengan tuduhan komunis kepadanya yang bukan hanya membuatnya
dijebloskan dalam penjara Lowokwaru, tapi juga berakibat di sepanjang sisa
hidupnya. Pada suatu kesempatan bercakap dengannya bertahun lalu dengan
terkekeh ia menunjuk piagam bintang gerilya yang tergantung di dinding rumahnya
dan mengatakan bahwa jika saja laku itu bintang gerilya yang ditandatangani
Bung Karno, biar aku jual saja. Namun demikian ia tidak dilemahkan oleh
perlakuan negara terhadap dirinya. Seperti baris terakhir lagu Ngadega Kang Jejeg (1979/1990), ia
adalah seekor elang dalam perumpamaan Yesaya 40:31[xxiii],
gagah prakoso yoro Allah kang miyara
(gagah perkasa sebab Tuhan yang memelihara).
Asmara:
Seksualitas dan Rumah Tangga
Tak adil rasanya jika
dalam tulisan ini tidak dibahas tema asmara yang sesungguhnya melimpah, bahkan mungkin
paling banyak jumlahnya, dalam karya-karya lagu Endro Wilis. Tema asmara dalam
lagu-lagu karangan Endro Wilis merentang dari sebelum tahun 1969 sampai tahun
akhir 1990-an. Sebagaimana tema asmara dalam lagu-lagu pada umumnya, kita akan
menemui ungkapan perasaan rindu, patah hati, dan kegembiraan.
Dalam lagu-lagu Endro
Wilis tampaknya kesetian menjadi landasan paling dasar untuk membina hubungan
asmara. Kesetiaan diungkapkan sebagai pengabdian yang hampir tanpa batas kepada
pasangan, baik laki-laki maupun perempuan, seperti pada syair lagu Wis Sun Cawisi (1979), O, Melati Kumba (1982), dan Isun Milih Rika (1996). Sebaliknya,
ketaksetian adalah suatu pengkhianatan yang memataharangkan jiwa seperti dalam
lagu Ulang Andhung-Andhung
(1964/1995). Namun demikian, kepedihan yang disebabkan oleh ketaksetiaan bukan
hanya membuat patah hati, pun juga ketidakpedulian lagi seperti pada lagu Kembang Selangking (1981). “Kembang selangking sing abang yo sing
kuning, rugi kelangan paran? Rika minyang hun golek maning”.
Hasrat seksual terhadap
lawan jenis dalam asmara, dalam lagu-lagu Endro Wilis, diungkapkan secara
terkendali. Seru Ayune (1998),
sebagai misal, gelegak hasrat seksual yang dirangsang oleh kecantikan perempuan
cukup diungkapkan secara metaforal, “lirike
nggawe meriyang” dan “nyawang pipi mebranang, aduh nyawa kaya kobongan”.
Konsekwensinya, lagu-lagu Endro Wilis mengutuk hasrat seksual yang diumbar.
Dalam Mawar Kandhangan (1988)
perempuan yang tidak hati-hati menjaga hasrat seksualnya hanya menuai penyesalan
pada akhirnya. Sementara dalam Bajul
(1979) Endro Wilis memperingatkan daya pikat “bajul buntung” untuk memperdaya
gadis demi mengumbar hasratnya. Dalam lagu-lagu Endro Wilis, tidak ada jalan
lain bagi asmara kecuali menuju rumah tangga dan pelampiasan hasrat seksual
hanya diijinkan dalam rumah tangga. Namun demikian, pengungkapan seksualitas
dalam rumah tangga diceritakan dengan cara metaforal dibingkai dalam narasi
komikal. Dalam Kumpul Mertuwo (1996)
aktivitas seksual pengantin baru yang tinggal bersama mertua digambarkan secara
metaforal; “Bengi iki kepingin ngipi,
Maq! Miber munggah nyang nduwure mega / Ulan lintang pada mesem-mesem, nyawang
kupu cedung goq lali-laliyan”. Akibatnya si pengantin lelaki yang bangun
kesiangan malu pada mertua dan tanpa pikir panjang ambil cangkul berangkat ke
sawah meski perut melilit belum sarapan. Sementara dalam Nyambel Kelowek (1997) menceritakan pasangan tua yang melepas
hasrat seksual semalaman, akibatnya mereka bangun kesiangan. Sang perempuan tua
bangun tergeragap karena belum menyediakan sarapan, sang lelaki tua bangun
tergopoh-gopoh karena lupa bayar setoran.
Bagi Endro Wilis,
tampaknya, asmara dibayangkan selalu menuju stasiun penghabisan rumah tangga di
mana kesetiaan menjadi semacam tiket keberangkatan yang selalu menerakan tujuan
pulang. Dalam rumah tangga peran laki-laki dan perempuan terbagi menjadi peran
non domestik dan domestik. Oleh karenanya perempuan hampir selalu diibaratkan
sebagai bunga, bukan sembarang bunga, tapi bunga pekarangan atau jambangan.
Sementara lelaki diibaratkan sebagai hewan. Jika pun lelaki diibaratkan sebagai
bunga, ia adalah bunga liar yang tumbuh di jalanan. Prinsip keluarga sebagai
suatu sistem yang bergantung pada fungsi anggota-anggotanya dalam hubungan timbal
balik akan terganggu kesetimbangannya jika salah satu anggotanya tak berfungsi
atau/karena support sistem di luarnya tidak memberikan sokongan yang memadai.
Dalam Mbok Epuk (1979), misalnya,
perempuan yang hidup sebatang kara karena sang suami gugur melawan Belanda dan
anak lelakinya hilang ikut romusha di jaman Jepang harus menafkahi dirinya
sendiri dan digigit sepi di malam-malam gelap yang dalam.
Membaca Boesairi, Boesairi Elman, dan Endro Wilis melalui karya lagu-lagunya dan kenangan-kenangan terhadapnya seperti berhadapan dengan figur yang terbentuk dari catatan-catatan montasial mengenai pemikiran, hasrat tubuh, pengalaman, prinsip, dan cita-cita di mana kedirian yang pribadi tak bisa dilepaskan dari bingkai sosial yang melingkupinya. Tekanan-tekanan yang diterimanya dari negara dan lingkungan sosial menempanya menjadi baja yang lentur. Sebagaimana tanda seru yang hampir selalu mengakhiri setiap baris syair lagunya, ia terus berapi-api sampai maut merenggutnya. Namun demikian, seperti seorang perempuan di penjelang tungku yang menjaga api agar tak menjadi padam juga tak membesar membakar segala, ia juga lembut dan jenaka. Ia sanggup membedil kaki anggota pasukannya yang menjarah rumah warga yang seharusnya dilindunginya[xxiv], tapi ia dapat menyentuh seorang bayi dalam buaian dan tersenyum lebar pada orang tuanya[xxv]. Ia pun sanggup menertawai dirinya sendiri. Tentu saja, Endro Wilis di dalam syair-syair lagu dan berdiam dalam kenangan hanyalah sebagian dari karakter Endro Wilis yang hidup. Namun, hari ini kita hanya dapat menyentuhnya melalui irama dan syair-syair juga kenangan yang ditinggalkannya.
[i] Bait kedua dari On a Political
Prisoner, karya W.B. Yeats (1921), yang dibaktikan kepada Constance
Markievicz, versi lain kepada Maud Gonne. Baik Markievicz atau Gonne adalah
perempuan pejuang untuk kemerdekaan Irlandia, keduanya pernah dipenjara oleh
Inggris akibat perjuangannya itu. Markievicz dipenjara tahun 1916 karena
terlibat Easter Rising, dijatuhi
hukuman mati namun diubah hukuman seumur hidup hanya karena jenis kelaminnya,
tapi dibebaskan tahun 1917 saat Inggris memberikan amnesti kepada semua yang
terlibat dalam Easter. Sekitar tahun
kebebasan Markievicz pindah dari penganut Kristen ke Katolik. Maud Gonne,
selain aktivis juga aktris, perempuan yang membuat W. B. Yeats 4 kali patah
hati, dipenjara tahun 1918 selama 6 bulan dan dipenjara kembali selama delapan
hari tahun1923 karena dituduh menyulut gerakan anti pemerintah. On a Political Prisoner di muat dalam The Dial, volume 69, July – December
1920, hal.462. (Terjemahan saya)
[iii] Dari arsip tulisan tangan Endro Wilis koleksi Eli Suwardaningsih,
salah satu anak perempuan Endro Wilis.
[iv] Tentang membendung pengaruh westernisasi dan upaya menegakan model kekuasaan
bapak – anak, Aria Wiratma Yudhistira
(2010) membahasnya dengan baik dalam buku Dilarang
Gondrong!.
[v] Ada dua lembar notasi dan syair lagu Mbok Irat, pada versi lainnya ia
menulis, tak jauh berbeda,:
“Syair aslinya sudah dihancurkan oleh seorang seniman (?)
(diganti total tanpa idzin!)
Syair ini saya buat baru dan
saya nyatakan bahwa yang
Di luar ini adalah pelanggaran
!!!”
[vi] “In the early 1970s, under the
first regent of the New Order, the genre of Banyuwangi music was revived – in a
radically different political context and without “Génjér-Génjér”, Ben
Arps, Osing Kids and Banners of Blambangan, dalam Wacana, Vol. 11 No.1 (April 2009), hal. 26.
[vii] Koleksi Eli Suwardaningsih
[viii] Sebenarnya selain “Elman”, sebelum “Boesairi” ada ditambahkan “Jonathan”.
Namun nama “Jonathan Boesairi Elman” jarang digunakan. Jonathan secara
etimologis berasal dari bahasa Ibrani “Yehonatan”, pemberian Tuhan atau karunia
Tuhan. Ada beberapa nama Jonathan dalam Alkitab, yang termashur adalah Jonathan
(Yonatan) putra Raja Saul, sahabat Daud yang pemberani. Hal yang menarik di
sini, karena kasih dan setianya pada Daud, Jonathan dimusuhi ayah kandungnya,
Raja Saul, yang dalam Al Kitab disebutkan ditinggalkan Rob Allah.
[ix] Dalam tesis yang berjudul Konflik
Elit dan Kekerasan Arus Bawah:Pergolakan Politik 1965 di Banyuwangi, hal.2,
Hanif Risa Mustafa menyatakan, “ . . .
salah satu dampak dari konflik peristiwa gerakan 30 September, menimbulkan rasa
ketidakpuasan terhadap sutau kepercayaan”. Hanif dalam tesis tersebut menitikberatkan
pada perpindahan agama dari Islam ke Hindu berdasarkan tulisan M.C Riklefs
(2012) yang mencermati peningkatan pemeluk Hindu pada sensus penduduk 1971.
Sedangkan pada halaman 140, Hanif menulis, “Konversi
besar-besaran dari Islam ke agama lain ini tidak lain karena peran aktif pemuda
Ansor dalam campur tangan dalam pergolakan 1965”.
[x] Untuk lebih jelas memahami bagaimana agama berfungsi dalam politik
sebagai landasan kekuasaan dan landasan perlawanan, baca James C. Scott, The Art of Not Being Governed, bab. 8:
Prophets of Renewal.
[xi] Pada kenyataannya bukan hanya agama Islam yang diperalat untuk
memusnahkan kaum komunis. Paling tidak tulisan M. C. Riklefs (2010)
mengonfirmasi hal ini. Baca Hanif op. cit., catatan kaki hal. 124.
[xii] Walaupun pada lagu-lagu yang dikarang sebelum 1974 ditulis nama Endro
Wilis sebagai pengarang, saya menduga lagu-lagu tersebut ditulis ulang pada
tahun-tahun setelah ia bebas dari penjara Lowokwaru pada tahun 1979. Namun
demikian ada juga kemungkinan nama Paman Goplang sebagai nama pena hanya khusus
digunakan pada artikel yang dimuat di Mekar
Sari yang berbahasa Jawa.
[xiii] Bertahun lalu Endro Wilis mengatakan ia tak lagi menyimpan arsip lagu
ini. Dapat dipastikan lagu ini diciptakan sebelum tahun 1969, saat ia terlibat
dalam kelompok angklung Agung Wilis. Lagu “Segara” dalam versi yang sama sekali
berbeda juga ditemukan pada koleksi Wahono Elman, dikarang tahun 1997.
[xiv] Pada percakapan tekstual singkat saya dengan Hasan Sentot via mesenger
pada Selasa, 8 Januari 2019, Hasan Sentot membagikan khazanah pengetahuannya
yang luas tentang gending-gending Banyuwangi. Tentang Ulan Andhung-Andhung, dan juga Mbok
Irat, Hasan Sentot tidak hanya berbagi informasi tentang perekaman dua lagu
tersebut, ia juga membagikan syair lagu versi Andang C.Y yang berbeda dengan
syair karangan Endro Wilis.
[xv] Entah dari mana Novi Anoegrajekti dalam makalah berjudul Sastra Lokal dan Industri Kreatif:
Revitalisasi Sastra dan Budaya Using menyatakan bahwa Padha Nginang dikarang oleh Moch. Arief dan Endro Wilis.
[xvi] Walaupun ada beberapa diksi yang berbeda, syair pada koleksi Wahono
boleh dikatakan sama dengan lagu yang dinyanyikan Pipit dalam album Angkulng Soren. Lirik yang ada dalam
album Angklung Soren sama sekali
tidak ada diksi “abang”, sedangkan pada syair koleksi Wahono hanya ada satu.
Ada dua diksi lagi yang berbeda, namun saya kira tidak sepenting “abang” yang
dalam konotasi politik berarti kiri atau komunis.
[xvii] Lihat https://www.youtube.com/watch?v=2v5rUH3w-Cs.
Syair yang dinyanyikan Agustinus Prayitno ini sama dengan syair yang dinyanyikan
kelompok paduan suara dalam beberapa event lomba paduan suara Internasional.
Menarik apa yang diceritakan oleh Kelana Wisnu Sapta Nugraha, Nugraha pernah
menjadi anggota paduan suara pada event loma paduan suara internasional, bahwa
guru musik mereka menemukan lagu Padha
Nginang di Bali, dinyanyikan oleh seorang tunawisma. Agustinus Prayitno
mengaku sebagai pemulung, berawal sebagai penjaja buku bekas dan barang bekas
ia kemudian menjadi pemulung benda seni yang mempunyai Rumah Topeng dan Wayang
Setiadarma di Sukawati, Gianyar, Bali. Tentang Agustinus Prayitno baca di https://www.beritasatu.com/figur/141052-agustinus-prayitno-pemulung-benda-seni-yang-setia.html.
[xviii] Dalam buku Pemberontakan November 1926: Pemberontakan
Nasional Pertama di Indonesia (1926) yang disusun oleh Lembaga Sejarah PKI, peristiwa pemberontakan petani di Bedewang
disebut terjadi pada bulan April 1926 dan disebut sebagai aksi spontan yang
tidak terorganisir, tidak terkendali dan tidak dapat dipimpin. Apakah bulan
April 1926 adalah aksi pertama kali yang
kemudian berlangsung selama berbulan-bulan hingga pada bulan November 1926
pecah bentrok fisik hebat antara serdadu kolonial dan kekuatan petani yang
berakhir dengan dipadamkannya aksi yang diiringi dengan ditangkap dan
ditawannya para pemimpin aksi? Apa yang dimaksud dengan menyebut perlawanan
petani Bedewang sebagai aksi spontan? Apakah perlawanan tersebut dilakukan di
luar koordinasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI)? Namun para pemimpin
perlawanan yang ditangkap dan ditawan berasal dari Sarikat Rakyat dan PKI. Apakah
paparan singkat tentang perlawanan petani Bedewang tersebut menggambarkan betapa Keputusan Konferensi PKI
di Prambanan pada Desember 1925 mengalami masalah dalam pelaksanaannya? Tampaknya
perlu penelitian lebih lanjut untuk mengungkap persoalan perlawanan petani
Bedewang tersebut dan kaitannya dengan PKI.
[xix] Baca Karl Marx dalam pengantar untuk Contribution to Critique of Hegel’s Philosophy of Right (1843).
Pada konteks pemikiran konstruksi struktur-suprastruktur Marxian, agama berada
pada kategori suprastruktur yang keberadaannya ditopang oleh struktur yang
material. “Religious suffering is, at one
and the same time, the expression of real suffering and a protest against real
suffering. Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of a
heartless world, and the soul of soulless conditions. It is the opium of the
people”, Contribution, hal.
129.
[xx] Dalam laporan riset tentang kaum tani di Jawa Barat yang diterbitkan
Yayasan Pembaruan, Jakarta, (1964) ini Aidit membagi penindas dan penghisap
rakyat pekerja di desa menjadi 7 golongan, disebut sebagai 7 setan desa, yakni
(1) tuan tanah jahat, (2) lintah darat, (3) tukang ijon), (4) kapitalis
birokrat, (5) tengkulak jahat (6) bandit desa, dan (7) penguasa jahat.
[xxi] Arif Subekti, Ekspansi Komponi Hingga Sanad Kiai-Santri: Sejarah
Islamisasi Ujung Timur Pulau Jawa Abad XVII – XX, Shahih, Vol.2, Nomor 1, Januari – Juni 2017, LP2M IAIN Surakarta,
dalam endnotes menyebut narasi perjuangan Kyai Abdullah Faqih sebagai narasi
tanding terhadap pemberontakan Bedewang. Saya lebih cenderung untuk menyebutnya
sebagai “pengeliruan”, sengaja untuk mengingkari narasi Bedewang. Baca Tri Asih
Rahayu, S.Pd., Peristiwa (Gerakan) Bedewang, Kabupaten Banyuwangi, Gema Blambangan, No.064, 1996, hal. 44 –
45, menulis, “ . . . pada waktu masa jayanya Partai Komunis Indoensia (PKI)
pernah memberikan kesan atau mempropagandakan bahwa seakan-akan Peristiwa
Bedewang itu sebagai produk PKI . . .”.
Rahayu, saya kira, bukan tidak mengetahui narasi Bedewang 1926 sebagai
pemberontakan PKI, namun titik pijaknya dalam artikel tidak tidak mengijinkannya
untuk mengelaborasinya lebih jauh. Tentang bagaimana peristiwa Bedewang
dilestarikan sebagai ingatan kolektif masyarakat dalam sebuah syair lagu “12
November 1926” daerah baca Hanif Risa Mustafa, Konflik Elit dan Kekerasan Arus Bawah: Pergolakan Politik 1965 di
Banyuwangi, Tesis, Program Studi Ilmu Sejarah, Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Gajah Mada, Yogyakarta 2015, hal. 43 – 46; dan Arif Subekti,
Perubahan Afiliasi Politik Ulama NU
Banyuwangi 1955 – 1965, Tesis, Program Studi Sejarah, Ilmu Sejarah Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2015, hal. 51 – 52.
[xxii] Saya membaca artikel yang ditulis Endro Wilis, “Istilah Using
Melumpuhkan Jiwa” di Lembar Kebuadayaan
(LK), 10, Maret 2010. Artikel sanggahan dari Hasan Ali “Kata dan Predikat
‘Using’” juga dimuat di Lembar Kebudayaan
(LK), 04, September 2009. Ini agak membingungkan, seharusnya artikel Hasan Ali,
sebagai sanggahan, dimuat setelah artikel yang ditulis Endro Wilis. Tidak ada
keterangan sebelumnya dua artikel tersebut dimuat di mana dan kapan. Namun, pada
informasi tanggal penulisan yang dapat dibaca di bawah artikel, jelas artikel
Endro Wilis yang ditulis tanggal 23 Juni 2002 ditulis terlebih dahulu dari
artikel Hasan Ali, walaupun tidak ada keterangan kapan artikel itu ditulis,
yang mengutip lebih dari satu paragraf artikel Endro Wilis untuk
dikomentari.
[xxiii] Tetapi orang-orang yang
menanti-nantikan Tuhan mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang
naik terbang dengan kekuatan sayapnya; meraka berlari dan tidak menjadi lesu,
mereka berjalan, dan tidak menjadi lelah.
[xxiv] Seorang lelaki veteran tiga jaman yang tinggal sepelemparan batu dari rumah kontrakan saya di Jember bertahun lalu menceritakan kisah ini. Tampaknya ia juga harus mengganti agamanya, dari Islam ke Kristen, untuk “keselamatan” dirinya. Beruntung ia masih mendapatkan pensiun setelah masa aktif kedinasannya di militer.
[xxv] Tanpa saya duga ia berkunjung , beberapa hari setelah istri saya pulang dari melahirkan anak pertama kami di bidan. Endro Wilis, dan istrinya, lewat pintu belakang, pintu dapur, dengan berjalan agak goyang ia lebih dahulu masuk ke kamar “menyapa” anak pertama kami yang sedang tidur sebelum menemui kami di ruang depan.
Pelampiran beberapa
lagu karangan Endro Wilis dimaksudkan untuk memberikan contoh tulisan tangan
Endro Wilis yang konsisten, kecuali pada lagu Padha Nginang yang diduga bukan
tulisan tangan Endro Wilis. Pelampiran ini juga dimaksudkan untuk dapat
membandingkan beberapa syair yang dikarang Endro Wilis dengan syair-syair yang
telah diubah. Semua lagu dari koleksi Wahono Elman yang dilampirkan di sini adalah
salinan yang difoto oleh Muhammad Ardiansyah.
1. Beberapa lagu karangan Endro Wilis koleksi Wahono Elman.
a) Ulan Andhung-Andhung
a) Mbok Irat
MBOK
IRAT
Mbok
Irat ring kutho
Apuwo
sing teko-teko
Wis
lawas sing katon riko
Gancang-gancang gage muliho
Mbok
Irat montrang-mantring
Diemasi
golek pangan bontang-banting
Apike
baliko maning
Nong deso ning ring tepis wiring
Mbok
Irat baliko maning
Weruh
pari ring sawah podho nguning
Timbang
nong kutho keliling
Aluk ring deso pikiri sing munting
Syair/lagu
:Indro Wilis
Tahun
cipta/popular: Januari 1974.1975
Instrumen
pengiring : Angklung
Produksi rekaman : Ria Record Banyuwangi
b) Ulan Andung-Andung
ULAN ANDUNG-ANDUNG
Ulan
andung-andung
Yoro
metuo saben ulan saben tahun
Sunare
condro dewi alak emas
Kepilu padang mendem gadung bakalan wurung
Ulan
andung-andung ono padang ono mendung alak emas
Tangise
wong lanang hang keduhung
Yong-yong kelopo doyong awak kulo keloyong-loyong
Ulan
andung-andung
Wayah
subuh semurupo ring pucuke gunung
Age-age
temuruno alak emas
Uncalono kulo temiblak ring kembang kenongo
Nora
nyono bengi nyanding isuk nono alak emas
Lancinge
tanggung yoro esemono
Basane nyepak nyandung ra weruho bakalan wurung
Syair/Lagu
: Indro Wilis
Tahun Cipta/Populer
: 1964/1972
Instrumen
Pengiring : Angklung
Produksi Rekaman : Ria Record Banyuwangi
3. Syair lagu
Segara (sebelum 1969) yang dihafal oleh seorang warga Kelembon (agaknya tidak lengkap).
a) Segara
SEGARA
Segara
ya tantangan
Segara
ya panguripan
Segara dadi sawahe buruh nelayan
Mulo
sing bisa pisah
Bengi yo
lan raina
Iku dudu
ukuran
Nggandrung laut paribasan anak nong gendongan
Alune
kembang ombak
Kudang
ombake ati
Hasile megawe ngetog tenaga
Nublek nong tangane juragan
Posting Komentar