“Tak seorangpun menulis untuk tulisan itu sendiri, tak seorang pun ngomong sekedar untuk omongan itu sendiri”.
(Sismondi dalam Jacques Ranciere, Mute Speech, 2011)
Aku tidak punya ketertarikan khusus pada
sastra Amerika Latin. Namun bukan bararti aku tidak membaca karya sastra
Amerika Latin, meskipun hampir semua karya sastra Amerika Latin yang pernah aku baca, aku baca lewat terjemahan Bahasa
Indonesianya. Paling tidak ada dua novel
Amerika Latin yang saat mulai menulis ini aku ingat secara samar-samar, novel
tentang tukang kaca di jalanan tandus Guadalajara dan buku harian seorang
narapidana yang meringkuk di penjara Badajoz. Apakah aku tidak ingat Seratus Tahun Kesunyian-nya Gabriel
Garcia Marquez? Aku ingat. Namun novel itu baru aku baca setelah aku mendengar
istilah “Boom” dan “Realisme Magis”. Ada perasaan jengah dan mual yang aku
rasakan saat mendengar dua istilah itu. Istilah Boom dan Realisme Magis seperti
menghamparkan padaku pemandangan hiruk-pikuk dan hingar-bingar pasar malam.
Keramaian dan kegaduhan memang tidak pernah membuatku kerasan. Mungkin aku
takut ditelan keramaian dan tidak menjadi siapa-siapa, tidak dikenali. Entahlah,
bagiku, barangkali, lebih menantang menelusuri penulis seperti Stefan Tsanev. Lucunya, meskipun setelah bertahun-tahun
berupaya memburu karya-karya penulis Bulgaria itu, aku baru membaca satu karya
naskah drama yang ditulisnya: naskah terjemahan tak diterbitkan, ketikan
tangan, drama tentang tokoh perempuan petani yang menghidupkan kembali Perawan
Orleans di penjara berdinding batu Rouen dengan membaca baris-baris kalimat
suatu naskah drama. Quixotic memang, tapi aku suka. Aku bukannya tidak berhasil
mendapatkan naskah-naskahnya, beberapa aku mendownloadnya bila gratis.
Masalahnya sedikit naskah Stefan Tsanev yang pernah aku punya itu semuanya berbahasa
Bulgaria dan sebagian beraksara Sirilik. Kira-kira lebih setahun lalu,
naskah-naskah itu lenyap bersama meletusnya mesin komputerku. BOOM!
Barangkali perasaanku terhadap istilah
Boom dan Realisme Magis mengada-ada. Barangkali perasaan itu muncul karena
betapa seringnya istilah itu aku baca dan aku dengar, bahkan sampai sekarang:
berapa banyak pengarang Indonesia yang dibandingkan dengan dan dianggap
dipengaruhi oleh karya sastra Amerika
Latin generasi Boom atau dianggap mempunyai bentuk Realisme Magis? Mungkin
Ronny Agustinus perlu menghitung. Barangkali aku tidak pernah menemukan atau
malas mencari penjelasan yang cukup atau memuaskan kenapa generasi Boom lahir?
Apa kaitan bentuk Realisme Magis dengan sejarah, budaya, politik, dan ekonomi
kawasan sub benua Amerika bagian Selatan itu? Sebagian besar dari sedikit yang
aku baca tentang bentuk Realisme Magis hanya berkisar dan mengulang-ulang tentang
narasi novel yang membaurkan antara yang realis dan yang magis. Sedangkan
istilah Boom sendiri cuma dterangkan sebagai ledakan karya sastra Amerika Latin
tahun 60-an di kawasan dunia pertama yang berbahasa Inggris yang kemudian
merembet menjadi tren Internasional.
Sore hari itu aku menerima kiriman Macondo, Para Raksasa, dan Lain-Lain Hal
bersama tiga buku lainya dari Ronny Agustinus. Sebetulnya yang aku tunggu-tunggu
adalah salah satu dari empat buku itu, buku yang paling tua dari ketiga buku
lainnya, buku itu Border Country-nya
Raymond Williams. Tapi bukan berarti aku sama sekali tidak tertarik dengan
tulisan-tulisan upaya tentang seputar
sastra Amerika Latin karya Ronny Agustinus itu. Saat pertama kali aku membaca
berita di facebook bahwa Ronny menerbitkan buku yang berisi tulisan-tulisannya
tentang sastra Amerika Latin, aku sudah berencana akan membacanya. Tapi orang
itu kan memang “dot-nyeng”, belum tentu rencana yang pada awalnya diikuti
dengan niat menggebu itu segera dieksekusi. Begitupun saat ia membuka bungkusan
paket buku sore itu; bukannya ia antusias segera mencarik-carik halaman Border Country, ia malah menumpuk buku
tua itu dengan dua buku lainnya dan mengambil Macondo,
Para Raksasa, dan Lain-lain Hal untuk dibaca.
Mari kita lompati saja “Pengantar
Penulis”, tulisan yang di beberapa bagian, entah kenapa, mengingatkanku pada seorang
laki-laki muda kurus, berkacamata, berambut kusam panjang, dan dengan baju
sobek yang memanjang dari ketiak ke
bawah yang dilapis dengan sweater buluk, yang suatu saat di dalam taksi yang
melaju mengajakku untuk tak menepati
janji ketemu dengan seorang kawan kami.
Dua kutipan dari sastrawati Puerto
Rico dan sastrawan Chile yang lahir di antara generasi Macondo dan McOndo yang membuka “El Boom dan Fiksi Amerika Latin
Sesudahnya” , judul pertama dari “Macondo” yang merupakan bagian pertama dari
tiga bagian buku, seperti memberi peringatan perihal semangat apa yang bakal
menghidupi seluruh isi buku. Kebetulan atau tidak, Giannina Braschi dan Roberto
Bolano sama-sama lahir tahun 1953; terlalu tua untuk masuk dalam generasi
McOndo yang rata-rata lahir di akhir tahun 1960-an dan terlalu muda untuk masuk
generasi Boom yang meledak tahun 1960-an – jika ingin tahun yang lebih tepat,
menurut Ronny, tahun 1959 menyusul berhasilnya Revolusi Cuba. Pandangan Bolano yang menyinyiri sekaligus
menghormati generasi Boom dan keterbukaannya
“menemani” generasi McOndo yang mungkin dapat diekspresikan dengan bagaimana
ia menyebut generasi Boom sebagai “grandpa” dan menyebut generasi pengekor
realisme magis sebagai “retarded children”. Tentu saja generasi Boom tidak
identik dengan realisme magis (“Macondo”), tapi secara tersirat, dengan
menyebut para pengekor sebagai “retarded children”, Bolano boleh jadi menyokong
generasi McOndo yang menyeru putus dengan generasi Boom, khususnya dengan
bentuk realisme magis yang meskipun bukan ciri bentuk sastrawi total El Boom
tapi, bagaimanapun, sangat mendominasi. Sebagaimana pernyataan Bolano yang
dikutip Ronny, “Boom adalah konsep yang tak pasti”, begitu juga McOndo yang
penolakannya atas konvensi tunggal sastra Amerika Latin membawa kecenderungan
mencampurbaurkan yang tinggi dan “kacangan” dan karenanya juga menerima
realisme magis yang ditolaknya. Dalam sub judul “Setelah Pasca Macondo”, Ronny
memandang runtuhnya kediktatoran di sebagian besar negara-negara Amerika Latin
mendorong sastra mengartikulasikan politik dari ranah privat dalam kehidupan
urban yang kosmopolit. Sementara, dalam “Bukan Sekedar Macondo vs McOndo”,
selain membela orientasi politis El Boom, Ronny juga memaparkan problem klaim
konsep kekhasan sastrawi McOndo yang tidak teridentifikasi dalam karya-karya
para pengarang gerakan itu.
Seperti Bolano, Ronny juga kritis
menyoroti ketimpangan generasi El Boom, terutama tidak adanya pengarang
perempuan dalam generasi tersebut. Kutipan puisi Giannina Braschi yang menjadi
epigraf pada judul pembuka dalam buku ini seperti isyarat awal sokongan Ronny
untuk gugatan pengarang perempuan atas kultur jantan dalam generasi El Boom.
“Bukan Boom tapi B(l)oom”, yang mengapresiasi kiprah perempuan dalam sastra
Amerika Latin, dan “Carmen Balcells: Di Balik Layar El Boom”, yang
mengetengahkan perempuan hebat yang menggerakkan El Boom, cukup
merepresentasikan gugatan atas kultur jantan tersebut. Namun, ironisnya,
Giannina Braschi yang puisinya dikutip jadi epigraf dan penembakan narrator
dalam puisi tersebut ditafsir sebagai “penolakan Braschi untuk disetir dalam
warisan kanon boom” tidak aku temukan nama dan karyanya di “Daftar Bacaan”.
Barangkali penembakan narrator dalam “Manifesto on Poetic
Eggs” memang penolakan untuk disetir kanon Boom. Tapi bunyi “Boom! Boom!” dan pemberitahuan
“Ia mati. Ia mati. Mariquita telah membunuh Narator. Revolusi terjadi di The Intimate Diary of Solitude” hanya cangkeman. Tidak ada yang terjadi.
Narator masih segar bugar. Empire of
Dream, terutama bagian ketiganya – “The Intimate Diary of Solitude” –
adalah a book of nothing. Pengulangan
nama-nama dalam “The Intimate Diary of Solitude” mungkin meneladani pengulangan nama-nama yang membingungkan dalam Seratus Tahun Kesunyian, tapi
pengulangan dalam puisi Braschi itu juga dikuti oleh pengulangan-pengulangan
ruang dan waktu. Karakter-karakternya tidak pernah benar-benar menjadi
“karakter” seperti dalam Seratus Tahun
Kesunyian. Mariquita Semper, Uriberto Semper, Marquita Eisensweig, Uriberto
Eisensweig, Berta Singerman, bahkan Giannina Braschi sendiri adalah
avatar-avatar yang hidup dalam simultanitas ruang waktu panggung teater
simulakra bahasa. Sampai pikiranmu kembung, kau tak bakal kelar mencerna secara
semantik puisi Giannina Braschi tersebut. Daripada menjadi sapi yang
berkali-kali memuntahkan apa yang kau cerna untuk kembali mengunyahnya sambil
bengong-bengong, lebih baik kau membaca puisi Braschi tersebut dengan cara
lain. “The Intimate Diary of Solitude” itu puisi arabesque, ia tak menggambar dengan kalimat – sudah pasti Braschi
tak pernah ikut kursus menggambar dengan kalimat. Braschi menggambar dengan
pola ritmik sebagaimana pola ritmik bentuk geometris atau natural yang mengisi
bidang ornamen arabesque. Barangkali
puisi-puisi Giannina Braschi tak dapat dilepaskan dari gerakan garda depan Diepalismo tahun 1921 yang dicetuskan
oleh dua penyair Puerto Rico sebelumnya,
Luis Pales Matos dan Jose I. de Diego Padro – Diepalismo merupakan akronim gabungan kedua nama tersebut – yang walaupun
dikatakan diilhami oleh bunyi musik dan gerak tarian dalam kultur Afro-Antillean,
tapi akarnya mungkin bisa dilacak sampai ke Stephane Mallarme. Tapi di sini
kita tak akan membicarakan Giannani Braschi atau “The Intimate Diary of
Solitude” lebih lanjut.
Sudah pasti aku tidak membaca karya
Braschi atau karya-karya penulis Amerika Latin lainnya dalam bahasa Spanyol.
Masalah penyimpangan atau reduksi tak mungkin dapat dihindari dalam proses
penerjemahan dari bahasa pertama ke bahasa kedua, apalagi proses penerjemahan
dari bahasa kedua ke bahasa ketiga. Masalah semacam ini tentu tak ditemui oleh
Ronny yang menguasai Bahasa Spanyol. Penguasaan Bahasa Spanyol yang dimiliki Ronny,
bagaimanapun, membuatnya dapat mengakses ke sumber-sumber langsung yang lebih
melimpah dan nyaris tak terdistorsi mengenai kesusastraan Amerika Latin dan
segala macam wacana yang berkaitan dengan kesustraan Amerika Latin. Keleluasaan
dan tentunya ditunjang dengan ketajaman pikir inilah yang membuat Ronny mampu
merekonstruksi dunia kesusastraan Amerika Latin dengan baik. Kesusastraan
Amerika Latin, terutama generasi Boom, tidak dilihat dan dipaparkan sebagai
pulau tersendiri yang terpisah dari, terutama, politik dan sejarah. Karya-karya
pengarang generasi Boom dilacak sampai zaman generasi realisme-natural yang memperinci deskripsi etnografis dan pola
narasi percintaan dalam kerangka kesadaran politik nasional hingga sejarah gerakan
pembebasan militeristis Simon Bolivar menemukan momentum kebangkitannya sebagai
kesadaran politik kawasan menyusul keberhasilan revolusi sosialis Cuba. Pada
sisi lain,tokoh-tokoh legendaris, terutama pada bagian “Para Raksasa”, yang diletakkan dalam hubungan-hubungan dan
peristiwa-peristiwa personal yang penuh pasi dan “tersembunyi” membuat mereka
menjadi benar-benar hidup dalam gagasan dan tubuh berdaging. Bagaimana,
misalnya, raksasa Jorge Luis Borges yang saat itu sudah nyaris buta menerima
undangan untuk mengajar murid-murid sekolah di daerah pelosok Argentina dan
bahkan menyediakan diri untuk membaca dan menulis prolog kumpulan cerita
murid-murid ingusan tersebut. Barangkali
judul yang paling menarik bagi kita di Indonesia adalah “Mundo Nuevo: Kerja Antikomunis di Amerika Latin” yang bukan hanya menguraikan
oparasi kultural CIA di Amerika Latin, pun juga membandingkan sikap sejumlah
sastrawan Indonesia, – seperti Goenawan Mohamad, Taufiq Ismail, dan Mochtar
Lubis – yang menolak dianggap sebagai kaki tangan CIA lewat CCF[i]
dengan para sastrawan Amerika Latin yang merasa dikibuli dan terlibat mengibuli
berkait kampanye kultural CIA sejenis.
Aku harus berterima kasih pada Ronny; Macondo, Para Raksasa, dan Lain-Lain Hal yang meletakkan El Boom dan Realisme Magis dalam perspektif kesusastraan, politik, budaya, dan sejarah kawasan seperti menjadi obat anti mualku terhadap sastra Amerika Latin, terutama istilah Realisme Magis. Tapi, omong-omong ke mana Augusto Boal ya, Ron; seorang dramawan Brazil yang pada masa pengasingannya di Argentina tahun 1970-an menyelesaikan dan menerbitkan Theatre of the Oppressed yang konsep pentransformasian spectators menjadi spec-actors dan konsep teater legeslatif di dalamnya mungkin berkaitan dengan Superbarrio Gomez?
Posting Komentar